16 - Seharusnya Bukan Begitu Jawabannya

21 3 0
                                    

“Saya mohon ya, Bu. Tolong bantu saya biar Arkan bisa lancar baca soalnya ini sudah mau kenaikan kelas ke kelas dua tapi Arkan bacanya masih belum lancar.”

Lagi-lagi aku mendapatkan permohonan yang sama persis seperti ketika aku menerima Fais dan Ardi dulu. Namun, kali ini aku mendapatkannya dari Bu Iin, ibu Arkan yang juga seorang siswa kelas 1 tapi di SD yang berbeda dengan Ardi dan Fais.

Aku mengangguk mengiyakan dan seperti biasa Bu Iin meminta jadwal yang padat untuk Arkan alias enam hari penuh demi tercapainya tujuannya agar Arkan bisa segera lancar membaca. Lagi-lagi aku mengiyakan permintaan ibu Arkan, tidak seperti saat Ardi dan Fais dulu. Aku sedang tidak ingin berdebat. Lagipula, belajar dari pengalamanku, biasanya ibu muridku tetap ngotot memberikan jadwal yang padat untuk anaknya meski aku menyampaikan keberatanku beserta alasanku. Aku cukup melihat seberapa konsisten anak dan ibunya berjuang.

“Kira-kira sebelum kenaikan kelas Arkan sudah bisa lancar membaca belum ya, Bu?” Terselip nada khawatir dalam pertanyaan Bu Iin.

Aku tersenyum. “Kalau itu saya tidak bisa memastikan, Bu, karena tugas saya, kan, hanya membantu. Bisa tidaknya tetap tergantung Arkan sendiri. Kalau dia rajin berangkat les dan berlatih di rumah dalam waktu tiga bulan pun kemungkinan Arkan bisa lancar membaca soalnya sebelum Arkan juga ada anak kelas 1 dari SD 2 yang bisa lancar baca dalam waktu tiga bulan karena dia rajin berangkat dan berlatih di rumah.”

“Oh.” Ada sedikit kelegaan di wajah Bu Iin ketika mengucapkan itu. “Berarti kemungkinan Arkan juga bisa begitu ya, Bu.”

Aku mengangguk. “Belajar itu, kan, konsistensi, Bu. Kerajinan. Keuletan. Kalau Arkan bisa rajin saya yakin Arkan pasti bisa segera lancar baca,” kataku memberi semangat.

Bu Iin tersenyum sembari mengangguk pelan. 

“Nanti coba saya tes Arkan dulu buat lihat kemampuan bacanya sudah sampe mana. Kalau misalnya dia sudah nggak di level 1 atau 2, kan, kita bisa langsung lanjut di level 3 atau bahkan di atasnya lagi jadi lumayan menghemat waktu,” imbuhku. “Nanti saya beri buku pegangan membaca untuk Arkan ya, Bu, biar nanti bisa dipelajari di rumah.”

“Baik, Bu Mira. Terima kasih.”

Meski kemampuan dasar membaca Arkan belum bisa dibilang lancar tapi aku memutuskan Arkan tidak perlu mengulang di level dasar lagi karena kupikir itu bisa sambil diulang di level lanjut. Ya, Arkan akhirnya kuputuskan untuk langsung masuk di level 4. Belajar membaca level 4 di bimbelku adalah belajar membaca suku kata biasa yang digabungkan dengan huruf mati seperti ru-mah, me-gah, sa-kit, dan sebagainya.

“Ini bacanya apa, Kan?” tanyaku sembari menunjuk tulisan yang ada di buku membaca setelah Arkan berlatih membaca sebanyak dua kali — lebih tepatnya aku membacakan kemudian Arkan mengulang kembali apa yang kuucapkan.

“Ba,” jawabnya yang kuganjar dengan gelengan. “Ba itu kalau huruf B-nya muncul lebih dulu daripada A. Kalau huruf A dulu yang muncul gimana bacanya tadi?” Aku tidak serta merta memberikan jawaban agar Arkan melatih ingatannya.

Arkan tampak bingung tapi dia tetap berusaha membaca meski selalu kuberi gelengan kepala karena jawabannya salah.

“Inget, nggak?” tanyaku karena merasa kasihan melihat Arkan yang sepertinya sudah kehabisan akal. “Ini ab, ib, ub, eb, ob.” Aku menunjuk setiap suku kata yang kubaca dengan pensil.

Arkan mengikutiku.

“Oke, diinget-inget ya, Kan. Ini ab, ini ib, ini ub, ini eb, dan ini ob.” Arkan mengangguk. “Nah, sekarang coba kita gabungin suku kata biasa sama suku kata yang tadi ya. Coba ini dibaca. Ini bacanya apa?” Aku menunjuk sebuah kata di buku.

The Course Jilid DuaOn viuen les histories. Descobreix ara