11 - Awal Yang Baru

23 2 2
                                    

“Alhamdulilah,” desah mas Ganjar lega sembari turun dari tangga aluminium sementara aku tersenyum lebar sambil menunggu mas Ganjar di bawahnya. “Bagus, kan, Bu?” tanyanya begitu kakinya ada di pijakan tangga yang terakhir kemudian berpose dengan dua jari membentuk tanda centang yang diletakkan di bawah dagu seraya menaik-turunkan alisnya begitu kedua kakinya telah menginjak tanah.

Aku mengacungkan kedua jempol tangan. “Kalau soal kayak gini sih Ibu yakin Ayah jagonya,” jawabku seraya menunjuk ke arah spanduk yang baru saja dipasang mas Ganjar di bawah atap rumah kontrakan kami menggantikan spanduk lama yang kini sudah dilepas.

Mas Ganjar terkekeh bangga. Namun, mendadak dirinya terdiam sembari mendekatiku.

“Ng, tapi Ibu udah yakin sama keputusan ini?” tanya mas Ganjar pelan dan hati-hati. “Mumpung belum banyak yang lihat spanduknya nih, Bu, jadi bisa dicopot lagi.”

Giliran aku yang terkekeh.

“Yakin lah, Yah. Insya Allah. Lagian udah sejauh ini kok.”

Aku menatap spanduk yang baru saja dipasang mas Ganjar. Ingatanku terlempar pada kejadian enam puluh hari yang lalu saat pertemuanku dengan Miss Nike dan Miss Neina.

Kalau gitu mending bikin bimbingan belajar aja, Miss, jadi kamu nanti ngajar semua mapel gitu. Jangan cuman bahasa Inggris aja. Siapa tahu aja laku.

Ucapan Miss Nike saat pertemuan kami bertiga itu masih terus terngiang di kepalaku meski sudah lewat dua bulan yang lalu. Aku berpikir ucapan Miss Nike itu ada benarnya juga sehingga aku terus memikirkan hal itu diam-diam. Aku mengutarakan usul itu kepada mas Ganjar dan langsung disetujui olehnya. Lagipula niatku lebih dari sekadar itu. Aku ingin bisa memberikan kontribusi lebih banyak pada anak-anak di lingkungan sekitarku— ceilah— tapi sekaligus tetap bisa membersamai Zahira di masa-masa emasnya. Jadilah pasca pertemuanku dengan Miss Neina sebulan lalu aku akhirnya memutuskan untuk memulai segalanya dari awal. Alih-alih mendaftar di Al Maani seperti halnya Miss Neina, aku justru memperbarui konsep tempat kursusku sesuai saran Miss Nike meski tahu bahwa gaji yang ditawarkan di sana cukup menggiurkan. Aku yang semula bersikukuh untuk hanya mengajar bahasa Inggris kini bertekad untuk mengajar semua mata pelajaran di sekolah dasar, termasuk Matematika.

Ya, Matematika.

Mata pelajaran yang paling kubenci sejak di bangku sekolah hingga kini.

Namun, demi totalitas mencerdaskan anak bangsa— anak desaku saja sih sebenarnya— mau tak mau aku harus membuka-buka lagi buku pelajaran zaman SD dan mempelajari semuanya dengan susah payah meski itu artinya aku mengorek “luka lama”.

Hei, aku tidak berlebihan soal “luka lama”.

Saat aku duduk di bangku sekolah dasar dulu aku langganan mendapat peringkat paling buncit karena aku baru bisa membaca di kelas 2. Itu diperparah dengan bodohnya aku dalam mencerna soal hitungan. Sudah tidak terhitung berapa kali aku terpaksa harus mengikuti remedial test sejak di bangku SMP sampai SMA terutama di mata pelajaran Matematika.

Jangan bilang aku tidak belajar. Aku bahkan sudah mencoba les pada guru yang mengajar Matematika saat SMP yang notabene adalah ayah temanku. Namun, itu tidak begitu membuahkan hasil karena nilai Matematika yang kudapatkan masih berkisar di angka kursi terbalik. Kalau sedang sedikit beruntung bisa naik satu atau dua tingkat. Seringnya satu. Pak Abu, guru Matematika SMP, sampai heran melihat nilai-nilai ulangan Matematikaku sebab beliau selalu memberi soal ulangan yang rumusnya sama persis dengan soal latihan saat di tempat les hanya beda angka saja. Namun, tetap saja aku tidak bisa mengerjakannya.

Tidak hanya satu guru Matematika yang kubuat heran. Suatu waktu aku pernah mendapat nilai 0,7 di mata pelajaran Matematika saat kelas X sampai-sampai bu Melani, guru Matematika SMA, memanggilku dan bertanya-tanya bagaimana bisa nilai ulanganku bahkan tidak sampai 1. Yah, seharusnya aku yang heran kenapa dia masih berbaik hati memberiku nilai 0,7. Kenapa dia tidak langsung menyalahkan saja ketika jawabanku memang salah? Beri saja nilai 0, kan, beres. Kalau sudah begitu, kan, dia sendiri yang repot memberi nilai. Namun, tentu saja aku tidak berkata begitu pada bu Melani. Aku lupa apa yang kusampaikan pada bu Melani saat itu tapi seingatku beliau sampai kehabisan kata-kata. Mungkin beliau baru menemui murid yang bodohnya seperti aku.

The Course Jilid DuaWhere stories live. Discover now