13 - Nah, Apa Saya Bilang?

24 3 2
                                    

Jam empat tepat Ardi sudah muncul di kediamanku lengkap dengan seragam madrasah berupa atasan batik hijau dan celana hitam serta kopiah dengan warna yang senada dengan celananya yang masih nangkring di atas kepala.

“Ardi nggak telat, kan, Bu?” tanya seorang wanita paruh baya yang tak lain tak bukan adalah nenek Ardi alias ibu dari Bu Hana.

Aku menggeleng seraya tersenyum. “Nggak kok, Bu. Agak gasik¹ malah,” jawabku.

“Alhamdulillah.” Nenek Ardi mengelus dadanya. “Saya tadi udah khawatir aja kalau Ardi telat. Soalnya tadi dia minta jajan dulu tapi si abang jualannya tuh rame jadi harus ngantre dulu. Saya udah bilang nggak usah jajan, bisa besok-besok lagi eh dianya ngerengek. Mana saya tadi jemputnya juga agak telat karena sibuk ngurusin yang lain. Itu, mau ada tahlilan di sebelah rumah, Bu, jadi saya bantu-bantu sebentar.”

Aku tersenyum lagi. “Nggak papa, Bu. Belum terlambat kok. Kalaupun terlambat juga nggak papa asal cuma semenit dua menit, bukan terlambat satu jam,” selorohku yang direspon tawa oleh nenek Ardi.

“Ya udah, kalau gitu Ardi saya tinggal dulu ya, Bu. Saya jemput lagi nanti. Jam lima, kan, ya?” Aku mengangguk sebagai respon atas pertanyaan nenek Ardi.

Nenek Ardi kemudian pulang meninggalkan Ardi.

Beberapa hari ini Ardi memang lebih sering diantar jemput neneknya saat les karena setahuku Bu Hana mulai membuka usaha. Bu Hana kini berjualan makanan seperti seblak, cireng, mi pedas, dan jajanan kekinian lainnya yang dibuat sendiri olehnya. Tempo hari Bu Hana sempat memberiku sekotak cireng isi ayam suwir dan rasanya enak. Biasanya dia baru mulai dasar— menggelar dagangan dalam istilah kami— menjelang sore hari dan baru tutup malam hari. Dia tidak berjualan di sekitar desa kami tapi berjualan di kecamatan lain yang jaraknya cukup jauh sehingga Ardi seringkali dititipkan di rumah neneknya dan neneknya lah yang kini bertugas mengantar jemput Ardi les.

“Mama udah berangkat jualan ya, Di?” tanyaku basa-basi.

“Iya, Bu,” jawabnya. “Tadi emang pas nganter aku madrasah mama udah bilang nggak bisa jemput madrasah dan nganter les.”

“Oh.” Aku menjawab singkat seraya mengangguk-angguk.

“Tadi aku tiba-tiba kepikiran aku mau bolos les aja mumpung mama nggak nganter,” kata Ardi sambil setengah terkikik, “tapi dimarahin sama nenek soalnya nenek udah dipesenin buat nganter aku les sepulang aku madrasah. Lagian nenek pasti ngadu kalau aku nggak les. Nanti aku kena omel dua kali, sama nenek dan sama mama. Kalau sama nenek sih aku nggak begitu takut tapi aku takut kalau mama mulai ngomel. Dia tuh, Bu, nyeremin. Kalau udah ngomel nggak bisa brenti ngomong. Jadi berubah kayak singa,” imbuh Ardi panjang lebar seraya mengangkat kedua tangannya di atas kepala dan melebarkan jari-jarinya membentuk surai singa imajiner di bagian akhir kalimat.

Aku tertawa mendengar ceritanya.

Ini memang sudah kedatangan Ardi di minggu keempat dan dia belum pernah absen sekalipun sejak pertama kali datang. Dia juga belum pernah terlambat. Ardi juga sudah jauh lebih terbuka dibandingkan saat pertama kali les denganku yang masih terasa malu-malu. Dia memang senang bercerita dan bertanya tentang hal apapun padaku dari cerita receh tentang teman-temannya hingga pertanyaan khas anak-anak seperti ‘apakah hantu itu betulan ada’. Sudah sering kudengar keluh kesah Ardi tentang mamanya yang cerewet, bawel, dan suka marah-marah. Namun, aku selalu memberi pengertian padanya bahwa mamanya marah untuk kebaikannya.

“Lagian kenapa kamu tiba-tiba kepikiran buat bolos les, hayo?” todongku.

Ardi nyengir sebelum menjawab. “Abisnya bosen, Bu. Masa les tiap hari berangkat. Madrasah dan sekolah aja ada liburnya meski cuman seminggu sekali.” Ardi kemudian memasang wajah sedih.

The Course Jilid DuaWhere stories live. Discover now