14 - Meski Badai Menghadang Aku Tetap Akan Datang

23 4 2
                                    

Namanya Faisal, biasa kupanggil Fais. Dia duduk di kelas 1 di SD yang sama dengan Ardi. Ternyata Fais dan Ardi adalah teman sekelas. Fais baru masuk beberapa pekan terakhir ini.

“Setiap hari bisa, Bu?” Begitu tanya ibu Fais ketika pertama kali mendaftarkan Fais ke bimbelku bahkan sebelum aku menjelaskan aturan bimbelku.

“Tapi—”

“Soalnya Fais ini belum lancar baca, Bu. Tolong banget, Bu, biar Fais bisa cepet lancar baca. Saya khawatir dia nggak naik kelas nanti kalau belum lancar baca.”

Alasan yang sama yang dilontarkan ibu Fais membuatku teringat akan Bu Hana, ibu Ardi, yang ngotot mendaftarkan anaknya les setiap hari. Karena aku sadar akhir dari semua itu pasti sama, maka kali ini aku berani menyanggahnya.

“Mohon maaf, Bu, bukannya saya nggak mau tapi saran saya lebih baik Fais jangan dipaksa les setiap hari karena dia pasti akan cepet bosen. Mending kalau cuman bosen aja. Gimana kalau ternyata Fais jadi nggak mau belajar lagi karena belajar mengingatkan dia sama hal nggak menyenangkan?” Aku berusaha memberi pengertian.

“Tapi, Bu, Fais ini beneran belum lancar baca jadi saya mohon dengan sangat Fais bisa les tiap hari ya, Bu,” pinta ibu Fais lagi. 

Ya udahlah, Mir. Mau kamu tolak berapa kali juga dia bakalan tetep memohon sama kayak emaknya Ardi dulu. Kasih aja lah daripada ribet. Lagian kalau dia les tiap hari duit kamu, kan, juga ada tiap hari juga.

Ini bukan cuman sekadar masalah duit, Maemunah, tapi menjaga stabilitas murid biar kagak edan gara-gara disuruh belajar mulu. Kalo doi mutung nanti aku ga ada murid juga dong jadinya.

I-iya juga sih tapi emaknya gitu gimana dong?

Nah, maka—

“Bu?” Panggilan dari ibu Fais menyadarkanku dari perang batinku sedari tadi. “Gimana?” Ternyata ibu Fais masih menunggu keputusanku.

“Oh, em, itu….”

“Bisa, kan, Bu? Bisa ya, Bu. Tolong.” Ibu Fais masih terus memohon— bener kata Maemunah. “Terus saya juga minta supaya Fais kalau bisa jangan digabungkan sama Ardi meski sama-sama masih kelas 1 soalnya mereka berdua kalau digabungkan pasti jadinya gelawean¹ aja, Bu. Nanti malah jadinya nggak konsen belajar.” Ibu Fais memberikan permintaan lain.

“Oh, kalau untuk itu saya mesti lihat dulu kemampuan Fais sampai mana ya, Bu. Kalau memang Fais dan Ardi levelnya beda, meski sedikit saja, saya bakalan tetep misahin mereka walaupun mereka sama-sama kelas 1,” terangku.

Ya, konsep bimbelku yang baru ini memang sedikit kuadaptasi dari konsep LPBIK dulu. Jadi setiap anak tidak dipisahkan berdasarkan kelas mereka tapi dari kemampuan mereka menerima pelajaran yang biasanya kulihat di awal sebelum masuk bimbel. Sistem seperti ini memudahkanku sebagai guru karena aku tak perlu repot-repot menggunakan cara berbeda dalam menyampaikan materi agar bisa dipahami oleh semua anak. Aku yakin sistem seperti ini bisa jadi nilai lebih dan nilai jual bimbelku dibandingkan bimbel-bimbel lain yang sudah lebih dulu ada

“Oh, alhamdulilah kalau begitu.” Ibu Fais tampak lega.

“Tapi ya itu, Bu, saya harus lihat kemampuan Fais dulu ya baru saya bisa memutuskan Fais dan Ardi bisa dipisah atau nggak.” Aku mengulang keteranganku sebelumnya.

“O-oh, gitu ya, Bu.” Kelegaan yang semula muncul di wajah ibu Fais mendadak pudar.

Singkat cerita setelah aku memberikan beberapa tes kecil untuk Fais, aku memutuskan untuk menempatkan Fais dan Ardi di kelas yang berbeda. Kelegaan kembali terpancar di wajah ibu Fais terutama setelah aku mengabulkan permintaannya untuk memberikan jadwal bagi Fais selama enam hari penuh. Ibu Fais pulang dengan wajah riang meski tak seriang wajah anaknya. Melihat itu aku jadi khawatir jangan-jangan baru hari pertama saja Fais sudah mogok les. Namun, perkiraanku ternyata salah besar. Fais datang di hari pertama dan melahap buku membaca dengan cepat. Sekali latihan membaca dia bisa melahap beberapa lembar sekaligus.

“Wah, kamu cepet banget belajar bacanya, Is. Nanti kamu bisa cepet naik level dong. Jangan-jangan minggu depan udah di level 6,” kataku.

Di bimbelku level 6 berarti level tertinggi di tingkat membaca.

“Emang bisa, Bu?” tanya Fais dengan wajah semringah.

“Ya bisa aja soalnya kamu, kan, berangkat tiap hari terus bacanya juga cepet bisa jadinya ya naik level terus deh.”

Fais tersenyum lebar. “Kalau Ardi udah sampe level berapa, Bu? Tinggian aku apa Ardi?”

“Kamu udah satu level sama Ardi cuman bedanya bentar lagi Ardi udah mau naik ke level 5 soalnya dia udah di halaman terakhir level 5 sih.”

“Wah, kalau gitu aku harus ngalahin Ardi, Bu. Aku harus sampe level 6 duluan daripada Ardi,” tekad Fais.

Tak kusangka Fais benar-benar memenuhi ucapannya. He’s a man of his word. Bahkan saat hujan deras mengguyur desa sejak siang hari dan kupikir Fais tidak akan datang, nyatanya Fais tetap datang dan rela berbasah-basahan dengan sepedanya.

“Kirain kamu nggak bakal dateng, Is,” kataku.

“Dateng dong, Bu. Tadi aku nungguin hujan agak reda sedikit terus langsung ngebut naik sepeda ke sini soalnya aku nggak punya jas hujan,” sahutnya sambil nyengir lebar.

Aku benar-benar kagum padanya. Meski usianya masih kecil tapi Fais sudah bisa berkomitmen dan berjuang demi keberhasilannya. Sebuah tekad yang sepertinya sangat jarang ditemui anak-anak seusianya. Tak heran kalau akhirnya Fais betulan bisa melampaui Ardi di level membaca. Saat kuberitahu bahwa Fais lebih dulu menamatkan level 6 dibanding Ardi, Fais bersorak gembira.

“Berarti aku udah bisa belajar mapel, kan, Bu, abis ini?” tanyanya yang kujawab dengan anggukan dan dia pun makin girang.

Ibunya lebih-lebih girang lagi karena aku berhasil membuat Fais lancar membaca hanya dalam waktu tiga bulan saja. Ibu Fais sampai memberiku banyak tempe — karena beliau adalah pengrajin tempe — sebagai ungkapan terima kasih padahal sebelumnya pun ibu Fais sudah sering memberiku banyak tempe sampai-sampai aku jadi tak enak hati. Bagaimanapun tempe-tempe itu dijual, bukan untuk diberikan secara cuma-cuma.

“Nggak papa, Bu. Itu nggak sebanding sama bahagianya saya bisa lihat Fais lancar membaca sekarang di waktu yang terbilang cepet,” katanya saat aku menyampaikan ketidakenakanku soal tempe-tempe itu.

Aku mendoakan rezeki beliau bertambah. Beliau mendoakan semoga aku selalu sehat agar aku bisa terus mengajar. Ah, hatiku menghangat lagi. Pipiku juga. Rasanya belum pernah aku menjadi orang sebahagia ini selama hidupku. Ternyata benar kata mutiara yang pernah kubaca di sebuah media sosial : kebahagiaan yang paling besar adalah saat kamu bisa memberi.

Catatan.
¹ bercanda, guyon


──  ⊱  𝓣𝓱𝓮 𝓒𝓸𝓾𝓻𝓼𝓮  ⊰  ──

Gimana puasanya? Masih kuat? Ada yang udah bolong? Ada yang war takjil? 😆

The Course Jilid DuaWhere stories live. Discover now