12 - Yang Rewel Banyak Ngeyel

23 2 0
                                    

“Saya yang WA Ibu kemarin.”

Begitulah jawaban seorang perempuan bertubuh subur yang muncul di depan rumahku di hari Senin pagi ketika aku menanyakan alasannya datang. Di sebelahnya berdiri seorang bocah lelaki hitam manis yang berpipi bulat dan bertubuh subur pula. Dengan masih mengenakan seragam putih merah, bocah lelaki yang kutaksir berusia sekitar 6 atau 7 tahun itu tersenyum sambil menatap malu-malu.

“Bu Hana ya?” tanyaku memastikan.

Perempuan itu mengangguk. “Iya, Bu,” jawabnya sembari tersenyum. “Nah, ini anak saya yang saya bilang itu, Bu. Namanya Ardi. Baru kelas 1.”

“Oh, iya, Bu. Mari masuk dulu. Kita ngobrol di dalem aja,” ajakku seraya membuka pintu depan lebih lebar. Bu Hana dan anaknya yang bernama Ardi itu mengikutiku di belakang.

“Baru pulang sekolah langsung ke sini, Bu?” tanyaku setelah mempersilakan keduanya duduk.

“Iya, Bu. Sekalian mampir aja abis pulang sekolah ketimbang bolak-balik.”

“Lho, emang rumah Bu Hana di mana?”

“Rumah saya di deket pintu air, Bu. Agak jauh kalau dari sekolah, kan, makanya sekalian aja ke sininya abis pulang sekolah. Rumah Bu Samira, kan, deket sama sekolahan. Kalau saya pulang dulu nanti bolak-balik.”

Aku mengangguk setuju.

Jarak Jalan Pintu Air ke rumahku kurang lebih sekitar 600-700 meter. Meski terhitung tidak terlalu jauh jika naik motor tapi cukup merepotkan jika harus bolak-balik.

Omong-omong pintu air itu betulan pintu air yang akhirnya dijadikan nama jalan. Ada dua fakta tentang terpilihnya nama jalan itu. Pertama, nama itu terpilih karena alasan kepraktisan. Yah, daripada mengarang nama jalan yang baru akan lebih mudah kalau menggunakan petunjuk jalannya jadi nama jalan, kan? Kedua, aku mengarang fakta pertama— candaan lu garing, Mir! Di dekat sana memang ada perkampungan yang sebenarnya masih satu dusun dengan rumah kontrakanku. Di tempatku satu dusun dengan dusun yang lain memang seringnya dipisahkan sungai.

“Ng, anu, soal obrolan kita di WA kemarin….”

Jadi beberapa hari yang lalu setelah seluruh persiapan tempat kursus yang baru selesai, aku akhirnya membagikan brosur ulang— tentu dengan konsep tempat kursus yang baru— ke sekolah dekat rumah. Tentu banyak yang mempertanyakan tentang perubahan konsep ini dan lebih banyak lagi yang menyukainya. Lebih terarah dan jelas bermanfaat kata mereka.

Bu Hana ini juga jadi salah satu orang yang mempertanyakan konsep tempat kursusku yang baru. Dia bahkan sangat bersyukur ketika akhirnya aku mengganti konsep tempat kursusku dengan konsep yang baru seperti ini karena dia memang sedang mencari tempat kursus yang bisa memberikan materi calistung dan mapel SD untuk anaknya. Bu Hana beralasan anaknya belum lancar membaca dan masih harus banyak belajar mapel. Bu Hana tidak ada masalah dengan sistem pembayaran dan biayanya. Dia bahkan bersedia membayar lebih jika memang diperlukan. Namun, yang jadi perdebatan kami yang cukup sengit yaitu soal jadwal.

Bu Hana bersikeras meminta jadwal tiap hari untuk anaknya. Aku sih tidak masalah mengajar setiap hari karena memang jadwalku sedang lowong. Namun, yang jadi perhatianku justru si anak yang akan les. Selama aku bekerja di bidang pendidikan aku tidak pernah mendapatkan jadwal untuk mengajar murid selama tujuh hari berturut-turut apalagi untuk anak-anak seusia Ardi yang baru kelas 1 SD. Alih-alih berkonsentrasi, aku khawatir Ardi justru nantinya akan kehilangan minat belajarnya lebih cepat karena itu akan sangat membosankan. Istilahnya study fatigue— ya, aku ngarang bebas saja namanya. Menurutku pembelajaran maraton baru bisa dipakai untuk anak-anak dengan usia yang lebih besar untuk tujuan tertentu misalnya seperti olimpiade atau lomba-lomba lain.

“Ah, itu apa nggak lebih baik cukup seminggu tiga kali saja, Bu, sesuai saran saya dari awal?” kataku. “Soalnya di tempat-tempat kursus lain pun rata-rata menerapkan sistem jadwal yang sama. Maksimal seminggu tiga kali dan itupun jadwalnya diselang-seling. Misalkan udah les di hari Senin berarti les lagi di hari Rabu dan Kamis. Atau misalkan mulainya dari hari Selasa berarti les lagi di hari Kamis dan Sabtu. Saya khawatir kalau lebih dari itu anak-anak bakalan bosen dan malah nggak semangat les lagi atau bahkan nggak mau belajar lagi,” imbuhku.

“Tapi, Bu, Ardi ini belum lancar baca padahal dia, kan, sudah kelas 1. Saya takut kalau dia nggak bisa naik kelas. Soal ujian kelas 1 jaman sekarang nggak kayak jaman dulu, Bu. Sekarang soal ujian kelas 1 aja bacaannya udah panjang-panjang. Kalau Ardi belum lancar baca gimana dia bisa jawab soal, Bu.” Bu Hana tetap teguh dengan keinginannya.

“Ibu yakin Ardi nantinya nggak capek kalau les tiap hari?” Aku masih berusaha membuat Bu Hana berpikir ulang tentang keputusannya.

“Nggak, Bu. Saya bakalan bujuk Ardi rajin les nanti.” Bu Hana meyakinkan.

Aku terpaksa mengiyakan keinginan Bu Hana karena tiada jalan keluar lain untuk membendung keinginannya yang sudah bulat itu.

“Baik kalau gitu, Bu. Berarti nanti Ardi jadwalnya dari hari Senin sampai Sabtu ya, Bu, karena saya libur di hari Minggu.”

Bu Hana langsung tersenyum semringah. “Oke, Bu. Ng, terus jamnya jam berapa ya, Bu?”

“Kalau jam satu siang bisa?” tanyaku.

“Wah, kalau jam satu siang biasanya anaknya masih tidur, Bu. Pulang sekolah, kan, jam sepuluh tuh. Nah, biasanya dia main dulu abis pulang sekolah. Terus nanti menjelang jam sebelas dia pulang buat makan siang. Makan siangnya emang agak gasik dia, Bu. Nah, kalau udah makan siang baru deh dia tidur siang. Terus nanti sekitar jam setengah dua dia bangun dan siap-siap berangkat madrasah soalnya madrasahnya mulainya jam dua,” jelas Bu Hana panjang lebar. “Tapi kalau jam empat sore kayaknya bisa soalnya jam segitu, kan, dia udah pulang madrasah.” Bu Hana buru-buru menambahkan.

“Oh, oke, Bu, kalau gitu. Jam empat ya,” sahutku menyetujui.

“Iya, Bu. Kalau gitu makasih ya, Bu. Eh, kamu mau mulai kapan, Dek? Nanti sore apa gimana?” tanya Bu Hana pada Ardi yang terdengar seperti sedang marah-marah.

“Besok sore aja boleh nggak, Ma?” tanya Ardi takut-takut.

“Mau besok sore? Nggak nanti sore aja?” Bu Hana terdengar mengintimidasi.

“Nggak papa kok kalau mau mulai besok sore. Sesiapnya Ardi aja,” selaku karena tak tega melihat ekspresi Ardi yang sedikit ketakutan.

Bu Hana tersenyum. “Ya sudah kalau gitu, Bu Mira. Terima kasih ya, Bu. Saya mau pamit pulang dulu. Besok sore Ardi mulai les berarti ya, Bu. Jam empat sore ya.”

Aku mengangguk saja sebagai jawaban lalu sedikit membungkukkan badan ketika Bu Hana berpamitan lagi ketika sudah di atas motornya.

Sepeninggal Bu Hana, perasaanku masih tak enak. Ada sesuatu yang mengganjal meski permasalahan jadwal dengan Bu Hana sudah selesai. Berdasarkan pengalaman yang sudah pernah kualami, mendapatkan kastemer yang sedikit bawel dan rewel biasanya menimbulkan drama di kemudian hari. Namun, aku berdoa semoga saja itu tidak terjadi lagi kali ini.

──  ⊱  𝓣𝓱𝓮 𝓒𝓸𝓾𝓻𝓼𝓮  ⊰  ──

The Course Jilid DuaWhere stories live. Discover now