2 - Sebuah Permulaan

35 3 0
                                    

"Alhamdulillah," ucap mas Ganjar sembari turun dari tangga aluminium selepas memasang spanduk di bawah atap rumah kontrakan kami.

Tak butuh waktu lama bagi kami untuk memulai bakal calon usaha baruku sebab setelah sesi brainstorming kami tentang bakal calon usaha baruku beberapa hari lalu mas Ganjar dan aku langsung mendaftar hal-hal apa saja yang harus kami kerjakan dan barang-barang apa saja yang harus kami beli. Salah satunya adalah spanduk ini. Mas Ganjar langsung mendesainnya agar dia bisa langsung membawanya ke percetakan dan spanduknya bisa segera kami pasang. Begitupun dengan brosurnya. Kami juga langsung membeli papan tulis, spidol, dan penghapus tak lama setelahnya. Mas Ganjar bahkan rela menghabiskan waktu sorenya selama sepekan penuh untuk membuat sendiri meja-meja yang kelak akan kugunakan sebagai meja bagi calon murid tempat kursus yang kurintis. Aku juga sudah membersihkan dan menata barang-barang di carport rumah kami sedemikian rupa agar bisa dijadikan ruang belajar yang nyaman. Aku memang sengaja memulai semuanya sesegera mungkin. Aku tak mau menunggu terlalu lama untuk memulai usaha ini karena aku melihat peluang yang cukup bagus sebab rumah kontrakan kami relatif dekat dengan sekolah. Aku khawatir jika terlalu lama memulai usaha maka aku akan kehilangan kesempatan entah karena sudah lebih dulu ada tempat kursus lain di sana atau karena semangatku yang sudah melempem.

"Udah bagus, kan, Bu?" tanya mas Ganjar begitu sampai di bawah seraya menepuk-nepuk lutut celananya yang sedikit kotor.

Aku, yang sedari tadi menunggu di bawah tangga sekaligus memegangi tangga, mengangguk seraya mengacungkan jempol. "Bagus kok. Udah pas posisinya," sahutku.

Mas Ganjar memastikan kembali hasil kerjanya dari bawah kemudian kulihat ia mengangguk tanda puas. "Garasi udah beres, Bu?" tanyanya padaku.

Aku mengangguk. "Udah. Ibu udah bersihin dari kemaren-kemaren dibantu sama Zahira juga. Papan tulis sama meja-meja juga udah Ibu tata," jawabku. "Terus tempo hari pas Ibu bersih-bersih gudang ternyata Ibu nemuin babut¹, Yah, jadi sekalian Ibu juga gelar babut-nya di garasi. Barangkali kalau lesehan di lantai langsung anak-anak nggak nyaman."

Kulihat mas Ganjar mengangguk-angguk selama mendengar penjelasanku. "Eh loh, tapi omong-omong Zahira kemana?" tanyanya kaget setelah menyadari ketidakhadiran anak semata wayang kami.

"Lagi main ke rumah tetangga sebelah," jawabku tenang.

"Kalau udah waktunya makan siang jangan lupa diajak pulang loh, Bu, jangan dibiarin aja apalagi sampe dikasih makan sama tetangga. Lagian Zahira harus tidur siang juga," tegas mas Ganjar.

Aku mengangguk. "Iya, Yah."

Aku tidak heran mas Ganjar bersikap demikian karena dia ingin aku mengajarkan kedisiplinan dan batasan pada Zahira pasalnya aku pernah bercerita soal salah satu tetangga mbak Anjani yang sering membiarkan anaknya kelayapan ke rumah-rumah tetangga dan mengajak main anak-anak lain tanpa kenal waktu sementara si ibu dengan santainya malah bermain dengan ponselnya di rumah. Si ibu sengaja tidak mencari anaknya sampai-sampai si anak diberi makan oleh tetangga karena merasa bebas dengan ketidakhadiran si anak di rumah. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan orang tua macam itu. Apa sebenarnya yang ada dalam pikirannya ketika dia punya anak? Memang benar kata orang kalau tidak semua orang yang beranjak tua pantas menjadi orang tua.

"Terus apa lagi yang kurang?" tanya mas Ganjar.

"Ng, berarti yang belum tinggal sebar brosurnya, Yah," jawabku. "Nanti Ayah bantu Ibu sebar brosur ya," pintaku.

"Insya Allah," jawab mas Ganjar seraya melipat tangga dan membawanya ke celah di samping rumah yang biasanya memang kami jadikan sebagai tempat menyimpan tangga.

"Enaknya sebar brosurnya kapan ya?" tanyaku seraya mengekor mas Ganjar yang sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah.

"Besok Sabtu, kan?" Aku mengangguk. "Besok Ayah bisa. Kantor, kan, libur kalau Sabtu tapi sekolah masih masuk, kan?"

The Course Jilid DuaWhere stories live. Discover now