17 - Barlen

16 2 1
                                    

"Bu Mira," panggil Diana, salah seorang muridku yang merupakan murid kelas 4, ketika aku tengah menerangkan materi pada Nasya dan Widia, muridku yang lain yang masih duduk di kelas 1.

Sebenarnya aku tidak menghendaki dalam satu kelas ada dua level yang berbeda sehingga aku dulu pernah menyarankan agar Nasya dan Widia masuk ke kelas Ardi atau Fais tetapi mereka bertiga menolak keras. Mereka beralasan mereka tidak terpisahkan dan selalu kemanapun bertiga sehingga mereka tidak mau dimasukkan ke kelas yang berbeda agar bisa berangkat les bersama. Akhirnya dengan berat hati aku terpaksa menuruti keinginan mereka untuk dijadikan dalam satu kelas meski kadang aku merasa agak sedikit kerepotan karena aku harus menjelaskan materi yang berbeda dalam satu kelas.

"Ya?"

"Sembilan kali delapan berapa, Bu?" tanyanya.

Hari itu kami kembali belajar tentang perkalian susun sebagai pengantar sebelum masuk ke bab porogapit yang sudah mulai diajarkan di sekolah Diana.

"Lha, sembilan kali delapan berapa?" tanyaku balik.

Diana berpikir. "Ng, empat puluh? Lima puluh enam? Enam puluh tujuh?" Diana mencoba menjawab meski berkali-kali jawabannya mendapat gelengan kepala dariku. Sialnya, tak satupun jawabannya yang benar. Mendekati pun tidak.

Aku mendengus pelan. "Dihitung dulu, Na, jangan asal nebak," kataku.

Diana kemudian menekuri buku tulisnya lagi. Dia membuat penjumlahan berulang kemudian menghitung penjumlahan berulang itu satu persatu.

"Tadi Bu Mira udah kasih tahu kamu caranya, kan? Yang pake jari itu. Perkalian sembilan gimana tadi caranya?" Aku yang tak sabar melihat cara bekerja Diana jadi sedikit gemas.

Yang ditanya malah nyengir kuda kemudian menjawab, "lupa, Bu."

Aku mengembuskan napas panjang seraya berhitung satu sampai sepuluh dalam hati. Demi Tuhan, aku rasanya ingin meledak mengajari Diana. Bagaimana tidak? Ini bukan pertemuan kami pertama kalinya. Ini sudah entah pertemuan keberapa kalinya kami membahas materi yang sama dan dalam setiap pertemuan aku selalu mengulang materi lebih dari dua kali tapi entah kenapa Diana masih kesulitan mengingat semua materi yang kuajarkan.

Jujur saja aku kaget saat mengetahui fakta bahwa Diana ternyata tidak secemerlang yang aku pikirkan. Diana ini adalah cucu dari salah seorang tetua desa yang juga guru mengaji sekaligus imam musala di desa kami. Ibu Diana pun juga seorang guru mengaji di musala yang sama. Kupikir dengan rekam jejak pendahulunya yang merupakan pengajar Diana setidaknya mewarisi kecemerlangan yang sama dengan kakek dan ibunya. Apa lacur kenyataan justru berkata sebaliknya. Materi sesederhana penjumlahan dan pengurangan saja bahkan Diana masih mengalami kesulitan. Diana masih harus menggunakan alat bantu untuk menyelesaikan soal latihan operasi penjumlahan dan pengurangan dengan menggambar lidi-lidi kecil yang sangat memakan waktu. Namun, dia menolak ketika akan kuajari menggunakan jarimatika untuk memudahkannya karena dia beranggapan jarimatika justru mempersulit. Nasya dan Widia malah ikut mengamini perkataan Diana. Dan beginilah aku sekarang. Mengajar dengan menggunakan sisa-sisa kesabaranku.

"Coba deh diinget-inget lagi, Na," kataku.

Diana menggigit bibir bawahnya kemudian berusaha menekuni kembali buku tulisnya. Dia mencoret-coret entah apa di sana.

"Sudah ketemu jawabannya? Sudah inget gimana caranya?"

Diana menggeleng. Senyum lebar masih bisa bertengger di bibirnya. Mungkin karena dia tahu aku tak akan bisa memberi hukuman karena aku bukanlah guru kelasnya.

Aku mengembuskan napas kasar kali ini.

Demi Tuhan, sebenarnya aku tidak ingin menunjukkan kekesalanku pada muridku tapi Diana ini memang cukup keterlaluan.

The Course Jilid DuaWhere stories live. Discover now