3 - Murid Pertama

30 2 0
                                    

"Assalamu'alaikum, Bu. Ini betul Kursus Bahasa Inggris AZA, kan?"

Seorang wanita paruh baya dengan daster hijau tua bermotif daun berwarna putih dipadu dengan kerudung berwarna hijau yang sama muncul di depan rumahku begitu aku membuka pintu depan rumah. Di sebelah kanan wanita itu ada seorang anak perempuan berusia sekitar sebelas atau dua belas tahun dengan kaus dan celana olahraga bertuliskan SDN 02 Tengengwetan di bagian paha.

"Wa'alaikum salam. Iya, betul, Bu. Gimana? Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku balik karena mendengar nama tempat kursus milikku yang disebut oleh tamuku.

"Anu, Bu. Ini." Wanita itu menepuk pundak anak perempuannya. "Anak saya mau les bahasa Inggris katanya."

Senyumku mendadak terbit begitu mendengar perkataan si ibu.

Masya Allah. Alhamdulillah, sorakku dalam hati.

Akupun mengangguk dengan semangat. "Oh iya, Bu. Mari masuk dulu aja, Bu, biar lebih enak ngobrolnya. Siapa tau ada yang mau ditanyakan dulu," pintaku seraya membuka pintu rumahku lebar-lebar.

Kedua tamuku akhirnya masuk. Sang ibu yang masuk lebih dulu, disusul sang anak di belakangnya. Aku mempersilakan mereka duduk di sofa panjang yang ada di ruang tamu sedangkan aku duduk di hadapan mereka di sebuah sofa tunggal.

"Maaf ya, Bu, karena saya udah mengganggu Ibu," ujar wanita itu seraya menunjuk ke arah celemek masak yang ternyata masih kupakai.

"Astagfirullah." Aku menepuk dahiku pelan kemudian segera melepas celemek masak itu, melipatnya, dan meletakkannya di atas pangkuanku. "Nggak ganggu kok, Bu. Saya udah selesai masak cuma lupa lepas celemeknya," dalihku. "Omong-omong, mau minum apa, Bu?"

Wanita itu mengibaskan tangannya. "Aduh, nggak usah repot-repot, Bu. Saya jadi nggak enak karena nanti makin ngerepotin," tolaknya halus.

"Ah, sebenernya nggak papa kok, Bu. Nggak ngerepotin sama sekali," tampikku tapi tetap membuat wanita itu enggan dijamu. "Oh iya, omong-omong Ibu rumahnya dimana?" tanyaku kemudian untuk mengalihkan topik pembicaraan. 

"Saya dari Silumbu, Bu," jawab wanita itu.

Aku sedikit terkejut sebab Silumbu terbilang cukup jauh dari rumahku karena sudah beda dusun.

"Ibu dapet informasi kalau di sini tempat kursus bahasa Inggris dari mana? Kalau dari brosur yang saya bagikan pas di sekolah, kenapa Ibu nggak kirim WA ke nomer saya yang ada di situ aja daripada repot-repot kemari?"

Wanita itu tersenyum. "Nggak papa, Bu, soalnya sekalian saya mau liat tempat kursusnya kayak apa terus biar anak saya tahu tempatnya dimana biar nanti bisa berangkat les sendiri. Dan lagi saya mau nanya-nanya juga. Kalau di WA, kan, nggak puas gitu tanya-tanyanya."

"Oh, mau tanya apa, Bu?"

"Anu, itu soal biayanya. Apa bener cuma … lima ribu?" tanya wanita itu malu-malu. 

Senyumku mengembang. Aku sudah tahu pasti hal itu yang akan menarik perhatian orang-orang dan akan ditanyakan mereka pertama kali.

Benar. Aku memang memasang tarif sekali pertemuan hanya lima ribu rupiah saja— dan tanpa biaya pendaftaran— sebab aku sadar aku tidak tinggal di kota besar. Aku khawatir jika aku memberikan harga kursus di atas lima ribu rupiah maka tempat kursusku tidak akan laku karena terlalu mahal. Lagipula tujuan utamaku memang bukan uang melainkan hanya sebagai kegiatan saja agar tidak bosan. Selain itu, aku juga ingin membagi ilmu yang kupunya agar tidak sia-sia. Bukankah sebaik-baiknya ilmu adalah yang bermanfaat untuk orang lain?

"Betul kok, Bu." Aku mengangguk. "Tarif sekali datang memang cuma lima ribu rupiah," imbuhku.

"Terus sistem bayarnya gimana, Bu? Bayar di muka atau—"

"Oh, nggak, Bu. Bayarnya saat murid datang saja, Bu. Jadi kalau anak Ibu nggak datang ya nggak perlu bayar," jelasku.

Si ibu tersenyum. "Oh, begitu ya. Alhamdulillah kalau gitu, Bu. Akhirnya ada juga tempat kursus yang sistem bayarnya begitu. Saya pikir bayar kursusnya per bulan dan dibayar di awal kayak di tempat-tempat lain. Kalau gitu sih malah enak. Soalnya kalau udah terlanjur bayar di muka, kan, sayang uangnya kalau tiba-tiba si anak mogok berangkat."

Aku mengangguk mengiyakan. Aku memang sengaja membuat sistem bayar-saat-datang agar tidak merugikan salah satu pihak dan lebih mudah dalam pencatatan keuangan.

"Kok tiba-tiba kepikiran untuk daftarin anak kursus bahasa Inggris, Bu?" tanyaku setelah kami terperangkap hening selama beberapa detik.

"Iya. Anak saya, kan, udah kelas enam, Bu, dan sebentar lagi, kan, mau masuk SMP sementara di sekolahnya belum ada pelajaran bahasa Inggris jadinya kasihan kalau nggak dikursusin bahasa Inggris. Nanti pas masuk SMP sama sekali nggak ada bekel padahal di SMP bahasa Inggris itu wajib, kan," tutur wanita itu.

"Oh, begitu, Bu." Aku mengangguk-angguk. "Iya, betul juga sih. Kalau di SD belum pernah belajar bahasa Inggris sama sekali nanti takutnya malah kepontal-pontal¹ belajar bahasa Inggris ya, Bu. Eh, tapi memangnya sampe sekarang di sekolah belum ada bahasa Inggris ya? Bukannya kurikulumnya udah baru dan di kurikulum baru itu bahasa Inggris udah jadi mapel wajib?"

Wanita itu menggeleng bersamaan dengan anaknya. "Nggak ada kok, Bu. Eh, gimana kata guru kamu waktu itu, Sal?"

"Kurikulumnya emang baru tapi belum semua kelas pake kurikulum baru. Cuma kelas 1 sama kelas 4 aja yang pake dan yang ada bahasa Inggris juga baru kelas 1 sama 4 tapi berhubung gurunya belum ada ya kelas 1 sama 4 juga belum dapet bahasa Inggris sampe sekarang. Palingan cuma diajari yang dasar doang sama wali kelas." Anak perempuan yang tadi dipanggil Sal oleh ibunya itu memberi penjelasan.

Aku terkejut mendengar penjelasan si anak. "Loh, jadi kurikulumnya nggak semuanya diganti ya?" tanyaku yang dijawab dengan gelengan si anak.

"Masih percobaan gitu katanya, Bu," tambah wanita itu.

"Oh." Aku mengangguk.

"Ya sudah, Bu. Saya mau langsung daftar aja. Nanti malah takutnya makin lama kalau kita ngobrol terus," tukas wanita itu seraya terkekeh yang membuatku teringat kembali tujuan ibu dan anak di depanku ini. "Ada biaya pendaftarannya nggak sih, Bu?"

"Oh, nggak ada kok, Bu. Langsung bayar biaya kursusnya aja kalau pas berangkat," sahutku.

Wanita itu mengangguk. "Terus jadwalnya gimana? Mulainya kapan, Bu?"

"Oh, sebentar." Akupun kemudian mengambil ponselku dari dalam kamar. "Omong-omong nama Ibu dan Kakak siapa ya? Tadi sampe lupa mau tanya."

"Oh, iya ya, Bu. Saya Fatma dan anak saya Salsabila."

"Oke. Saya Bu Samira. Boleh panggil Bu Sam atau Bu Mira. Nah, jadi nanti Salsa tinggal pilih aja harinya mau hari apa. Saya buka kursus dari Senin sampe Sabtu dari jam satu sampe jam lima. Lamanya kursus tiap pertemuan itu satu jam. Seminggu dua kali."

Bu Fatma dan Salsa mengangguk kemudian kudengar mereka berdiskusi dengan suara lirih.

"Ya sudah, Bu. Salsa katanya mau minta hari Senin sama Rabu jam dua."

"Oke. Sebentar, saya tulis dulu di jadwal ya, Bu, biar saya nggak lupa," kataku seraya mengetik jadwal di ponsel. "Kalau masuk jam dua berarti nanti selesai jam tiga ya." Salsa mengangguk. "Saya minta nomer hpnya juga ya biar kalau ada informasi bisa saya WA langsung."

"Oh, boleh, Bu. Sal, kamu hafal nomermu sendiri, kan?"

Salsa kemudian memberikan nomor ponselnya yang langsung kusimpan di ponselku.

"Oke. Kita bisa mulai besok ya, Bu, karena kebetulan besok, kan, hari Rabu. Jangan lupa jam dua ya, Salsa."

Salsa mengangguk. Setelah selesai, ibu dan anak itupun pamit pulang. Sepeninggal mereka aku bersyukur karena akhirnya aku mendapatkan murid pertamaku setelah menunggu selama satu bulan lebih. Aku sempat putus asa karena usahaku menyebar brosur sepertinya tak kunjung membuahkan hasil. Kini secercah harapan kembali datang dengan adanya Salsa. Tidak apa meski aku baru mendapatkan satu murid sebab aku yakin kelak aku akan mendapatkan jauh lebih banyak siswa. Aku berdoa semoga saja usahaku ini berjalan lancar. Aku menjalani sisa hari itu dengan lebih bersemangat karena sudah membayangkan bagaimana keseruanku kembali bekerja.

Catatan.

¹ kesusahan, kesulitan

──  ⊱  𝓣𝓱𝓮 𝓒𝓸𝓾𝓻𝓼𝓮  ⊰  ──

The Course Jilid DuaWhere stories live. Discover now