Langit-langit kamar tampak lebih berbeda dari sebelumnya. Aku terus terbayang-bayang akan langit semesta kemarin. Mereka seakan-akan menjadi hamparan luas padang bintang, dimana konstelasi-konstelasi saling menindih satu sama lain, menciptakan lautan hantaran bintang. Beberapa bintang lebih terang dari yang lainnya, seolah berusaha untuk membiarkan mereka hanyut dalam kegelapan ketidakpastian alam semesta. Mereka seperti berbalap satu sama lain mencari tahu diantara mereka siapakah yang paling terang benderang. Dan diantara itu, aku teringat kembali Cessair.
Hitam matanya, putih kulitnya, merah bibirnya. Perlahan pikiranku mengenai konstelasi di langit dan dirinya menjadi satu. Tanpa kusadari, mereka melebur seperti sungai bersatu kembali dengan lautnya. Membaur kembali seakan-akan mereka sudah lama bersama. Menyatu. Tapi tak terasa Cessair sendiri terlihat seperti sebuah konstelasi. Beberapa bagian darinya bersinar terang benderang. Kemampuan atletiknya, keluwesannya, dan keramahannya. Beberapa, tersembunyi di belakang terangnya bintang-bintang besar itu. Namun sesungguhnya, mereka juga memiliki api-api yang berkobar penuh gelora. Bibir merahnya, beberapa bintik di wajahnya, serta dalamnya mata hitam Cessair. Yang mungkin hanya aku yang sadar.
Wajahnya, dirinya, tutur halus nya, segala perlakuannya. Mereka masing masing bersinar dengan begitu terangnya. Sanggupkah diriku bersaing dengannya?
Aku mendengar pintu kamarku diketuk dengan kencang. Apa sudah jam makan siang? Mbak Po mungkin ingin mengantarkan makan siang, sejak Ayah masih di luar aku tidak perlu makan di meja makan. Dengan tenang aku beranjak dan membuka pintu, hanya untuk mendapatkan sesosok lain berdiri disana.
"Ayah gak ada di rumah kemarin, kamu kemana aja?"
Aku membeku. Tidak, aku tidak boleh membeku. Aku menatapnya dengan yakin dan dalam. Aku sudah berpesan pada Mbak Po untuk merahasiakan hal kemarin, semoga saja Mbak Po tidak menghianatiku. CCTV rumah juga sudah aku ganti dengan footage palsu yang sudah kuambil sudah kubuat untuk mengantisipasi jika tiba tiba aku ingin memberontak seperti ini. "Maksud ayah apa? Aku gak kemana mana kok. Pulang sekolah, menetap sebentar buat belajar bareng temen terus balik ke rumah."jawabku. Aku tetap melihat Ayah dengan perasaan yakin. Kalaupun ini memang tidak bisa mengelabui orang sepintar Ayah, setidaknya aku tetap berdiri dengan tegas melawan ayahku sendiri.
"Tidur saat pergi ke sekolah, bolos kelas beberapa kali, dan kemarin bisa bisanya kamu pulang ke rumah jam satu! Kamu pikir Ayah tidak tahu? Kamu pikir ayahmu sebodoh itu sampai mau dibohongin sama anaknya sendiri? Kalau ada apa apa ayah sudah bilang beritahu ayah! Kalau kamu bosen di kelas, Ayah bisa saja memecat gurunya dan Ayah gantikan dengan guru baru! Kalau Pak Anton ngemudiinnya pelan banget sampai kamu tidur, saya bisa pecat dia! Tapi kenapa kamu tidak pulang sampai jam 1, Kirana? Ayah tahu kamu sering bolos sama satu anak cowok itu, apa perlu aku pindah sekolah kamu biar kamu lebih fokus?!" murkanya. Muka Ayah merah oleh amarah dan aku bisa melihat tangannya mengepal. Tapi aku tidak akan mundur.
"Tidak Ayah. Saya tidur di mobil karena saya mau. Saya bolos kelas karena saya mau. Saya gak pulang kerumah sampai jam 1 karena saya mau! Dan apa yang terjadi Ayah? Semua masih baik-baik saja! Nilai saya masih hijau semua seperti yang Ayah mau! Guru-guru semuanya ramah dan teman-temanku semuanya baik. Apalagi yang Ayah mau? Ayah selalu merasa semua yang membuat saya melakukan hal hal di perhitungan hanyalah halangan, padahal hanya hal-hal itu yang membuat saya masih terasa seperti anak SMA biasa, dan bukan cuman boneka yang Ayah suruh belajar sampe mampus. Kalaupun saya bicara ke Ayah apa yang saya mau, apakah Ayah akan setuju? Apa Ayah punya jaminan Ayah tidak akan melarang saya? Saya tidak mau terus dikekang oleh khayalan Ayah yang ingin saya mengikuti jalan Ayah. Dan saya gak pernah akan mau setelah apa yang sudah Ayah lakukan pada Ibu!" hardik ku tuntas.
Muka Ayah lebih merah daripada sebelumnya. Melihat Ayah yang tidak melakukan apa-apa aku tidak ingin terus berada dalam situasi mencekam dan seakan akan beku dalam waktu ini. Aku mendorong melewati Ayah yang menghalangi pintu.
"Kalau Ayah masih tidak ingin berkata apa apa, aku akan pergi." ujarku tepat sebelum berjalan menuju pintu rumah. Aku tidak mendengar suara langkah kaki dibelakangku. Ayah tidak mengejarku, yang berarti ia terdiam dengan apa yang aku lakukan. Aku mengambil gagang pintu dan berjalan ke luar rumah.
"Setidaknya pulanglah malam ini." sahut Ayahku lirih.
Mungkin, aku akan kalau Ayah tidak tiba tiba muncul dan berkata bahwa semua orang di hidupku harus disingkirkan dan digantikan lagi. Bagaimana aku bisa tetap di rumah setelah semua yang Ayah bilang?
Sekarang, aku hanya terpikirkan akan taman terbengkalai di belakang sekolah. Aku sangat ingin pergi. Kemana saja.
﹌﹌﹌﹌﹌
"Loh Kirana? Lo ada disini juga?"
Aku hanya menengok ke belakang dan melihat Cessair datang sambil menyundut sebatang rokok. Bungkusnya terbuka, berada di tangannya, hanya tersisa sebatang lagi. Aku jadi pingin.
Aku mengalihkan perhatianku ke wajah Cessair dan tidak berkata apa-apa seraya ia berjalan semakin dekat, dan duduk di sebelahku.
"Mau?" tanyanya langsung tanpa ragu. Aku tahu ia tahu, dan aku sangat bersyukur akan itu.
Aku mengambil satu batangnya, lalu meminta korek api. Menyalakannya, membiarkan asap-asapnya masuk mengisiku dan menghancurkan diriku perlahan. Oh, betapa indahnya kematian terlihat sekarang. Di tengah-tengah hamparan rongsokan dengan memori memori yang hilangnya. Indahnya matahari tenggelam dan membiarkan dunia ini menjadi hilang lagi. Langit yang seolah siap menungguku pergi keTidak akan ada yang peduli apakah aku hidup atau mati. Apakah Cessair akan peduli? Persetan itu. Matanya masih tetap sama, dan aku tidak akan mengambil kesempatan secara gamblang dan naif. Bohongnya masih kuingat betapa wajahnya berubah setelah berkata aku mempunyai percikan itu. Bohong. Bohong. Bohong.
Bagaimana kalau aku menghilang sekarang?
Tapi, kamu masih belum menemukan percik itu, Kirana.
Justru bagaimana kalau aku menemukannya setelah mati? Bagaimana kalau kematian adalah sang percik itu sendiri?
Kalau begitu, apakah Cessair menyuruhku untuk mati saja?
Ha ha ha.
Seorang Kirana mengharapkan kematian seperti ini? Lucu sekali. Sungguh lucu sekali. Aku perlu kepastian. Pikiranku masih sangat berkabut, aku tidak bisa menentukan ini hanya dengan opiniku sepihak. Ayah sudah meracuniku, dan aku hanya butuh orang lain bukan? Aku melihat kembali ke arah Cessair dan menyadari ia sudah menghabiskan rokoknya dan sedang menyundut batang kedua. Apa ia juga sedang merenungkan sesuatu yang berat? Masa bodoh. Aku sangat sangat perlu tahu.
Bintang-bintang di langit seolah bersembunyi dariku, menghindari perundungan yang ingin aku berikan kepada mereka atas apa yang telah mereka buat. Kolisi di langit-langit rumah itu. Dan tidak Ayah, saya tidak akan pulang malam ini.
"Cessair, sebenarnya apa pecikan yang lo maksud kemarin?" tanyaku dengan menatap matanya dengan sangat fokus. Aku membiarkan diriku merupakan semua yang ada disekitarku dan memfokuskan semua inderaku hanya ke matanya. Mata kelam itu. Mata penuh percik itu. Namun, ia tidak punya sumbu untuk membiarkannya lebih lama, lantas semua usahanya seakan-akan sia sia. Ahh, betapa berantakannya emosiku sekarang. Aku hanya berharap ia memberikan jawaban yang benar.
Jadi, Tuan Cessair yang Kelam, apa yang kamu lihat dalam diriku?
"Ayo, gue bawa lo ke tempat lain aja. "
Cessair hanya tersenyum dan beranjak dari duduknya. Ia mematikan puntungnya, lalu berjalan kembali ke arah jalan besar.
"Kalo lo gak mau, ya gak usah." ujarnya sebelum menghilang di balik puing-puing sekolah lainnya.
Aku harus tau. Harus.
Demi diriku sendiri.
***
Berlanjut...
KAMU SEDANG MEMBACA
Waterlily; Seringan-ringan bunganya, sekokoh-kokoh tangkainya
Teen FictionKirana dengan wadah kosongnya, Cessair dengan absensi sumbunya. Para sosiopat yang berusaha memahami rumitnya manusia, serta indahnya menjadi mereka. Mereka yang tak memiliki emosi, mencoba untuk menumbuhkannya satu persatu. Disaat mereka berusaha m...