Sang Calon

274 2 0
                                    

Pagi harinya kusambangi Dilla. Takut ia marah karena malam minggu tak kuhabiskan waktu bersamanya.

Kami sarapan dengan membeli nasi gudeg di warung pinggir jalan. Tepatnya di trotoar tak jauh dari hotel paman Dilla.

Antrian pembeli cukup panjang. Rupanya gudeg yang cukup digemari di sekitar sini. Biasanya Dilla membeli untuk dibungkus, namun pagi itu kami memakannya di tempat sembari menikmati suasana luar. Bosan di dalam hotel terus. Beberapa kursi plastik dan tikar untuk lesehan di sediakan di sana.

Aku memesan nasi gudeg dengan lauk dada ayam. Sementara Dilla nasi gudeg telur. Makan pagi bersama pacar dengan udara segar begini memang terasa nikmat. Mengimbangi makan malam panas bersama Vivi sebelumnya.

Jalanan tampak lengang di hari Minggu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Jalanan tampak lengang di hari Minggu. Beberapa orang bersepeda atau berlari-lari untuk berolahraga. Dan sebagian dari mereka mampir ke warung gudeg tanpa atap ini untuk sarapan.

Kebanyakan mereka bapak-bapak dan ibu-ibu. Sebagian bersama anak-anaknya. Dan betapa indahnya melihat anak-anak gadis remaja kota turut berolahraga bersama ayah ibunya. Pemandangan yang tak bisa didapatkan di desa.

Penampilan gadis-gadis itu trendi, praktis dan segar. Sikapnya pun berani dan tak malu-malu, meski kebanyakan agak cuek dan jutek.

Beberapa becak tampak berseliweran di jalanan. Mereka masih menjadi alat transportasi yang cukup digemari di perkotaan. Terutama oleh ibu-ibu.

"Ehh, lihat, mirip nenek Tia tuh!" kelakar Dilla melihat sesosok tua menumpang sebuah becak.

Aku pun tertawa karena ia memang mirip nenek Tia. Kelihatan bugar meski sudah tua. Memakai kebaya dan berdandan rapi.

Di becak lain, terlihat dua ibu-ibu menumpang hingga membuat si penarik becak agak kewalahan. Nenek dan ibu-ibu kota memang tak bisa lepas dari becak. Mereka sudah terbiasa dan merasa nyaman untuk menggunakannya.

Dibandingkan bus yang penuh sesak, atau mengendarai mobil pribadi yang tak praktis, mereka lebih memilih kendaraan roda tiga itu. Santai, murah, segar dengan udara terbuka, dan tak perlu berdesak-desakan. Apalagi bagi yang masih memegang prinsip leluhur; alon-alon waton kelakon (pelan-pelan asal terlaksana). Pengemudi yang berada di belakang penumpang pun menumbuhkan perasaan seolah mengontrol segalanya.

Meski para penumpang itu adalah nenek dan ibu-ibu Jawa, namun jangan bayangkan mereka lemah-lembut seperti stereotipe yang berkembang. Sebagian memang begitu; banyak yang tidak.

Coba saja bikin masalah dengan mereka, dan kau akan menyesal. Mereka bahkan mampu membuat para penarik becak tak berkutik. Menang debat dan menang galak.

Perempuan Jawa memang sudah banyak berubah sejak negeri ini merdeka. Mungkin karena mereka merasa tak harus tunduk lagi kepada para priyayi. Dan menumbuhkan perasaan menjadi priyayi baru. Atau karena tak ada lagi priyayi yang bisa dijadikan contoh dalam kelembutan dan kehalusan budi.

Akibat Game SeksiWhere stories live. Discover now