Penyiar Cinta

290 2 0
                                    

Vivi mencapai impiannya untuk menjadi penyiar utama. Dengan potensi dan kelincahan yang dimilikinya, tak heran jika ia bisa mendapatkan posisi itu. Siarannya memang menarik. Suaranya juga enak didengar.

Ia mengundangku untuk merayakan keberhasilannya dengan makan malam. Bukan makan malam mewah ala restoran atau macam di rumah Ana. Tapi sebatas perayaan anak kos.

Kami berkeliling naik sepeda motor di sekitaran kos dan kampus. Vivi cukup bingung memilih menu perayaannya. Tentu tak ingin menu yang biasa saja, namun juga tak punya cukup uang untuk ke restoran mahal.

Setelah berkeliling cukup lama, akhirnya pilihan kami jatuh pada Sop Kaki Kambing di deretan warung tenda. Terletak di depan bundaran dan pintu masuk utama kampus.

Di kawasan bundaran inilah dulu pusat pergerakan mahasiswa ketika mengobarkan reformasi. Berbagai kampus bersatu dan tumpah ruah di sini. Tak jarang sampai terjadi kericuhan. Aku masih kelas satu SMA waktu itu. Dan melewati jalur ini saat naik bus.

Tiga tahun berlalu setelah reformasi, tak ada lagi demo besar. Hanya beberapa demo kecil saja, baik dari mahasiswa maupun elemen masyarakat lain.

Kebanyakan demo mahasiswa memprotes kebijakan kampus. Terutama saat universitas menyatakan hendak berubah menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara) yang mencabut subsidi bagi mahasiswanya.

Sekarang yang lebih sering digelar di area itu adalah konser musik. Seperti pada malam hari ini. Keriuhan penonton di taman seberang bundaran sana sudah terlihat dari sini. Hentakan-hentakan musik dari band-band pembuka pun juga sudah terdengar.

Sejak salah-satu band asal kota kami diterima major label Jakarta dan menjadi idola, gejolak band-band indie semakin meriah. Mereka berlomba-lomba ingin meniru sang pioner. Menggapai kesuksesan secara nasional.

Hampir setiap malam Minggu terdapat konser gratis atau murah yang digelar di banyak tempat. Terutama di kampus-kampus. Tak menghadirkan bintang tamu dari ibukota. Cukup band-band indie yang terkenal saja. Dan sambutannya pun luar biasa.

Aku dulu sering menontonnya bersama Herman atau Dani saat semester pertama. Bersama Dilla dan Tia pun juga pernah sekali. Waktu itu Tia harus dikawal oleh sopirnya karena tak diijinkan keluar malam sendirian.

Band-band indie yang tampil menunjukkan skill yang cukup bagus. Saat konser Soundrenaline digelar di kota ini beberapa tahun kemudian, band-band indie menunjukkan skill mereka di atas band-band nasional. Mereka mendapatkan panggung tersendiri. Namun karena kalah pamor dan lagu, tak mendapatkan penonton sebanyak band ibukota.

Dunia musik indie di kota ini waktu itu hanya melulu menilai skill. Dengan permainan musik yang rumit, sebuah band biasanya akan memenangkan festival.

Kebanyakan juri dan Event Organizer belum menghargai harmonisasi sederhana dan keindahan sebuah lagu. Padahal banyak band dari kota ini yang diterima major label Jakarta tak mengandalkan kerumitan musik. Justru mengusung musik sederhana dengan materi lagu yang bagus.

"Abis makan, nonton itu ya?" pinta Vivi tertarik pada pertunjukan band, "Mau, kan?"

"Okelah!" jawabku tak kalah antusias. Deru musik telah terdengar samar mengiringi makan malam kami.

Ternyata Vivi juga belum pernah makan menu itu. Aku pernah, namun tak kudapatkan yang seenak ini. Sop Kaki Kambing khas Betawi.

Daging yang menempel pada tulangnya cukup lembut dan tidak amis. Bumbunya pas. Kuahnya kombinasi antara susu dan santan. Banyaknya taburan daun bawang menambah cita rasa. Pantas saja jika warung tenda ini selalu ramai setiap malam.

Terdapat juga menu torpedo. Dan tentu aku memesannya. Vivi hanya cekikikan sambil memandangiku curiga.

"Hmm, torpedo!" gumamnya penuh selidik, "Awas ya kalau jadi greng! Jangan lampiaskan ke aku! Huhu!"

Akibat Game SeksiWhere stories live. Discover now