Bab 19

10 0 0
                                    


"Bukan Sekedar Maaf"

Grace merutuki dirinya sendiri yang tertidur di makam ayahnya hingga larut malam. Jika bukan karena satpam penjaga pemakaman yang membangunkannya, mungkin saja ia bermalam disana hingga besok hari. 

Kini ia tengah berjalan menuju sekolahnya. Dirinya kembali merutuki dirinya sendiri yang meninggalkan ponsel dan juga dompernya di tas yang ia tinggalkan di dalam kelas. Dirinya tak mengira siang tadi ia pergi berjalan kaki satu setengah kilo jauhnya dari sekolah menuju makam ayahnya.

"Ah bangke! Mana masih jauh lagi." ucapnya seraya menendang kaleng di trotoar jalan.

"Bunda aku pegel, laper. Jadi gembel ga enak ternyata" Rengeknya pelan.

---

Sementara itu, Gavin mencoba memanjat pintu belakang sekolah. Cara ini sudah menjadi tradisi bagi Grace dan Gavin jika mereka terlambat. Tampak sekolah yang begitu sepi. Beruntungnya Gavin ketika ia menyadari  bahwa kelasnya tidaklah terkunci. Ia mulai tak tenang ketika firasatnya terbukti benar. Semenjak istirahat tadi, Grace benar-benar pergi dengan meninggalkan tasnya tanpa kembali. Ia belum mengetahui masalah apa yang menimpa sahabatnya itu karena dirinya terlalu fokus mengurus Laura yang tiba-tiba mengeluh sakit. 

Gavin mengecek isi tas sahabatnya dan berdecak kesal. Bagaimana mungkin gadis itu meninggalkan ponsel, dompet, dan barang-barang miliknya begitu saja. Tanpa berpikir panjang, Gavin mengamankan tas itu dan pergi dari sana untuk melanjutkan pencariannya.

---

Di sekolah, Grace kebingungan mencari tas miliknya yang tidak ada di bawah meja. Ia ingat betul terakhir kali dirinya meletakan tas itu di bawah mejanya, "Ck, gimana dong. Ga bisa pulang kalo kaya gini. Bunda pasti khawatir belum aku kabarin. Duh, kalo beneran ilang gimana?"

Di salah satu meja di kelasnya, Grace yang merasa lelah hanya bisa menelungkupkan wajahnya dan menangis. Dirinya tidak mungkin tidur disini karena pasti besok paginya banyak murid-murid yang berangkat sekolah. Grace menghapus air matanya dan berniat pergi menuju rumahnya dengan berjalan kaki. 

Dengan langkah gontai, Grace menyusuri jalan menuju rumahnya yang masih jauh, "Gavin brengsek. Gue kangen lo. Gue pengen minta maaf tapi malu. Gue ga mau kaya gini." teriaknya sepanjang jalan. 

Tak sedikit orang yang menatapnya iba dan menawarinya tumpangan, tapi dirinya selalu menolaknya. Dirinya benar-benar berantakan, baju seragamnya sobek karena perkelahian tadi, belum lagi tubuh dan bajunya juga turut kotor karena ia sempat tertidur di tanah pemakaman ayahnya. 

"Bunda aku cape. Kata bunda aku ga boleh seenaknya terima tawaran orang karena siapa tau dia punya maksud jahat. Tapi kaki aku ga kuat lagi buat jalan." Ucap Grace yang menghentikan langkahnya.

Perasaan Grace mulai tak tenang ketika ia melihat tiga pria asing yang terus memperhatikannnya dari kejauhan. Sadar bahwa ia berhenti di kawasan yang sepi, ia lantas pergi dari sana secepat mungkin. Grace menutupi bajunya yang robek dengan tangan kirinya. Ia berjalan setengah berlari dengan pikiran yang gusar. 

"Oy," Terdengar sahutan dan juga siulan dari beberapa pria dibelakangnya. Benar saja bahwa mereka kini mengikuti Grace yang kini mulai berlari ketakutan. 

Grace menabrak dada bidang pria di depannya ketika mereka berhasil mengejar Grace. Dengan nafas tak beraturan, Grace mulai ketakutan dengan keringat dingin yang mulai memenuhi pelipisnya.

Gavin Grace (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang