Bab 1

18 3 0
                                    

"They Born"

"Gimana? Usaha butik kamu lancar kan?" Tanya wanita yang sedang sibuk dengan hidangannya.

"Lancar, nar. Bahkan sekarang lagi banjir orderan."

"Wah, ikut seneng dengernya."

"By the way, jujur aku masih ga nyangka kita bisa hamil diwaktu yang sama, ditambah prediksi kelahiran kita juga bisa sama persis" Ucap wanita yang tampak masih segar dengan stelan anggunnya.

Luna Anastasya. Dia adalah sesok ibu yang tengah mengandung di usia kandungannya yang kedelapan. Ia sangat menanti putri kecilnya yang kelak akan segera lahir. Walaupun disisi lain, ia juga merasa sangat bersedih karena putrinya harus terlahir tanpa merasakan sosok ayah dihidupnya. Kini, ia hanya bergantung pada usahanya yang membuka toko butik sederhana di samping rumahnya.

"Iya, bener banget. Aku juga masih ga percaya, loh. Chemistry kita emang sekuat itu, lun" Ucap Denara Keira yang merupakan sahabat dari Luna.

Mereka tampak tengah mengadakan makan malam bersama ditemani dengan Nathan Pradipta yang merupakan suami dari Denara. Sendari tadi ia hanya fokus mendengarkan percakapan kedua ibu hamil dihadapannya.

"Seandainya Devan ada disini. Dia pasti bahagia nunggu kelahiran anaknya" Ucap Luna seraya bersedih dan mengelus halus perutnya yang sudah membesar.

Mendengar hal tersebut, Nathan lantas menghentikan suapannya, "Kamu harus sabar, Lun. Devan pasti bahagia punya istri dan anak sehebat kalian. Bagaimanapun Devan adalah sahabat kita juga. Jadi sudah seharusnya kita akan selalu mendo'akan dia."

Luna yang terlihat menangis lantas mengusap air matanya dan tersenyum, "Makasih banyak. Beruntungnya aku punya sahabat kaya kalian."

Denara yang melihat sahabatnya bersedih, mengusap pelan bahu Luna dan berniat menenangkannya, "Kamu harus sabar. Kita akan selalu ada buat kamu. Kalo kamu butuh apa-apa, jangan sungkan buat bilang."

Luna terlihat mengagguk mengiyakan.

"Oke, jangan sedih-sedihan lagi yuk? Gimana kalo sekarang kita pikirin nama dari bayi yang bakal lahir nanti?" Tanya Nathan yang berusaha mencairkan suasana.

"Ide bagus. Karena kemungkinan besar bayi kita lahir di hari yang sama, gimana kalo kita kasih inisial huruf depan yang sama juga?" Tawar Denara.

"Devan dulu pernah request buat namain bayi ini dengan nama Gracia Athaya" Ucap Luna dengan senyumnya.

"Waw. That's a beautifull name. Oke, sekarang waktunya kita pikirin nama buat anak kita, mas" Ucap Denara yang menatap Nathan suaminya.

Nathan tampak berpikir sejenak, "Karena anak kita laki-laki, gimana kalo kita kasih nama Gavin Anantha?"

Mendengar saran dari suaminya itu, tampak Denara tersenyum sumringah, "I like that. Mereka pasti bakal keliatan cocok."

"Semoga kelak, anak-anak kita bisa tumbuh sebagai anak yang kuat, sukses, baik dan bijaksana" Ucap Nathan.

---

17 Tahun Kemudian....

"Gimana? Udah paham?" Tanya pria yang terlihat tengah mengajari gadis di depannya.

Grace yang tampak fokus menatap lembaran kertas dihadapannya, lantas menggeleng tak mengerti, "Kecepetan! Gue jadi susah nangkepnya kalo gitu!"

Gavin tampak menghela nafas pasrah, "Kebanyakan micin jadinya telmi."

Grace lantas membelakan matanya dan tak terima, "Apa lo bilang?! Mican micin mican micin. Ini karena gue ngikut jejak lo noh, masuk IPA, padahal otak gue di IPS."

"Lagian siapa suruh ngikut-ngikut. Mana sekelas lagi."

"Bentar-bentar, kok kesannya lo malah kek jual mahal ya, nyet" Ucap Grace.

Gavin lantas menyipitkan matanya dan merubah ekspresinya intens, "Rule number four!" Ucapnya yang berusaha memperingatkan.

"Ck, iya maap" Grace memutar bola matanya malas.

"Coba sebutin bunyi peraturan nomer empat?" Tanya Gavin memastikan.

"Jangan pernah ngomong toxic di depan satu sama lain" Jawab Grace malas.

Gavin lantas tersenyum simpul dan mengacak pelan rambut Grace, "Good girl."

Grace refleks langsung menepis tangan Gavin dari rambutnya, "Ish, udah ah! Mending lo ajarin gue lagi! Step by step, jangan kecepetan! Tolong kasih gue paham fisika yang susahnya tiada tara ini, vin. Lagian gabutnya orang pinter aneh-aneh aja. Apel jatoh aja diitung, orangmah langsung dimakan ya."

"Perut lo ama Albert Einstein itu beda. Nah, itu ngaruh juga kecara berpikir lo yang cetek ini" Ucap Gavin.

"Berisik lo, beg---" Ucap Grace terpotong.

Gavin lantas meletakan bolpoint yang ia pegang kedepan mulut Grace, "Sekali lagi lo langgar peraturan nomer empat, inget? ada punisment."

Grace lantas menarik nafasnya kasar, "Sabar, tenang, damai. Yok kita lanjut lagi belajarnya pak Gavin yang cerdas dan berbudi pekerti luhur" Ucap Grace seraya menebarkan senyum ramahnya yang terpaksa.

---

#Vote n Comment

Gavin Grace (On Going)Where stories live. Discover now