Harapan Semu

1.7K 361 98
                                    

Uhuyyy. Bagas update wkwkwk. Jangan lupa vote, subscribe, dan komen ya. Makasih.

****

Pulang jam berapa? Aku jemput. Bunda nyariin kamu. Bawa ganti.

Sebaris pesan singkat mampu membuat Azkia tersenyum sekaligus meringis. Ia kira pria itu tidak akan menghubunginya karena hal sepele rupanya ...  Senyum simpul wanita berkerudung itu tampak, betapa beruntungnya dia memiliki mertua sebaik mereka. Namun, sayang tidak berlaku pada putra mereka, Bagas bukannya tidak baik tapi tak bisa mencintainya, itulah pokok utama untuk Azkia. Seperti saat ini, jujur ia berharap Bagas menghubunginya karena merasa kehilangan dia, nyatanya ....

Memang apa yang kamu harapkan? Bagas mencarimu karena kehilangan? Ngimpi!

Olok-olok dari sisi jahatnya menyadarkan Azkia bahwa itu harapan semu dan tak patut dia untuk bertahan di dalamnya. Sesaat setelah menghela napas, ia membalas pesan Bagas.

Jam lima tapi jemput jam setengah tujuh aja di tempat kerja. Aku ambil baju ganti dulu.

Azkia tak mengharapkan balasan pesannya, sebab ia tahu pria itu tak akan membalas. Ia masukkan gawainya ke tas lalu menaruhnya di loker. Azkia bergegas ke meja kasih karena jam istirahat siangnya sudah habis.

****

Pukul lima lebih sepuluh menit, wanita memakai kaus lengan panjang dan celana panjang itu keluar dari pintu belakang khusus karyawan. Ia berniat memesan ojek online—agar cepat sampai di kosannya—tapi harus batal gara-gara Bagas sudah berada di parkiran tempatnya bekerja.

Dengan langkah lambat, ia menghampiri suaminya itu. Ia menampilkan senyuman meskipun belum tentu dibalas. "Sudah lama, Mas?" tanya Azkia basa-basi. Ia bingung harus berbicara apa dengan Bagas seolah mereka orang asing baru bertemu.

"Barusan. Kasih arahan ke tempat kosmu." Iya, Bagas tahu kalau Azkia nge-kos di daerah dekat sini, sebab wanita itu mengirim pesan setelah pindah.

Mereka masuk mobil SUV hitam Bagas dan meninggalkan parkiran. Sebenarnya tidak butuh waktu lama sampai di tempat Azkia, tapi jalanan yang ramai dan macet membuat sedikit lama sebab bertepatan jam pulang kerja.

Mereka tiba di tempat Azkia 25 menit kemudian. Bangunan dua lantai luas itu memiliki cat dinding putih abu-abu. Dari luar pagar tampak kamar-kamar berhadapan dengan pintu cokelat. Usai mematikan mesin mobil, Azkia dan Bagas turun. Ia meminta pria tersebut menunggu di teras dan bergegas masuk ke kamarnya.

"Maaf, Mas, aku belum sempat ngurus surat cerai kita. Insyaallah pas libur aku bakal ngurus," ujar Azkia saat mereka dalam perjalanan ke daerah Soekarno Hatta.

Bagas tak bersuara. Bibirnya menipis dan urat-urat di lehernya terlihat. Tangannya pun mencengkeram kuat kemudi menyalurkan kemarahan yang tiba-tiba muncul. Entahlah, Bagas tak suka kala Azkia membahas tentang perceraian.

Wanita itu menoleh ke arah Bagas. Ekspresi pria itu tak terlihat karena mendung gelap. "Oh ya, Mas, kunci cadangan rumah aku bawa, jaga-jaga pas ambil sesuatu di rumah, jadi nggak ngerepoti kamu. Nanti kalo sudah selesai sama dokumen cerai, kuncinya aku kembalikan."

Bagas lagi-lagi tak menyahuti perkataan Azkia. Ia takut mengeluarkan kata-kata yang nantinya akan menyakiti wanita itu sebab amarahnya mulai naik ke ubun-ubun.

****

"Kalian nginap, kan? Bunda kangen kamu, Ki." Wulan memeluk erat mantunya dengan sayang. Ia pun menghela Azkia ke sofa di ruang tengah. "Mbok ya sering-sering ke sini gitu, biar Bunda ada temennya. Fifi itu kadang kalo udah keluar kota suka lama," keluh Wulan dibarengi wajah muram. Bukannya ia mendramatisir tapi seperti itu kenyataannya. Fifi yang bekerja di perusahaan asing sering harus ke luar kota barang satu atau dua hari, kadang bisa seminggu.

Wanita 25 tahun itu meringis samar mendengar permintaan mertuanya. Ia tidak mungkin sering-sering menginap mengingat sebentar lagi ia dan Bagas akan berpisah. Tak hanya itu, posisinya akan segera terganti oleh Ranti jadi sebisa mungkin ia meminimalisir kunjungan ke rumah Wulan. "Insyaallah, ya, Bun. Kadang harus lembur juga, jadi sampai rumah langsung tidur," jelas Azkia mencari alasan yang tidak begitu kentara.

Wanita yang masih terlihat cantik di usia tak muda lagi itu merengut. Pipinya mengembung, bersedekap, dan memunggungi Azkia, persis balita yang tidak dituruti keinginannya. "Bagas kan bisa jemput kamu," ujarnya sedikit ketus.

Azkia mengelus bahu Wulan dengan ringan. Ia tak bermaksud membuat mertuanya marah tapi keadaan rumah tangganya sedang tidak baik-baik saja. "Tapi ...."

"Iya nanti Bagas sering nginap sini."

Sontak istri dari Bagas itu menoleh ke arah pria itu. Memberinya tatapan tajam tapi diabaikan oleh Bagas. Pria tersebut seolah tak melihat pelototan yang ia berikan. Benar-benar pria edan. Azkia menggeram lirih seperti ingin melahap suaminya bulat-bulat. Baru saja akan menimpali omongan Bagas, Wulan berbalik dengan wajah berseri-seri.

"Beneran, kan, Gas?" Suara Wulan terdengar riang. Senangnya karena keinginan tercapai."

Bagas berdecak. Ia tak habis pikir bundanya tidak mempercayainya. "Iya. Kapan sih Bagas ingkar kalo janji."

"Awas aja kalo kamu bohong. Bunda masukin lagi ke perut," ancam Wulan.

"Hmm. Bagas ke kamar dulu."

Kalau seperti ini bagaimana mereka bisa berpisah? Pikir Azkia kalut. Bagaimana meyakinkan hakim jika saksi tidak berpihak padanya?

"Ki. Kia!"

Suara keras Wulan membuyarkan pergulatan batin Azkia. "Iya, Bun?"

"Ngelamunin apa? Bunda ngomong nggak didenger. Kenapa?" Wulan mengubah posisinya menghadap mantunya itu. Melihat dari paras Azkia sepertinya memikirkan sesuatu yang cukup berat. "Cerita sama Bunda, kali aja Bunda bisa bantu." Wulan ingin wanita itu terbuka padanya jika ada masalah. Ia tak ingin ada sekat antara mantu dan mertua. Wulan ingin Azkia menganggapnya selayaknya ibu kandungnya sendiri. "Atau kalian ada masalah? Apa Bagas bikin atau ngomong sesuatu yang nyakitin kamu?" cecar Wulan lagi.

Azkia tersenyum dan menggeleng. Bahagia rasanya mendapat mertua perhatian pada dia. Entah kebaikan apa yang ibunya lakukan hingga Azkia mendapat mertua sebaik Wulan. "Nggak ada, Bun. Capek aja mungkin. Beberapa hari ini alhamdulilah resto lagi rame, jadi jam istirahatnya singkat," elak Azkia menutupi permasalahan sesungguhnya.

Tangan Wulan terulur meraih tangan Azkia dan merangkumnya. Menepuk-nepuknya lembut disertai pandangan sayang. "Kenapa nggak berhenti aja dan fokus ngurus Bagas? Nikmati peran kamu sebagai istri. Yang lain biar Bagas yang penuhi," sarannya. "Bunda nggak maksud apa-apa tapi sekarang ada Bagas, biar dia yang ambil alih semua kebutuhan kalian. Kamu istirahat."

"Ngapunten (maaf), Bun. Bukan Kia nggak mau fokus urus Mas Bagas, cuma selama ini sudah biasa kerja, jadi ... bingung aja mau ngapain di rumah. Kan kalo kerja bisa ketemu temen, jadi nggak bosen gitu, Bun."

"Kamu bisa main ke sini, Ki, temenin Bunda. Jadi ...."

"Nanti, Bun, kalo Kia hamil baru Bagas minta berhenti kerja. Sekarang biar dulu, kasihan juga nggak ada temen di rumah."

Orientasi Azkia seketika berpindah pada Bagas yang kini duduk di karpet di samping kakinya. Ia terdiam, matanya berkedip-kedip dengan bibir terbuka, dan bingung mencerna perkataan pria itu. Apa maksudnya? Kenapa memberi harapan semu? Lalu apa Bagas berharap dirinya hamil? Lagipula bagaimana mungkin ia hamil sedangkan mereka sudah seminggu ini pisah rumah. Tidak. Bukan maksud Azkia ingin disentuh hanya saja ... mereka akan berpisah.

Tbc.

Seperti biasa cerita ini sudah tamat di Karyakarsa.  Bisa pake link di bio-ku, terhubung langsung. Bisa baca lewat website atau pun aplikasi. Makasih 😁


















Siapa Aku di Hatimu Where stories live. Discover now