Gama mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sangat paham motor apa yang dimaksud oleh Aruna. Jujur saja, ia bukan pecinta motor. Selama ini, kendaraan yang ia punya hanya dua mobil. Motor yang kemarin dikendarainya, merupakan motor baru yang dibeli secara impulsif. Siapa sangka sikap impulsifnya bisa membuat si kembar senang. Untuk sementara waktu, motor vespanya diparkir di garasi rumah orang tuanya.

"Papi."

Gama tersadar dari lamunannya karena suara Alula. Kemudian, ia beralih menatap Alula yang ternyata saat ini sudah tidak memegang ponsel. "Kenapa, sayang?"

"Kenapa Papi nggak punya rumah?"

Gama mengulum senyum, merasa lucu dengan pertanyaan yang diajukan oleh Alula. "Soalnya Papi tinggalnya di apartemen."

"Iya, kenapa milih tinggal di apartemen?" tanya Alula lagi, merasa jawaban yang ia dapat belum memuaskan untuknya. "Kan lebih enak tinggal di rumah. Nggak perlu naik turun lift kayak di apartemen."

Kali ini Gama tidak langsung menjawab. Ia memikirkan dulu jawaban yang akan diberikan. "Jadi gini, Papi kan tinggal sendiri, apartemen lebih cocok buat Papi."

"Emang benar ya kalo tinggal di apartemen nggak kenal sama tetangga?" Kali ini giliran Aruna yang bertanya. Dari tadi ia menyimak percakapan Papi dan Alula.

Gama mengangguk, kemudian menggeleng. "Papi cuma kenal tetangga sebelah kanan aja, yang lainnya belum sempat kenalan."

"Kenapa nggak kenalan?" tanya Alula dengan wajah serius. "Kata Mami, kita harus kenal sama tetangga dekat. Kalo ada apa-apa, tetangga yang akan nolong kita duluan."

Aruna mengangguk setuju. Ia ingat kalau Mami pernah mengatakan hal itu padanya dan Alula. "Papi harus kenalan sama tetangga kanan dan kiri. Biar kalo Papi butuh bantuan, bisa ditolongin sama tetangga."

Gama menggaruk belakangnya dengan memasang tampang bodoh. "Papi nggak punya waktu buat kenalan sama tetangga."

"Karena Papi sibuk kerja?" tebak Aruna yang langsung diangguki cepat oleh Papinya.

"Papi di apartemen cuma istirahat aja. Dari pagi sampai malam, Papi harus kerja. Setiap hari libur, Papi ke sini buat ketemu kalian," ucap Gama menjelaskan.

"Dulu sebelum tau ada aku sama Aruna, Papi ngapain di hari libur?" tanya Alula dengan raut wajah penasaran.

"Hmmm ... Papi tidur aja di rumah."

"Emang selama ini Papi nggak pernah nyari tau soal aku sama Aruna, ya?" tanya Alula ringan.

Pertanyaan sederhana dari Alula yang ditanyakan dengan nada ringan, tapi berhasil menusuk tajam ke relung jantungnya. Mulutnya kaku, tidak ada jawaban yang bisa ia keluarkan.

"Papi nggak sayang ya sama kita?" Sekarang gantian Aruna yang bertanya.

Gama meneguk ludahnya susah payah. Kemudian ia turun dari sofa, bersimpuh di hadapan kedua anak perempuannya. "Papi sayang sama kalian. Kalo nggak sayang, nggak mungkin Papi sempatin waktu libur Papi buat ketemu kalian. Papi mau kenal kalian lebih dekat."

"Kenapa Papi sama Mami pisah?" tanya Aruna tiba-tiba. "Aku nggak pernah lihat Mami sama Papi bertengkar, kenapa kalian pisah?" tanyanya lagi.

Alula manggut-manggut, tampak setuju dengan pertanyaan yang diajukan Aruna. "Kata teman-teman kami yang orang tuanya pisah, orang tua mereka pisah karena sering bertengkar." Alula diam sebentar, mengamati ekspresi Papinya. "Tapi, Mami sama Papi nggak kayak gitu. Kalian berdua nggak pernah bertengkar sama sekali di depan aku sama Aruna. Terus, kenapa kalian pisah?"

Gama diam, sibuk merangkai kata di kepalanya sebelum menjawab pertanyaan anaknya.

"Aku sama Alula udah pernah nanya soal ini juga ke Mami," ucap Aruna pelan.

Not Finished Yet [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang