Bab 13

42K 3.6K 46
                                    

Kamil mengikat rambutnya tanpa mengalihkan tatapan matanya dari Kakaknya yang duduk termenung di balik meja kerja. "Kalo khawatir, coba ditelfon," ucapnya setelah mengikat rambutnya dengan rapi. Ia meletakkan sebuah cangkir kopi ke meja kerja Kakaknya.

Jenia menatap cangkir sekilas, sebelum mengumamkan kata terima kasih pada Kamil. "Kalo aku telfon, kesannya kayak nggak percaya sama Mas Gama."

"Yaudah kalo gitu. Jangan ngelihatin hp terus."

"Kalo mereka berdua bisa nerima Mas Gama, mungkin aku nggak akan sekhawatir ini." Jenia menghela napas keras. "Masalahnya Alula belum nerima Papinya. Cuma Aruna doang yang excited tiap ketemu Papinya," lanjutnya.

Kamil menarik kursi agar bisa duduk di depan meja kerja Jenia. "Mbak kan tau, walaupun mereka kembar, Alula sama Aruna itu dua anak yang beda karakter.

Jenia tersenyum kecil sambil membayangkan kedua anaknya. "Aku tau," sahutnya lirih.

"Jelas Mbak lebih tau karena Mbak Jenia yang ngelahirin mereka."

Selama satu minggu ke depan, setiap berangkat dan pulang sekolah, si kembar akan diantar dan dijemput oleh Gama. Hal ini bertujuan mendekatkan si kembar pada sosok Papinya. Jenia sama sekali tidak keberatan dengan hal itu. Walaupun status mereka sudah tidak bersama, bagaimanapun juga Gama memiliki hak untuk menghabiskan waktu dengan si kembar.

Hari pertama, Alula sudah protes begitu tahu kalau bukan Jenia yang akan mengantar ke sekolah. Sempat ada drama tidak mau berangkat sekolah, sampai akhirnya Jenia turun tangan untuk membujuk Alula. Meski dengan wajah tertekuk kesal dan bibir manyun, akhirnya Alula mau naik ke mobil Gama. Aruna sempat menawarkan agar Alula duduk di kursi depan, tapi langsung ditolak oleh Alula.

"Mbak udah ketemu sama Mama dan Papanya Mas Gama?" tanya Kamil yang melihat Jenia tampak melamun.

Jenia menggeleng.

"Kalian ada rencana buat ketemu?"

Jenia mengangguk. "Mamanya Mas Gama ngehubungin aku, katanya minta ketemuan."

"Kapan? Hari ini?"

"Harusnya emang hari ini, tapi aku bilang kalo hari ini aku sibuk banget. Jadi, aku bilang ketemuannya besok aja."

"Sibuk?" Kamil menahan diri agar tidak  tertawa. Pada kenyataannya, hari ini Jenia tidak terlihat sibuk sama sekali.

Jenia berdecak keras. "Aku emang bohong dan bilang nggak bisa ketemu hari ini."

"Kenapa harus bohong?"

Jenia diam. Cukup lama dia terdiam sampai akhirnya ia bersuara. "Sepuluh tahun yang lalu, pertemuan terakhirku sama Mamanya Mas Gama kurang baik. Aku juga harus mempersiapkan diriku sebelum ketemu lagi. Aku juga harus pikirin kata-kata yang bakal keluar dari mulutku."

"Kenapa sampai segitunya sih?"

Jenia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Bagaimanapun juga, Mamanya Mas Gama itu orang tua yang harus dihormati. Aku nggak mau bikin masalah yang memperumit semuanya. Alula dan Aruna cucu mereka, aku nggak mau anak-anakku nggak nyaman karena hubunganku dan keluarga Papanya kurang baik."

"Gimana kalo Mamanya Mas Gama nyalahin Mbak Jenia?" tanya Kamil sambil bertopang dagu.

"Nyalahin atas hal apa?" tanya Jenia bingung.

"Karena Mbak Jenia nggak ngasih tau soal keberadaan si kembar."

"Mamanya Mas Gama harusnya sadar, alasanku nggak ngasih tau soal si kembar ke keluarga mereka karena perlakuan Mamanya Mas Gama ke aku sepuluh tahun yang lalu,"  jawab Jenia dengan tenang. "Aku nggak mau menyimpan dendam, tapi setiap kesalahan yang bikin aku sakit hati, nggak akan mudah untuk dilupain," lanjutnya.

Not Finished Yet [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang