Bab 2

46.5K 4.1K 164
                                    

"Kenapa sih kita nggak ada Papi?"

Jenia samar-sama mendengar suara Aruna saat melewati kamar si kembar yang tak tertutup rapat. Sebagai ibu kandung si kembar, tentu saja ia mampu membedakan suara Alula dan Aruna meski suara mereka hampir sama. Bukannya meneruskan langkahnya, ia malah bersandar di tembok, menunggu jawaban dari Alula.

"Karena Papi nggak ada," jawab Alula santai.

"Aku sedih deh kita nggak ada Papi."

"Ngapain sedih?" balas Alula. "Teman kita banyak kok yang nggak punya Papi. Ada Megan, Osa, Garen, mereka semua nggak punya Papi. Anak-anak lain juga banyak yang nggak punya Papi, tapi mereka nggak sedih.

Diam. Jenia tidak mendengar suara Aruna ataupun suara Alula. Sampai ia mendengar Alula kembali bersuara. "Meskipun nggak ada Papi, kita punya Mami sama Om Kamil."

"Iya sih...."

"Aku kadang mikir aja kenapa kita nggak ada Papi."

"Ngapain dipikir? Emang Papi mikirin kita?"

Jenia kaget mendengar ucapan yang keluar dari mulut Alula. Siapa yang sangka anaknya bisa berkata seperti itu.

Jenia memang tidak pernah menjelaskan secara rinci keberadaan sosok Papi mereka kepada Alula dan Aruna. Dulu si kembar tidak pernah bertanya apapun soal Papinya. Semua bermula saat si kembar berusia enam tahun dan mulai masuk ke lingkungan sekolah. Alula dan Aruna memang masuk SD lebih cepat dibanding teman-teman seumurannya.

"Kalian berdua punya Papi kok, tapi sekarang Papi nggak ada sama kalian."

Kalimat itu yang menjadi jawaban Jenia saat pertama kali ditanya anak-anaknya. Tak lama setelah itu, dari jawaban yang ia berikan membuat si kembar mengambil kesimpulan kalau Papinya sudah meninggal. Pergi diartikan meninggal. Ia tahu hal itu karena tak sengaja mendengar doa anak-anaknya.

"Semoga Papi masuk surga, Amin...."

Jenia sampai tidak bisa berkata-kata mendengar doa si kembar. Bukannya memberitahu tentang fakta yang sebenarnya, ia malah membiarkan mereka berpikir kalau Papi mereka sudah meninggal. Setelah itu si kembar tidak pernah bertanya soal keberadaan Papi mereka padanya.

Anggap saja Jenia jahat karena menyembunyikan keberadaan si kembar. Tapi, mengingat masa sulit yang harus ia lewati, apa yang ia lakukan terasa benar.

Akhirnya Jenia mengetuk pintu kamar si kembar, membuat dua anaknya berhenti mengobrol. Kepalanya muncul di antara pintu yang terbuka. "Kalian udah ngerjain tugas?"

Alula dan Aruna mengangguk kompak.

"Hmmm ... Mami mau belanja. Kalian ikut atau di rumah aja sama Om Kamil?" tanya Jenia menawari.

Hari ini Kamil berencana menginap di rumah, karena sudah lama tidak main dengan Alula dan Aruna. Kebetulan besok hari Sabtu, Kamil berencana mengajak si kembar jalan-jalan. Tentu saja Jenia senang karena besok ia bisa bebas tugas menjaga anak-anaknya. Semenjak menjadi Ibu, waktu untuk diri sendiri memang terbatas. Beruntung ia punya Adik yang cukup pengertian dengan kondisinya. Sesekali me time tanpa gangguan Alula dan Aruna terasa nikmat.

"Kenapa Om Kamil nggak diajak sekalian?" tanya Aruna.

"Om Kamilnya capek, sekarang lagi tidur. Kalo sore ini Om Kamil ikut juga, besok nggak jadi ngajak kalian jalan-jalan. Emang kalian mau besok batal jalan-jalan sama Om Kamil?"

Si kembar sontak menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kita pergi bertiga aja," ucap Alula melompat turun dari kasur. Tak lama kembarannya menyusul dan mereka mulai ribut memilih baju yang ada di lemari.

Not Finished Yet [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang