Berpisah

1.5K 350 65
                                    


Akhirnya bisa up juga wahai ibu negara. 🥺 Cuslah langsung baca aja.

****

"Alhamdulillah kelar." Azkia duduk selonjor mengistirahatkan tubuhnya sehabis membereskan kamar kost-an yang ia sewa.

Kamar berukuran sedang dengan kamar mandi dalam dan dapur kecil itu, ia dapatkan tak jauh dari tempatnya bekerja dan sangat menguntungkan bagi dia, sebab saat memutuskan meninggalkan rumah Bagas, Azkia tak membawa motor yang dibelikan pria itu. Bagas tak masalah ia membawa motor itu tapi Azkia merasa tak pantas saja, lebih baik naik angkutan umum atau ojek online jika terpaksa.

"Ini makan dulu." Diah mengulurkan nasi bungkus yang ia beli tak jauh dari kos-kosan pada Azkia. "Moga betah, ya, Ki," ujarnya.

Wanita berkerudung itu mengangguk yakin. "Insyaallah. Kayaknya lingkungan sini banyak kos-kosan, ya, Di? Kapan hari sempat lihat-lihat sekitar pas beli lakban." Ia mulai makan setelah mengambil sendok didekat kompor.

Teman kerjanya itu mengiakan. "Ho'oh. Depan itu kos khusus cowok. Belakang ada yang campur, yang khusus rumah tangga juga ada. Makanya warung makan sama toko banyak di sini," terang Diah dari sisinya. "Deket sama pasar juga. Tinggal jalan aja kalo pengin cari apa gitu. Tapi melijo (pedagang sayur keliling) ya ada kalo males ke pasar."

Ia tersenyum kecil menanggapi Diah, meski begitu senyuman itu tak sampai ke hati Azkia. Rongga dadanya dipenuhi nelangsa akan retaknya rumah tangga yang coba ia pertahankan. Bagas tampak tak peduli kala ia pamit keluar rumah.

"Ki. Azkia. Ki!"

"Hah?"

Diah berdecak. "Ngelamun? Dipanggil diem aja. Pasti nggak denger omonganku," ujarnya kesal.

Ia pun terkekeh geli. "Maaf. Kamu ngomong apa?" tanya Azkia sambil meremas kertas nasi bungkus kemudian dimasukkan ke kantung kresek (plastik), mengikatnya kuat dan dibuang ke tempat sampah di bawah tempat kompor.

Diah terlihat ragu-ragu untuk bertanya, hanya saja, aneh bagi Diah waktu mencari kos-kosan sedangkan ada rumah suaminya. "Eh ... itu ... maaf, Ki, nggak maksud kepo sih, cuma aneh saja. Kenapa kamu nge-kos kalo ada rumah suamimu?" Diah menatap lekat paras Azkia yang kini muram. Ia berdecak dalam hati akan kelancangan mulutnya hingga membuat temannya itu sedih. "Kalian lagi ada masalah?" tanya Diah hati-hati.

Wanita itu mengiakan. "Kami pisah, Di. Lebih tepatnya aku yang minta pisah." Rasanya sedikit lega saat berbagi pikiran dengan seseorang. Selama ini, dia bukan orang yang suka menceritakan persoalan pribadinya. Sebisa mungkin ia pendam, tapi untuk kali ini, Azkia sepertinya membutuh tempat untuk berkeluh kesah. "Pernikahan kami nggak bisa dipertahankan lagi." Azkia melihat langit-langit kamar dengan tatapan nanar. Bibirnya tersenyum tapi bukan senyum bahagia. "Aku kalah sama masa lalunya. Sulit buat dia melihatku, jadi aku nyerah demi kebaikan bersama."

"Apa gara-gara perempuan waktu itu?"

Wanita berkerudung persegi empat itu mengangguk. "Iya, tapi bukan dia yang salah. Di sini aku yang masuk ke hubungan mereka. Mas Bagas sama dia lebih dulu menjalin hubungan sebelum terpaksa nerima aku karena utang budi," ceritanya. "Awalnya aku yakin bisa buat Mas Bagas ngelihat aku, tapi sampai ini nggak ada tanda-tanda berhasil, jadi ... ya, aku pilih berpisah demi kebaikan bersama." Tatapan Azkia semakin menjauh seolah mampu menembus plafon kamar. Sekelebat bayangan tentang Bagas dan Ranti menyadarkan dia. Azkia menarik napas dalam-dalam lalu tersenyum kecil. "Cuma ini yang bisa aku lakukan buat mereka. Seenggaknya rasa bersalahku berkurang, Di." Ia menoleh ke arah Diah yang setia mendengarkan curahan hati Azkia.

Teman kerja Azkia itu tak bisa berka-kata, lebih tepatnya ia tak ingin mengomentari tentang masalah rumah tangga Azkia. Bukan tak bersimpati hanya saja mungkin yang temannya itu butuhkan tempat untuk berbagi agar sedikit lega beban di hati. Ia beringut dan memeluk Azkia. Memberi semangat tanpa kata-kata.

"Aku yakin kamu pasti bisa ngelewati ini, Ki, dan semuanya bakal baik-baik saja. Insyaallah."

*****

"Kamu kok ke sini sendirian, Gas. Kia mana?" tanya Wulan saat meletakkan camilan di meja depan televisi. "Anak itu mbok ya sering-sering dibawa ke sini, Gas, jangan dikekepin terus. Padahal rumah kalian nggak sampai sejam dari sini tapi kok ya susah banget ke sini," omel Wulan karena kelakuan putranya itu. Ia tidak akan menyalahkan Azkia tapi Bagas yang ia tahu betul bagaimana perangainya.

"Dia kerja, Bun. Ya kasihan kalo habis kerja langsung ke sini. Beda arah, lho," elak Bagas sebelum mengunyah keripik talas yang disediakan Bundanya.

Wulan berdecak plus melirik sengit pada Bagas. "Halah, itu alasan kamu aja," ujarnya tak percaya. "Gas, Bunda boleh tanya nggak?" Wanita paruh baya itu bergeser ke arah putranya.

Pria tak banyak bicara itu menoleh dengan alis terangkat. Tumben permisi? Biasanya langsung nyeplos. "Nggak." Senyumnya tersungging melihat wajah merengut bundanya. "Ya biasa langsung bilang pake izin. Emang Bunda mau tanya apa coba?" Ia melanjutkan mengunyah keripik warna kuning keemasan tersebut.

"Bunda pinisirin sama alasan kamu nolak perjodohan waktu itu. Apa waktu itu kamu lagi deket sama perempuan lain? Kalo iya, kenapa nggak pernah kenalin sama kami. Bunda sama Ayah pasti restui, kok."

Akhirnya sampai juga pada topik ini, pikir Bagas. Mungkin sudah seharusnya ia menceritakan pada bundanya. "Iya, pas itu emang udah punya cewek. Bagas sih mau kenalin, dianya yang nolak. Pas diajak nikah pun dia belum siap, Bun. Dia masih ingin membangun usahanya dulu." Ia menarik napas dalam, mencari resah di hati tapi tak Bagas temukan. Membicarakan Ranti saat ini sama seperti membicarakan teman kerja, biasa saja. "Ya apa pun alasannya, intinya bukan rezeki kami. Mau diusahakan kayak apa kalo nggak ada jodoh tetep aja bubar, Bun."

Wulan meringis, mengelus lengan berotot Bagas. Ada rasa bersalah menyelinap di hati karena memaksakan kehendak mereka. "Maafin Bunda ya, Gas. Udah maksa kamu terima perjodohan itu," ujarnya dibarengi penyesalan. "Kalo aja kamu mau jujur, kami nggak akan paksa. Pertimbangan kami waktu itu, usia kamu udah matang tapi kamu masih sendiri. Bunda sama Ayah takut kamu keterusan sendiri dan malas nikah."

Pria itu menoleh ke Wulan. Tangan kanan Bagas terangkat dan mendarat di bahu Wulan. Menariknya kuat hingga tubuh keduanya bersentuhan. "Nggak apa-apa, Bun. Mungkin emang bukan jodoh kami. Nggak usah sedih gitulah. Ntar Ayah marah-marah lihat ceweknya sedih. Dikira aku apain lagi."

"Maafin Bunda." Suaranya dari wanita yang telah melahirkan Bagas itu pelan disertai sesal.

Bagas tak sampai hati melihat bundanya murung karena rasa bersalah padanya, sebab itu tak berguna, dalam artian sebelum usulan perjodohan itu terjadi, mereka—dia dan Ranti—tidak menemukan titik temu keinginan masing-masing. Ranti yang masih ingin berkarir dan mengembangkan usahanya, sedangkan Bagas sudah ingin membangun rumah tangga karena usianya sudah cukup, tak bisa menyatukan visi mereka. Jadi tak sepenuhnya kesalahan orangtuanya. "Iya, Bagas maafin." Ia memeluk bundanya dengan sayang.

Wanita dengan daster batik panjang itu mengurai pelukan putranya. Membuat jarak antara mereka. "Bunda boleh nanya lagi?" Satu alis Bagas pun naik juga ekspresi bertanya. "Kalian ... eh kamu ke Kia gimana?" Kerutan di antara alis Bagas tampak, ia tak paham maksud bundanya. "Perasaan kamu sama Kia gimana?"

"Itu ...."

"Bun! Bantuin Ayah sebentar."

TBC.

Lengkap di Karyakarsa. Link di bio ya. Makasih













Siapa Aku di Hatimu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang