"Kita berdua ngapain?!" pekik Jenia dengan suara panik.

Gama tertawa. Ia menyentil kening Jenia pelan. "Kamu mikirnya kemana?" tanyanya dengan wajah geli.

Wajah Jenia memerah seketika karena merasa malu. Isi pikirannya sudah tidak beres semenjak insiden ciuman kemarin. Ini semua gara-gara Gama. Padahal setelah menjanda bertahun-tahun, ia tidak pernah kepikiran untuk berhubungan lagi dengan lawan jenis. Hidupnya ia curahkan untuk kedua anaknya.

Gama menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. "Maksudku, emang kamu nggak kangen sama kebersamaan kita dulu? Kamu nggak kangen punya tempat cerita yang dijamin kerahasiaannya? Kamu nggak kangen bisa dimanja setiap saat?"

Jenia seketika diam.

"Jujur aja, aku kangen itu semua. Aku kangen kita yang dulu. Aku suka dengar setiap kamu cerita. Aku kangen saat kamu bersikap manja. Aku kangen semua yang pernah kita lakuin dulu." Gama menjeda ucapannya sejenak. Ia mengamati Jenia yang saat ini menundukkan kepala. "Kita memang kurang dewasa dalam menyelesaikan masalah. Aku juga egois karena terlalu sibuk kerja. Dan kamu suka punya pikiran buruk, padahal apa yang kamu pikirkan belum tentu benar. Aku dan kamu sama-sama punya kesalahan di masa lalu. Aku yakin sekarang kita sudah lebih dewasa untuk memulai lagi sebuah hubungan yang jauh lebih sehat dibandingkan dulu."

"Aku takut untuk memulai lagi...." Jenia diam sejenak. Ia menatap jari-jarinya yang saling bertaut. "Aku takut kalo nanti kita gagal lagi untuk yang kedua kalinya," lanjutnya.

"Kamu nggak sendiri, Jen. Kita ngejalaninnya berdua," ucap Gama menyunggingkan senyum tipis. "Tunggu, kita udah bukan berdua lagi, tapi berempat," ralatnya sambil terkekeh.

Jenia mengulum senyum. Ia meraih cangkir miliknya di atas meja. Kopi sudah mulai dingin. Sembari menghabiskan kopi miliknya, ia memikirkan ucapan Gama.

"Jenia?" panggil Gama.

Jenia menghabiskan kopinya sebelum membuka suaranya. "Buktiin ke aku kalo Mas Gama beneran udah berubah lebih baik dari sebelumnya. Buktiin ke aku kalo Mas Gama udah nggak seegois dulu karena lebih mentingin pekerjaan dibanding aku. Buktiin ke aku kalo aku memang prioritas di hidup Mas Gama."

"Kalo aku bisa ngebuktiin ke kamu, apa itu artinya kamu bakal pikirin ajakanku buat nikah?"

"Tergantung seberapa keras usaha Mas Gama buat ngebuktiin itu semua ke aku."

"Kalo aku berhasil?" Gama sudah tidak bisa menahan senyuman lebarnya.

Jenia mengedikkan bahu. "Kita lihat aja nanti."

Gama tahu kalau ini permulaan yang bagus untuk hubungan mereka. Ia harus bersyukur Jenia tidak langsung menolaknya. Perempuan itu memintanya untuk membuktikan kalau dirinya yang sekarang sudah lebih baik dari yang dulu.

"Mami, aku lapar...."

Jenia meletakkan cangkir yang sudah kosong ke atas meja. Kepalanya menoleh mendapati Aruna berjalan ke arahnya sambil mengucek mata. Aruna langsung mendudukkan diri di sebelahnya dan menyandar ke tubuhnya. Kedua tangan anak itu memeluknya erat. "Mau makan apa?" tanyanya sambil mengusap rambut Aruna.

Aruna mendongak. "Mau jalan-jalan. Terus mau makan burger."

"Jalan-jalan kemana?"

"Kemarin Alula bilang mau naik kuda."

"Tapi, Alulanya masih tidur," sela Jenia.

"Paling sebentar lagi Alula bakal bangun, Mi."

"Yaudah, kamu mandi dulu," ucap Gama menatap Aruna. Tangannya bergerak mengusap punggung anaknya. "Papi janji bakal ajak kamu sama Alula jalan-jalan. Hari ini kalian bebas mau kemana aja."

Not Finished Yet [Completed]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin