Banyak yang mengira kalau Jenia hamil bukan dengan suaminya, maka dari itu ia diceraikan. Orang-orang tidak mengerti kalau keputusan berpisah dilakukan sebelum Jenia mengetahui tentang kehamilannya. Kabar-kabar tidak benar selalu bermunculan, sampai akhirnya kelahiran Alula dan Aruna menepis kabar-kabar itu. Hampir sebagian tetangga yang dulu bergunjing tentangnya, harus mengakui kalau anak-anak Jenia adalah anak sah di dalam pernikahan karena melihat paras si kembar yang sangat mirip dengan mantan suaminya. Meski begitu, tidak sedikit tetangga yang masih berbicara hal buruk tentangnya.

Kalau bukan karena orang tua dan sosok Kamil, mungkin Jenia tidak akan bisa menjadi sosok kuat seperti saat ini. Keluarga menjadi support system nomor satu untukya.

Hubungan Jenia dan Faizal bisa dibilang mereka kenal satu sama lain, tapi tidak akrab. Jenia tahu kalau dari dulu Faizal mengejar-ngejarnya, tapi ia tidak pernah menanggapi sama sekali. Bahkan setelah si kembar lahir, Faizal pernah menawarkan diri menjadi Ayah untuk anak-anaknya dengan mengajaknya menikah. Tanpa berpikir panjang, Jenia langsung menolak dengan tegas.

Sampai akhirnya Jenia, Kamil dan si kembar memutuskan untuk pindah ke Surabaya setelah Ibu dan Ayahnya meninggal. Dari situ Jenia sudah tidak pernah mendangar kabar apapun lagi soal Faizal. Ia juga tidak pernah bermain sosial media dan berteman dengan teman-temannya. Satu-satunya akun sosial media yang ia tekuni adalah akun untuk mengembangkan bisnisnya.

"Wah, kebetulan aku datang sama keluargaku juga. Kamu bisa gabung kalo mau," ucap Faizal antusias. "Anak-anakmu dimana?" tanyanya heran.

"Mereka lagi di kolam renang."

"Berdua aja di kolam renang? Nggak bahaya? Ini udah malam, lho...."

"Hmmm .... mereka nggak berdua aja. Kebetulan mereka dijagain sama Papinya."

"Kamu udah nikah lagi?" tanya Faizal dengan raut wajah terkejut.

"Maksud aku Papinya anak-anak."

Faizal membulatkan bibir. "Aku ke sini bareng istri sama anakku. Mereka lagi istirahat di penginapan," beritahunya tanpa ditanya lebih dulu.

Jenia hanya manggut-manggut.

"Kalo besok kita sarapan bareng, kamu mau nggak?"

Jenia sontak membelalakkan mata, cukup terkejut dengan ajakan itu. Baru saja ia ingin membuka mulut untuk menjawab, tapi Faizal lebih dulu berbicara.

"Maksudnya sarapan bareng-bareng. Nggak berdua aja kok."

Jenia langsung lega mendengar itu. "Coba nanti aku tanya dulu ke anak-anak ya. Takutnya mereka minta makan di luar sekalian jalan-jalan."

"Rencananya aku akan sarapan di restoran ini. Siapa tau besok kita bisa ketemu lagi." Tunjuk Faizal pada bangunan restoran yang ada di sebelahnya.

Jenia menganggukkan kepala kaku. Ia terselamatkan dengan ponselnya yang berbunyi. Sekilas ia melihat nama Gama terpampang di layar ponsel. "Aku harus balik ke kolam renang. Kayaknya anak-anak udah nyariin aku."

Faizal sebenarnya belum rela mengakhiri percakapannya dengan Jenia. Melihat perempuan itu tersenyum kecil dan melenggang pergi begitu saja, membuatnya sadar kalau Jenia hanyalah bagian dari masa lalu yang tidak akan pernah bisa dimilikinya.

***

Jenia berjalan ke arah kolam renang. Dari kejauhan, ia bisa melihat Gama dan kedua anaknya sudah tidak berada di kolam renang. Mereka bertiga sudah duduk menikmati makanan masing-masing. Akhirnya Jenia melangkah mendekat, dan langsung duduk di sebelah Gama.

"Mami darimana kok lama banget?" tanya Aruna langsung.

Alula mengangguk setuju. "Mami lama banget. Makanan udah datang, tapi Mami malah nggak ada."

Not Finished Yet [Completed]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora