bara

166 25 11
                                    

Budayakan vote sebelum membaca!

☘ — 🆂︎🅾︎🅾︎🅽︎ 🆃︎🅾︎ 🅱︎🅴︎ — ☘

Terdengar suara pintu terbuka diikuti masuknya Lesmana dengan setelan kerjanya. Pria yang lebih tua dari Raka itu kelihatan lelah.

“Belum tidur, Cha? Raka dimana?” tanyanya saat melihat sang adik ipar tengah berkutat dengan lap basah.

“Belum, Mas. Ini mau beberes dapur dulu. Mas Raka udah tidur duluan.”

Lesmana mengangguk angguk singkat, dia mengambil gelas dan mengisinya dengan bening air dari kulkas. Sambil meneguk dinginnya air, ia mengamati Acha yang masih sibuk dengan kegiatannya.

Sebenernya sih mereka masih canggung, ga banyak bicara, dan keduanya sama sama sibuk. Jadi ya bicara seadanya.

“Gue ke kamar dulu ya, Cha. Ntar kalo butuh apa apa panggil aja.” Masih sama, itu juga kalimat yang dulu diucapkan Lesmana saat ia menemani Raka yang sedang sakit. Acha mengangguk mengiyakan kalimatnya.

Rumah kembali sepi, Acha hampir selesai dengan pekerjaannya. Namun tiba-tiba ia mendengar suara ketukan pintu dari ruang depan. Dia mengernyit aneh, siapa yang datang bertamu malam malam begini?

Ia menoleh ke arah jam dinding yang setia menemaninya, pukul setengah dua belas malam. Hampir tengah malam, Acha yang biasa kemana-mana sendiri pun ga merasa aneh dengan itu. Dia berjalan ke ruang depan dan menilik dari jendela.

Tidak ada orang.

Ia lantas kembali masuk dan menyelesaikan urusannya. Nggak terlalu peduli dengan hal yang barusan terjadi. Seusai itu, dia pergi ke kamar mandi untuk cuci kaki dan cuci muka. Setelahnya ia bergabung dengan Raka ke tempat tidur.

Sebelum tidur, ia sempat memandangi wajah suaminya itu. Nggak bohong, Raka memang tampan. Hidungnya yang mancung itu ia harapkan turun juga ke anaknya, Acha terkikik kecil. Kok bisa ya orang yang nyebelin ini jadi suaminya?

Sambil tersenyum, ia memandangi pahatan karya Tuhan yang satu itu. Hari ini dia mau bersyukur lagi, karena meski semua serba mendadak, dia merasa bahagia bisa menikah dengan Raka.

“Ga salah gue percaya ke Lo, Bang.”

-

Pagi telah menjelang, perlahan Raka bangun dari tidurnya. Ia melirik ke samping, ada istrinya yang masih terlelap. Kayanya dia mulai terbiasa dengan kehadiran Acha yang selalu ia lihat beberapa hari belakangan.

Perlahan ia beranjak dari ranjang, dia harus menunaikan ibadah pagi. Setelah berwudhu, dia membangunkan Acha. Sekarang dia bisa solat berjamaah, ga sendiri lagi. Hahay!

“Bangun, Cha. Solat,” panggilnya lembut.

Tapi dia kayanya lupa kalo Acha bukan tipe cewek yang mudah bangun. Berkali kali dia panggil, Acha masih aja lelap. Akhirnya satu ide jahil muncul, Raka mengusap wajahnya yang masih basah terus dia pake buat mengusap pipi Acha yang hangat.

Dahi perempuan itu mengerut, nampaknya Raka berhasil. Perlahan Acha bangun, dia udah ga kaget kaya pas pertama dia bangun setelah hari pernikahan mereka.

Pas itu Acha kaget dan langsung nendang Raka sampe si empu jatuh nggelundung dari atas ranjang. Sekaget itu anjay, padahal pas dulu mereka anu, Acha sama sekali ga kaget pas bangun dan ada Raka di sampingnya. Entah kenapa habis nikah malah rasa deg degannya tumbuh.

“Udah azan?” tanya Acha dengan suara khas orang bangun tidur.

Raka mengangguk, dia membantu Acha yang mengulurkan tangannya minta ditarik. Abis itu Acha bangun dan segera ambil wudhu, sambil nunggu Acha, Raka beberes kasur. Dia pengen bantu Acha walau sedikit.

Sebelumnya pas dia masih lajang, dia ga pernah tuh begini. Apa apa ya Bunda, ga bisa ini itu ya yang dicari Bunda. Se-anak Bunda itu emang.

“Ayo, Mas.”

Acha udah siap pake mukena, dia juga sudah menggelar sajadah di atas karpet bulu yang Acha bawa dari kost. Dia emang ga bawa semua barangnya.  Soalnya dia masih pengen di kost, apalagi kadang Selma mampir buat tidur siang. Takutnya pernikahannya ketahuan hehe.

Meski ga berniat buat menyembunyikan semuanya, tapi perempuan itu udah bertekad, kalau ga ada yang tanya, Acha ga bakal ceritain ini ke siapapun.

Raka mengambil posisi imam, dan mereka pun menunaikan ibadah di pagi itu dengan khusyu'. Selesai solat dan berdoa, keduanya melipat sajadah masing-masing. Acha pergi ke dapur buat masak sarapan.

Karena semalem belum jadi masak pecel, makannya hari ini dia mengolah bahan mentahnya jadi pecel. Ga lupa dia goreng ikan teri dan juga merebus telor agar pecel itu ada proteinnya. Meski agak lucu sih rasanya.

“Widih, udah mateng aja nih. Masak apa pagi ini, Ibu Acha?” Lesmana keluar dari kamarnya dengan pakaian yang udah lengkap, cuma tinggal pake sepatu aja.

“Masak pecel, Mas.”

Tangan perempuan itu dengan lihai menata makanan yang telah siap saji. Dia juga menyiapkan piring dan nasi. Padahal seharusnya pecel mah dimakan gitu doang. Tapi yang namanya orang Indonesia, pasti kalo ga pake nasi namanya belom makan.

Ngaku kalian yang suka makan mi pake nasi!

“Kak, ntar gue kuliah sampe sore. Acha juga. Jadi ntar kalo Lo balik tolong siramin tanemannya Bunda, hehe. Gue kemaren lupa soalnya.”

Raka yang baru aja duduk di sebelah Acha memaparkan statemen, selesainya dia ga lupa membubuhkan cengiran khasnya. Sang kakak mendengus tapi tetap mengangguk. Sarapan berjalan lancar seperti biasanya, walau biasanya ga lancar.

Selesai makan, Raka nyuci piring dan Acha gantian mandi. Semenjak menikah, Acha jadi jarang dandan full face, dia lebih sering pake cushion sama lipcream doang. Padahal biasanya dia paling semangat ngalis dan pake segala macem pewarna buat menghias wajahnya. Tapi sekarang, nah, dia ga mau repot.

Mereka berangkat dengan motor. Awalnya Acha nolak, dia ga mau boncengan sama Raka, takut dibilang yang engga engga. Tapi Raka terus ngingetin lagi ke dia, “Kan kita udah nikah, Cha. Mau diapain juga tetep aja udah sah. Santai aja, lagian dulu pas awal juga kamu sering bonceng Abdul apa sapa tuh yang rambutnya kaya mi?”

“Iya juga ya? Tapi emang beneran ga papa?”

“Iyaa, udah buruan! Keburu telat,” kata Raka terus ngasih helm Acha ke sang pemilik.

-

“Arrgh! Sialan! Kenapa mereka makin deket sih?!”

“Aku udah bilang, mereka itu selingkuh dari awal. Tapi kamu ga percaya.” Lelaki dengan perawakan tinggi itu menyesap batang tembakaunya lagi, menikmati tinggi gedung yang mereka tempati sebagai apartemen pribadi.

“Raka bukan tipe cowok yang mudah berpaling. Dan gue adalah satu-satunya cewek yang mampu bikin dia kembali, walau siapapun yang udah deketin dia. Raka bukan kaya yang Lo bilang.”

“Cinta kamu ke dia berlebihan. Dan itu yang bikin kamu ga berpikir secara rasional.” Kini rokok itu sudah teronggok di ashtray. Jemari lelaki itu berpindah untuk menyelipkan benerapa helai rambut Jasmin yang jatuh, membuatnya lebih leluasa memandangi ekspresi kesal perempuan itu. “Kamu itu pilihan terakhirnya, Raka tau kamu akan selalu ada walau dia udah berlaku seburuk apapun. Dia ga akan segan buat cari kamu lagi karena cuma kamu yang mampu nerima sampah kaya dia. Kamu harusnya malu, kamu itu bukan prioritasnya.”

“Omong kosong! Lo pikir gue akan percaya?!” punggal dara Tiahahu itu sambil membanting foto yang dia genggam sebelumnya, “Gue dan Raka akan kembali bersama. Gue ga peduli bagaimanapun caranya.”

༺ 𝙩𝙤 𝙗𝙚 𝙘𝙤𝙣𝙩𝙞𝙣𝙪𝙚 ༻

Soon to be.Where stories live. Discover now