10. Kania

810 101 13
                                    

Happy reading



Sebenarnya tidak ada alasan untuk Devian tidak mencintai Kania. Wanita itu cantik, pintar, modis, pengertian dan yang paling penting mau menerima ia apa adanya. Orang-orang bilang cinta datang karena terbiasa. Sayangnya terbiasa dengan kehadiran orang baru tidak semudah itu baginya.

Kania sosok yang jauh lebih baik daripada Sabina. Kania wanita yang berpendidikan, ia memiliki pemikiran yang dewasa dan tegas. Berbeda dengan Sabina yang sedari kecil hidup dengan latar belakang rumah sakit. Bahkan, untuk sekolah pun itu merupakan hal yang sulit bagi Sabina. Karena semenjak Sabina mulai dewasa, kondisi gadis itu semakin menurun.

Meski begitu, Devian tidak pernah masalah dengan kondisi Sabina. Ia tetap mencintai gadis itu. Gadis berwajah pucat dengan senyum sendu miliknya.

Saat itu Devian berusia delapan belas tahun, ia sedang menempuh jenjang sekolah menengah atasnya. Devian terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena mengalami cedera pada lengannya. Ia tidak sengaja terluka saat mengikuti pertandingan sepak bola antara siswa.

Karena kecerobohan dirinya yang kurang fokus saat itu, Devian terdorong oleh tim lawan hingga membentur tanah rumput itu. Naasnya, yang jatuh lebih dulu adalah pergelangan tangannya. Tangannya patah saat itu juga, terbukti dengan bengkoknya pergelangan tangan Devian.

Dengan gips di tangannya, Devian terduduk merenung di taman rumah sakit. Terlalu asik merenung hingga Devian tidak sadar jika ada seorang gadis yang duduk di sebelahnya.

Gadis itu mengenakan pakaian rumah sakit, rambutnya kusut, wajahnya pucat dan sayu.

"Pasien patah tulang ya?" Tanya gadis itu memperhatikan tangan Devian.

Devian hanya mengangguk tidak minat.

"Kok murung gitu?"

Devian menghela nafas. "Ada pertandingan basket Minggu depan, kayaknya gue gak bisa ikut."

Dari dulu Devian sangat menyukai olahraga, ia mengikuti ekskul di bidang olahraga. Sepak bola, basket, badminton, volly, meskipun terkadang tidak terlalu aktif namun ia sering bermain volly atas basket di lapangan komplek rumahnya. Dari berbagai jenis olahraga, Devian sangat menyukai basket dan sepakbola atas futsal, itulah alasan mengapa ia sangat sedih ketika tidak dapat mengikutinya pertandingan basket Minggu depan.

"Coba liat," Devian mendekatkan lengan kanan yang cederanya kepada gadis itu.

Gadis itu tampak memperhatikan dengan baik, ia mengangguk-angguk. "Bentar lagi juga sembuh kok. Emang gak bisa sembuh Minggu depan sih, tapi kayaknya gak terlalu parah jadi bisa sembuh lebih cepet."

"Gak apa-apa, selain pertandingan itu kamu bisa ikut pertandingan lain nanti, kalau tangan kamu udah sembuh." Lanjut gadis itu.

Devian diam memperhatikan gadis itu berbicara, ketimbang fokus dengan perkataan gadis itu, Devian justru fokus memperhatikan wajah gadis ini. Dia cantik, hanya tertutupi dengan wajah pucatnya saja.

"Gue... Devian," laki-laki itu mengulurkan tangannya ragu-ragu.

Gadis itu menyambut uluran tangan Devian dengan baik. Ia tersenyum manis dengan sedikit cekungan di sisi-sisi bibirnya.

"Mikhayla Sabina."

"Jadi..." Devian menggantung ucapannya. "Gue panggil lo apa?"

"Sabina?" Gumam Devian ragu.

Gadis yang di panggil Sabina itu mengangguk, "Boleh."

"Bay the way, tangan lo hangat." Devian me-notice hal itu, selain senyum gadis itu yang hangat, suhu tubuh gadis itu juga terasa hangat.

His ShadowWhere stories live. Discover now