Semesta 35

965 143 25
                                    

Beter eerst de sterren raken en een paar opmerkingen achterlaten

Better hit the ⭐ first and leave some comments
.
.
.

Sudah beberapa hari Bryan dan Hannah kembali ke rumah Mommy usai kejadian pertengkaran di apartment waktu itu. Meski masih sedikit kesal karena Bryan terkesan memaksa Hannah untuk ikut dengannya tinggal di rumah Mommy namun setelah berpikir lagi, semua ini tidak terlalu buruk.

Kehamilan Hannah yang sudah memasuki trimester akhir jugalah yang akhirnya membawa ke dalam keputusan itu. Hannah juga tidak ingin sesuatu terjadi ketika ia sendirian, ia takut jika Bryan pergi bekerja lalu si kembar tiba-tiba ingin lahir saat tidak ada satu orang pun di apartment. Hannah bergidik ngeri memikirkannya.

Mereka berdua kini bisa sedikit tenang karena ada yang menjaga Hannah di rumah, setidaknya dia takkan sendirian ketika sesuatu terjadi. Ada Mommy yang sudah jarang praktik dan hanya sesekali ke kliniknya yang tidak jauh dari rumah dan bahkan Oma Nadia sampai rela untuk menginap di rumah besar ini demi menjaga cucu mantunya yang kapan saja bisa melahirkan cicitnya ini.

"Gimana, masih kenceng nggak perutnya?" tanya Bryan sambil merebahkan diri di samping Hannah yang mulai insomnia karena si kembar makin sering aktif.

"Enggak, sih. Kontraksi palsu aja kemarin kan, nggak ada bukaan sama sekali. Cuma kurang nyaman aja sekarang, berat banget perutku. Mungkin yang kemarin itu karena i blowed up my emotions. Emosi tertahan tepatnya karena kamu bikin aku overthinking." jawab Hannah sambil gemas menjawil hidung mancung suaminya itu.

Bryan mengaduh lalu terkekeh. "Iyaa, maaf ya udah bikin kamu overthinking sampai kena  braxton hicks." ujar Bryan sambil mengusap-usap perut buncit Hannah. "Boleh lho nak kalau mau keluar sekarang." Lanjutnya sambil mata Hannah membulat mendengar ucapan Bryan barusan.

"Heh?!" Hannah reflek menepuk tangan Bryan. "Mulutnya ya. Aku lahiran di rumah dong?!!"

Bryan tertawa melihat ekspresi panik istrinya itu. "Ya engga gitu, Honey. Maksudnya kalau mau mules sekarang boleh banget, kalau pun lahiran di rumah ya ngak apa-apa toh. Obgyn tinggal panggil itu ada dua udah stand by..."

Hannah geleng kepala mendengar jawaban enteng suaminya itu. "Nggak gitu konsepnya dong, dok?! Kamu kan, denger sendiri atau pasti belajar kalau yang namanya melahirkan anak pertama itu prosesnya lama banget. Dari bukaan satu -sepuluh nggak kayak kamu lagi berhitung!" Sahut Hannah sambil mencubit pinggang Bryan.

"Pinter banget sih istri aku sekarang..."

"Iyalah. Makanya kalau Oma lagi ngejelasin, kamu dengerin...!" Lanjut Hannah setengah bersungut-sungut. "Udah, ah. Ayo tidur..." Hannah memiringkan tubuhnya mencari posisi yang pas untuk terlelap malam ini. Semoga si kembar bisa bekerja sama untuknya berisitirahat dengan cukup jika tiba-tiba gelombang cinta itu datang dengan tidak di duga-duga.

Bryan membenarkan posisi selimut Hannah sambil ia memandang wajah Hannah dari samping. Sesekali ia usap pinggang Hannah yang hampir setiap malam selalu sakit karena menopang si kembar yang semakin hari semakin berat.

Ia tahu, perjalanan untuk sampai dititik ini tidaklah mudah. Mulai dari morning sickness yang melanda Hannah beberapa minggu di awal kehamilan, pusing, cepat lelah hingga semua rasa yang tidak bisa dibagi, Hannah hadapi sendiri. Bryan hanya mampu menemani Hannah dan bersedia memenuhi semua keinginan ngidam istrinya itu.

"Semangat ya Honey. Aku ada di sini..." Bryan mengecup pipi Hannah sebelum akhirnya ikut terlelap.

*Ya iya sih harus mau ya kan? Xixixi* #suaraauthor

SEMESTAKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang