𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 𝟏𝟖 || 𝐖𝐇𝐎'𝐒 𝐃𝐈𝐎𝐍?

678 81 32
                                    

          Larinya terus bergerak menuju tujuan yang membawa tubuhnya berlari pada kecepatan tanpa peduli jikalau larinya telah menjadi kesakitan pada setiap rintangan yang menghalangi. Menabrak setiap bahu dan mendorong apapun itu yang menghalangi larinya, telinganya mendengarkan kata umpatan namun dirinya tidak peduli. Ada hal penting yang harus ia temui setelah penantian, membayar kerinduan dengan pertemuan pada waktu yang tak bisa di tentukan lamanya. Beberapa saat lalu ketika ia masih berada dalam basecamp bersama anggota lain, Lingga menyampaikan sebuah kabar yang mendebarkan jantungnya, kabar yang membuatnya bertingkah bagaikan manusia bodoh.

“—Del, gue ketemu Alzian di lantai dua,” Kabar dari Lingga setelah kembali dari area parkir sebab kunci motornya lupa untuk di cabut. Membuat Delvin yang baru saja menaruh ransel dan mendudukkan bokongnya kembali bangkit menatap Lingga dengan binar, “Gak bohong kan, lo!”

“Wajah gue kayak lagi bohong?”

Begitu dirinya menyakini keyakinan Lingga, maka secepat mungkin Delvin berlari menuju sosok remaja mungil yang tak ia temui selama seminggu ini, meninggalkan puluhan teman yang menatapnya cengo dan mengejek sang ketua, si budak cinta. Namun sayang, dibalik bahagianya Delvin ada Lingga yang berusaha keras menutupi emosi yang mulai membara dalam diri, membutuhkan air untuk memadamkan bara itu, melampiaskan emosi dalam kepalan erat menonjolkan urat hijau dari area pergelangan tangan hingga ke siku. Kepala lelaki tinggi itu menunduk menutupi ekspresi kesalnya, berhadapan dengan puluhan anggota Zreadnoks yang masih mengejek Delvin.

Beberapa saat kemudian Lingga mendongak, bersama ekspresi datar andalannya, kembali membawa raga untuk jatuh pada sofa dimana Atlezza membaringkan tubuhnya melanjutkan acara tidur yang sempat terganggu. Meminta sekaleng minuman bersoda dari salah satu anggota, setelah kaleng soda berada dalam genggaman, Lingga dengan mudah membuka minuman, meneguk dengan gaya keren mendebarkan jantung menyesakkan paru-paru.

Tidak ada yang menyadari perasaan kalutnya, entah memang tak ada yang peduli atau karena dirinya yang pandai menyembunyikan ekspresi.

“Makanya kalo suka tuh kejar, jangan diam. Jadi milik orang lain ketar-ketir lo,”

Kalimat sindiran yang mengandung dukungan membuat Lingga menoleh, yang baru saja berbicara ialah Atlezza. Anak itu masih berbaring dengan mata terpejam, sadar bahwasanya Lingga memandanginya, Atlezza kembali bersuara. “Tapi saingan lo bukan hanya Delvin doang, gue juga. Kita rival, bro!” Lalu Atlezza membuka matanya, mengedipkan mata lalu kembali memejamkannya, membuat Lingga terkekeh seraya menggelengkan kepalanya kecil, menegak air soda sembari memikirkan kalimat Atlezza.

Dalam hati Atlezza menertawakan dirinya sendiri, sedikit merasa tersinggung namun perkataan Atlezza sendiri membuka pemikiran yang awalnya merasa bahwa menyerah adalah jalan terbaik demi persahabatan dan persaudaraan, meskipun itu mengorbankan perasaannya sendiri, mengorbankan kebahagiaan dan menggantinya dengan luka paling menyakitkan. Namun ternyata itu salah, terkadang egois itu juga di perlukan, hidup itu milik sendiri bukan untuk orang lain terlebih memberikan sang sumber kebahagiaan kepada orang lain yang orang itu bahkan tak peduli dengan diri mu sendiri.

Akan tetapi, sama-sama keras juga bukanlah hal yang baik.

Lingga kembali termenung, memikirkan setiap kata yang Atlezza lontarkan penuh akan kebenaran. Jika memang Delvin menyukai Alzian sekalipun, maka menyerah dan memberikan Alzian untuk Delvin bukan jalan keluarnya, sebelum mereka berdua tak terikat dalam cincin yang sama atau mungkin telah resmi memulai sebuah hubungan baru, Alzian pantas untuk ia perjuangkan.

Dirinya pantas memperjuangkan hati lelaki manis itu.

NYIT

Telinganya berdenging, kepalanya terserang rasa pusing yang amat menyakitkan untuk di terima. Sepasang matanya terpejam berharap dapat merendamkan rasa sakit yang menyerang, namun sakit itu kian kuat rasanya, seperti ada sebuah paku yang di tancapkan pada kepala dan paku itu kian tertancap semakin dalam memberikan rasa sakit yang menyeramkan untuk di rasakan. Tidak berhenti sampai di sana, ada sebuah rasa panas yang membakar jiwanya, selayaknya sang raga berdiri di tengah kobaran api besar membara, bagaikan sebuah bara tersiram bensin memancing sang api berkobar semakin besar.

𝗔𝗟𝗭𝗜𝗔𝗡 || 𝗥𝗘𝗡𝗝𝗨𝗡 𝗛𝗔𝗥𝗘𝗠Where stories live. Discover now