"Tiga hari ke depan Alula belajar di rumah. Kamu harus tulis renungan sebanyak lima halaman. Selain itu, semua tugas yang dikasih sama gurumu harus dikerjain dan dikumpulin begitu kamu masuk sekolah."

"Tugasnya banyak banget, Mi," keluh Alula.

"Itu sebagai hukuman karena kamu berantem sama teman sekelasmu," ucap Jenia. "Mami harap kamu bisa jera dan nggak ngelakuin kesalahan yang sama untuk kedua kalinya," lanjutnya.

"Alula cuma ngebela aku. Reon duluan yang cari gara-gara. Dia ngelempar wajahku pakai bola basket. Dia ngatain aku cengeng. Dia yang salah, bukan kami berdua!" seru Aruna berteriak kesal.

"Itu bukan alasan Aruna," sela Jenia tegas.

"Dari dulu Reon emang terkenal nakal. Sebelumnya kita emang nggak pernah sekelas sama dia. Kata teman-teman yang lain, dia emang trouble maker." Aruna diam sejenak, mengamati ekspresi Mami dan Papinya sebelum melanjutkan kalimatnya. "Dan ternyata Reon emang trouble maker. Dia selalu cari gara-gara sama anak lain, bukan hanya aku atau Alula. Selama ini kamu berusaha nggak terlalu dekat sama Reon."

"Kalo kalian ngebalas, itu nggak akan menyelesaikan masalah," ucap Jenia.

"Harusnya aku lempar bolanya lebih keras," gumam Alula dengan suara pelan.

"Alula, masuk ke kamar!" seru Jenia tegas.

Alula menunduk. Dengan langkah gontai ia meninggalkan area ruang tengah.

"Aruna, dengar Mami." Jenia berpindah duduk ke sebelah anaknya. "Mami paham kamu ngerasa sakit ketika dilempar bola sama Reon. Mami tau kamu sedih karena dikatain cengeng. Itu hal yang wajar kamu lakuin, tapi bukan berarti kamu harus membenarkan tindakan Alula. Kamu bisa lapor ke guru atas tindakan Reon."

"Nggak ada guru di sana. Pelajaran olahraga baru aja selesai. Kebetulan udah waktunya istirahat."

Gama menyentuh lengan Jenia. Ketika perempuan itu menatapnya, ia menggeleng-gelengkan kepala. "Udah, biarin Aruna istirahat."

"Reon pantas dapat memar yang sama kayak aku," gumam Aruna sebelum masuk ke kamar diiringi dengan bantingan keras pada pintu.

"Oh my God," Jenia mendesah lelah  begitu anaknya pergi. Ia menyandarkan tubuhnya ke sofa sambil memijat pangkal hidungnya.

Gama menepuk-nepuk punggung tangan Jenia pelan. "Hey, they need time."

"Aku nggak nyangka mereka kayak gitu."

"Akan ada masanya anak membangkang. Selagi masih dalam batas normal, kayaknya masih aman. Kita akan terus pantau Alula dan Aruna."

"Aku...." Jenia tidak sanggup melanjutkan ucapannya.

Gama memeluk Jenia. "Kamu nggak sendiri. Ada aku di sini."

Jenia balas memeluk Gama dengan erat. Saat ini butuh seseorang di sisinya, memastikan kalau ia tidak sendiri. Ia sadar kalau menjadi Ibu bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Selama ini ia melakukan semuanya sendirian. Sekarang ada Gama yang bisa menjadi tempatnya berbagi apapun soal si kembar. Dia tidak sendiri.

***

Pulang dari rumah sakit, Jenia menyuruh Aruna untuk minum obat dan Alula untuk mulai mengerjakan tugas yang sudah diberikan.

Setelah meminum obat, Aruna kembali ke kamar. Sebelum masuk ke kamar, dari pintu yang tidak tertutup rapat, ia melihat kembarannya sedang mengerjakan setumpuk kertas yang berisi soal-soal. Ia yakin kalau Alula sedang pusing mengerjakan soal sebanyak itu. Dilihat dari cara Alula hanya memutar-mutar pensil tanpa menuliskan apapun di kertas.

Not Finished Yet [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang