Tindakan yang dilakukan Alula tidak lepas dari hukuman. Dengan sengaja ia melemparkan bola ke wajah Reon. Bukan hanya Alula yang mendapat hukuman, tapi Reon juga mendapatkan hukuman yang sama. Mereka berdua akan diskros selama tiga hari dan mereka diminta menuliskan sebuah renungan atas apa yang telah mereka perbuat sebanyak lima lembar. Hukuman terakhir adalah setumpuk tugas dari beberapa mata pelajaran yang harus mereka kerjakan. Melihat betapa banyaknya tumpukan kertas itu, mampu membuat siapa saja mual.

Alula dan Aruna pulang lebih cepat dari sekolah. Di dalam mobil, tidak ada satupun dari mereka yang mengeluarkan suara. Sesampainya di rumah, Jenia menyuruh Alula dan Aruna untuk mengganti baju sebelum menemuinya di ruang keluarga.

"Untung aja Mamanya Reon nggak marah," gumam Jenia.

"Emang harusnya nggak marah. Anaknya yang mulai duluan, wajar kalo anak kita balas," sahut Gama dengan nada kesal. "Yang seharusnya marah itu kita. Aku nggak terima lihat wajah Aruna lebam kayak gitu."

"Tapi nggak seharusnya Alula ngelempar balik bola itu ke wajah Reon."

"Reon duluan yang ngelempar bola itu ke Aruna. Kalo aku ada di posisi Alula, mungkin bukan cuma bola yang kulempar, udah kupukul wajah anak itu."

"Mas!" seru Jenia tertahan.

"Harusnya Alula pukul wajah Reon biar makin biru," desis Gama dengan wajah penuh amarah.

Jenia hanya diam mendengar ucapan Gama. Ia tahu kalau laki-laki itu begitu sayang terhadap si kembar. Tidak ada orang tua yang ingin anaknya terluka, begitu juga dengan Jenia dan Gama.

"Aku mau punya anak-anak yang bisa membela dirinya sendiri. Dan dalam kasus ini, Alula cuma ngebela saudara kembarnya," ucap Gama tiba-tiba.

Jenia mengusap wajahnya frustrasi.

"Kita harus bawa Aruna ke rumah sakit."

"Tadi di ruang kesehatan udah diperiksa."

"Kita tetap harus bawa Aruna ke rumah sakit. Make sure kalo kondisinya semua baik. Sekalian minta obat nyeri."

Jenia menarik napas panjang, sebelum akhirnya mengangguk setuju. "Yaudah, nanti sore kita bawa Aruna ke rumah sakit."

Gama dan Jenia sama-sama terdiam dengan pikiran masing-masing. Sebagai orang tua, mereka juga ingin yang terbaik untuk anak mereka. Kejadian hari ini cukup membuat mereka kaget, marah, kesal, sedih, semuanya bercampur aduk menjadi satu.

"Gimana kalo Aruna sama Alula kita suruh belajar taekwondo? Jadi, kalo ada yang gangguin mereka biar langsung--"

"Wait." Jenia mengangkat satu tangan, mencoba menghentikan kalimat Gama. "Aku nggak mau mereka jadi anak yang suka berantem."

"Bukan berantem, Jen. Aku cuma mau mereka bisa membela diri. Terutama untuk Aruna. Aku nggak mau mereka sampai ditindas sama temannya," ucap Gama memberi alasan.

Percakapan antara Jenia dan Gama harus terhenti ketika melihat Alula dan Aruna berjalan memasuki area ruang tengah. Si kembar langsung duduk di sofa, tepat di hadapan orang tuanya.

"Ini salah aku, bukan salah Alula," ucap Aruna membuka suara.

"Bukan. Aruna nggak salah. Aku yang yang salah. Aku yang ngelempar bola basket ke wajah Reon. Aku juga yang bertengkar sama Reon" sela Alula cepat.

"Kalian berdua salah," ucap Jenia dengan menatap tajam anak kembarnya secara bergantian.

"Mereka nggak salah, Jen," desis Gama dengan suara berbisik.

Jenia mengabaikan ucapan Gama. "Untuk beberapa hari ke depan, kalian berdua nggak boleh pegang iPad, handphone dan nonton TV."

"Mami!" protes Alula dan Aruna bersamaan.

Not Finished Yet [Completed]Where stories live. Discover now