Bab III || Meeting You

Start from the beginning
                                    

Galen melirik sinis seraya menyingkirkan tangan Steven. "Apa, sih? Tidak jelas."

"Hei, fokus," tegur Altair. Ia menggelengkan kepala, kedua sepupunya tak pernah berubah dalam hal bertengkar tak jelas.

Galen dan Stevan terdiam mendapat tatapan dingin dari si manusia dengan tingkat keseriusan tinggi itu. Mereka berkeliling, memeriksa dengan teliti setiap sudut ruangan untuk nanti didiskusikan bila ada yang kurang.

Penggunaan beton sebagai material utama bangunan, ditambah dengan semen kasar untuk membuat tekstur disetiap dindingnya- semakin memperkuat kesan kokoh, berat, simpel, apa adanya, namun tetap elegan yang benar-benar merupakan ciri khas dari bangunan brutalism.

Desain yang mengkombinasikan material tebal dengan material transparan seperti kaca yang dapat menjadi penyeimbang beton dan mempermudah sirkulasi cahaya alami yang masuk ke dalam bangunan.

Altair juga menggunakan material rosten beton yang bercelah sebagai sirkulasi udara tanpa menghilangkan ciri khas kokoh dari beton. Langit-langit bangunan pun ia buat tinggi. Dan ditengah bangunan, terdapat taman kecil untuk membantu sirkulasi udara agar tidak engap. Altair benar-benar sangat totalitas dalam mendesain bangunan yang akan dijadikan kantornya.

Warna tone gelap pada bangunan adalah ciri khas lain pada bangunan brutalism, yang lagi-lagi memberi kesan kokoh tak terbantahkan. Warna dan material utama pada bangunan tidak membuat sirkulasi cahaya juga udara menjadi minim.

Disinilah yang menjadi tantangan seorang Arsitek bagi Altair. Idenya akan diuji dengan berbagai kendala dalam proses pembangunan. Ciri khas bangunan brutalism memang sulit untuk ditaklukan.

Satu jam berlalu. Mereka duduk di taman yang berada ditengah gedung tersebut. Hari sudah menunjukan pukul 1 siang, perut Stevan terdengar mengamuk meminta makan, membuat sahabat-sahabatnya seketika tertawa, kecuali Altair yang hanya tersenyum tipis.

"Di antara kita, kamu yang paling gemar makan dan cepat lapar, Stev. Hahaha," ejek Galen menertawakan sepupu yang lebih dianggap sahabat itu, sementara Stevan hanya cemberut menampilkan wajah kesal.

"Diamlah, atau aku sumpal mulutmu dengan kaos kakiku yang bau," gerutu Stevan.

"Hahaha ... hanya kamu yang menjadi bahan lelucon kami tanpa kami minta." Galen benar-benar tak tanggung dalam memberi pengakuan yang menjatuhkan Stevan.

Samuel hanya ikut tertawa menyaksikan, dan Altair hanya menggelengkan kepala-masih dengan senyum tipis. Ia sedang memandangi sepatunya sendiri. Ponsel Altair bergetar sedari tadi dan ia malas mengangkat tanpa tahu siapa yang menghubunginya berkali-kali itu.

"Kamu ... berhentilah mengoceh dan cepatlah kita cari makan." Stevan geram dan bangkit dari tempat duduk menuju pintu keluar, disusul dengan yang lainnya di belakang.

Setelah sampai di tempat mobil yang mereka parkirkan, Samuel menatap Altair dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Ada apa?" tanya Altair, merasa tidak nyaman dengan tatapan Samuel.

"Aku berpikir seperti ada yang kamu lupakan," jawab Samuel. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu, sedangkan Altair tidak meresponnya. Pria itu hanya mengerutkan dahi, ikut berpikir.

"Apa maksudmu? Apa ada yang kita lupakan pada bangunannya? Apa kita lupa memeriksa beberapa ruangan?" tanya Galen, ia menjadi ikut penasaran.

"Bisakah kita memikirkannya di jalan? Aku sungguh tidak tahan lagi menahan lapar," ucap Stevan, mulai dipuncak kekesalannya.

Samuel dan Altair masih saling memandang, bergulat dengan pikirannya masing-masing.

Apa yang aku lupakan?

Althea for AltairWhere stories live. Discover now