☠︎ᴄ ʜ ᴀ ᴘ ᴛ ᴇ ʀ 35 - Aku Takut, Kak.

15.8K 825 261
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi, tetapi para anggota serta adiknya belum kunjung kembali. Sembari bertolak pinggang Elang menyusuri teras rumah yang berukuran sedang, dan dilakukan berulang kali. Susah berulang kali dia menekan nomor semua anggotanya, tetapi hasilnya nihil. Entah berada di mana sampai begitu sulitnya menerima telepon.

Waktu terasa lamban berputar, rasa cemas semakin menyiksa. Tak ingin menyerah begitu saja, Elang mencoba mengecek GPS ponsel Rubby. Detik kemudian, keningnya berkerut melihat letak lokasi Rubby yang berada cukup jauh dari rumah.

“Ngapain, Rubby ke sana?” gumamnya terheran.

Elang sadar betul, adiknya itu tak pernah pergi jauh selama tinggal di perkampungan ini. Selain karena dilarang, Rubby termasuk anak yang buta arah, atau sering kali lupa jalan pulang.

“Astaga!” Elang mengusap kasar wajahnya. Kemudian melangkah masuk ke dalam rumah, guna mengambil kunci mobil. Tak berselang lama, dia itu keluar, dan memasuki garasi di mana mobil-mobil kesayangannya berjajar rapi.

Pilihannya jatuh kepada mobil Tesla warna biru metalik. Tanpa membuang waktu, Elang langsung mengemudikan mobil tersebut dengan kecepatan tinggi. Gerbang rumah yang otomatis terbuka, dan tertutup itu, tak membuatnya kesulitan.

Mobil mewah itu melesat, membelah pekatnya malam. Jalanan pun, tampak sepi bahkan tak ada kendaraan satu pun yang dia temui. Maklum saja, kampung dan kota jelas berbeda.

Namun, patut disyukuri Elang, karena perjalanannya kali ini tidak ada gangguan sama sekali. Sepanjang jalan pun, Elang terus menatap pergerakan GPS dari ponselnya yang diletakkan di holder.

Elang tak berhenti mengusap wajahnya dengan satu tangan. Entah alasan apa yang membuat Razka harus membohonginya. Apakah ada masalah genting yang tak harus dia ketahui? Semakin dipikirkan, kepalanya semakin berdenyut sakit.

Hanya 30 menit, Elang telah sampai di tempat sesuai dengan koneksi GPS Rubby. Tempatnya sangat gelap, hanya cahaya rembulan yang tampak remang.

Elang keluar dari mobil, tak lupa mengambil pistol yang selalu diletakkan di bawah jok mobilnya. Pistol itu diselipkan di pinggang, hanya sebagai alat menjaga diri. Apalagi, tempat yang didatangi sangat asing.

Elang menyusuri jalan berbatuan, hanya bermodalkan mata tajamnya. Meski hanya bantuan sinar bulan, tetapi cukup membantu. Sedangkan Maps GPS Rubby dialihkan ke smartwacth di pergelangan tangannya. Dengan begitu, dia bisa mengontrol letak ponsel Rubby.

Bukan hanya pandangan saja yang dipertajam, tetapi indra pendengarnya dia memfokuskan satu suara saja. Tidak  berselang lama, tiba-tiba terdengar samar suara orang berbicara.

Elang yakin sekali itu suara manusia, bukan suara barang halus. Semakin kakinya melangkah suara itu semakin jelas, bahkan tangisan pun ikut terdengar.  Jantung Elang mendadak berpacu tidak tenang.

Dia semakin mempercepat langkahnya, hingga sampai di jalan yang terhubung dengan jembatan. Mata Elang menyipit, memastikan apa yang terjadi di sekitar jembatan. Dari kejauhan penglihatannya menangkap aktivitas banyak orang, suara jeritan pun, semakin jelas terdengar.

Elang memilih menepi terlebih dahulu,  di balik pohon. Dia tak tahu, siapa orang-orang tersebut. Dia tak ingin maju tanpa mengenali situasi.

“Perkosa dia ramai-ramai!” seruan seorang pria dari gerombolan itu terdengar jelas di telinga Elang.

Elang kembali memperhatikan GPS di lengannya, tak ada yang salah. Memang benar, milik Rubby. Perasaannya semakin berkecamuk, tidak tenang. Namun, rasanya dia masih tidak yakin, apakah adiknya yang berada di tempat ini, atau bukan.

ELANG CAKRAWALAWhere stories live. Discover now