☠︎ᴄ ʜ ᴀ ᴘ ᴛ ᴇ ʀ 9 - Bertemu Tak Sengaja

28.4K 1.6K 171
                                    

"Sayang, kamu kenapa sih? Dari tadi aku lihat kamu kayak banyak pikiran." Kafka mengelus pipi Zhea sembari membersihkan rambut yang berantakan dan diselipkan ke belakang telinga.

Perlakuan lembut Kafka, kali ini membuat Zhea sadar jika dia sudah berlebihan. Dengan cepat, Zhea menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa," jawabnya singkat sambil tersenyum.

"Yakin?" tanya Kafka memastikan, dan dijawab langsung dengan anggukan kepala. "Kalau ada yang membuat kamu nggak nyaman bilang aja, jangan sungkan. Aku ini pacar kamu, Sayang. Kamu harus bisa mengandalkan aku, dan aku siap menjadi pendengar yang baik," ucap Kafka dengan lembut, membuat Zhea kembali tersenyum.

Kali ini saja, Zhea berharap takdir tidak berubah. Dia ingin bahagia bersama lelaki di hadapannya. Untuk saat ini, Kafka mampu membuatnya tersenyum dan merasa tenang. Namun, tidak dengan nanti. Ada ketakutan besar dalam diri Zhea, setelah takdir kembali mempertemukan dengan sosok penghancur hidupnya. Apa suatu saat nanti, Kafka masih bisa mengelus kepala, dan berkata lembut, jika masa lalunya terbongkar? Satu pertanyaan besar yang sangat mengganggu dirinya saat ini.

"Hari ini kamu masuk kerja, kan?" tanya Kafka sambil merangkul pundak Zhea menuju parkiran, di mana dia memarkirkan sepedanya di bawah pohon rindang.

Zhea langsung mengangguk. "Iya, kenapa?"

"Nggak. Cuma ... aku kasihan aja sama kamu. Kenapa sih kamu nggak minta cuti aja, dan fokus belajar. Aku yakin bos pasti memberikan kamu izin." Kafka menjawab, sambil mengambil sepedanya, dan mereka kembali melangkah bersama keluar dari sekolah.

"Nggak harus cuti, Sayang. Aku bisa kok belajar sambil bekerja. Buktinya, aku bisa masuk 10 besar. Nilaiku juga nggak jelek."

Mendengar jawaban penuh kebanggan dari sang kekasih. Kafka langsung mengacak pelan rambut Zhea. "Iya deh, pacarnya Kafka emang pinter banget. Kafka bangga pacaran sama Zhea Maheswara, gadis cantik tiada tara," ucapnya penuh kebanggaan.

"Issh, nggak usah acak-acak rambut aku." Zhea menepis pelan tangan Kafka dari rambutnya, lalu kembali berkata, "emang kamu bangga pacaran sama aku? Padahal aku cewek biasa."

"Kata siapa kamu cewek biasa. Bagi aku, kamu perempuan luar biasa, dan paling penting kamu wanita nomor dua di hatiku, setelah ibuku. Kalau aku melukai kamu, sama saja aku melukai Ibuku." Kafka sengaja berhenti sebelum langkahnya mencapai di gerbang. Dia lalu, membungkukkan sedikit tubuhnya, dengan posisi kedua tangan memegang sepeda.

"Kamu pahamkan, seberapa istimewanya kamu di hati aku?" bisiknya, sambil menatap lekat wajah Zhea.

Tatapan Kafka yang mengunci, membuat Zhea mendadak Zhea mendadak salah tingkah, hingga tak sanggup membalas tatapan tersebut. Gegas dia berpaling, sambil menahan napas selama beberapa saat agar debaran jantungnya tidak terdengar. Namun, di saat itu juga netranya justru beradu dengan pandangan mata Rubby. Bukan cuma Rubby, melainkan lelaki di samping Rubby, yakni kaki tangan Elang. Dia tak mungkin lupa sosok lelaki yang mengantarkan dirinya, usai dilecehkan malam itu.

"Razka." Tentu saja, gumaman itu hanya mampu diungkapkan dalam hati.

Selain merasa syok, Zhea juga mendadak merasa takut. Seharunya dia sudah memikirkan hal itu. Kedatangan Rubby, pasti dia akan bertemu lagi dengan orang-orang yang telah merusaknya.

"Kok buang muka sih? Emang di sana lebih menarik dibanding pacar kamu," kata Kafka dengan nada manja, karena Zhea hanya diam membeku menatap ke arah pintu gerbang.

Sontak saja, atensi Zhea teralihkan, tetapi tidak mengubah raut wajahnya yang sangat tegang. "K-kita pergi dari sini, secepatnya," ucap Zhea tergagap sembari menarik lengan Kafka.

ELANG CAKRAWALAWhere stories live. Discover now