1. Somasi

248 21 1
                                    

jangan lupa pencet 🌟 yah

~~~~~

Selamat Membaca
Monggo Enjoy

~~~~~

Usik – Febri Putri

~~~~~

“Bukannya tidak laku, namun mencari satu frekuensi lebih sulit daripada hanya sekedar suka.”

~~~~~

Hidup di dunia serba modern memang menyenangkan, segala pekerjaan manusia dapat dikerjakan lebih cepat. Berkembangnya teknologi modern membuat manusia sendiri merasa jumawa dan hanya mengandalkan keahlian AI, contohnya seperti sekarang di mana Rani harus mengajari anak magang hal-hal basic yang seharusnya bisa dilakukan anak SMA sekalipun.

“Kamu kalau kayak gitu lama makan waktu tahu ngga? Pakai ecxel kan ada rumus Dek, pakai rumus aja.”

Melihat keterdiaman sang lawan bicara membuat Rani menghembuskan napas sabar, sabarnya di dunia begitu luas. Diamnya sang anak magang membuatnya paham jika anak magang ini tidak tahu rumus yang dia maksud.

“Dilanjut dulu yah, mbak juga ada tugas yang belum selesai ini.”

Sepanjang berjalan menuju kursi kantornya diiringi dengan gerutuan kesal, terkadang dirinya sampai dibuat naik pitam karena anak magang yang diserahkan kepadanya. “Seharusnya kalau aku ngurus anak magang ya jangan dikasih lembur dong Pak Bas, udah bantu anak magang ditambah lembur bisa kurus kering nih badan.”

“Ngedumel mulu Bu Rani, sabar napa sih.”

Rani memberikan lirikan tajam kepada seseorang yang baru berkomentar tentang dirinya tersebut. “Kalau ngga tahu apa-apa mending diem bro, gatau apa ini kepala udah ngebul.”

“Hahahaha Rani Rani, malang banget sih nasib lu. By the way emang parah sih anak sekarang, nggak pernak kena pukul pakai rotan kali mereka makanya lembek.”

“Ah gatau ah, biarin mereka belajar deh.”

Rekan kerja Rani yang merasa jawabannya kurang itu menggeser kursinya mendekat. “Ada apa sih Ran jangan marah-marah mulu tua loh nanti, sini cerita sama bunda dulu sini,” ejeknya.

Rani menahan senyumannya melihat kelakukan rekannya.

“Aduh Sinta bisa diem ga sih, akutuh pusing tuntutan kerja, tuntutan lembur, tuntutan anak magang belum lagi ditambah sama Papa yang ngebet mau nikahin aku sama temennya anjir.”

“Lagian lu mah juga ribet kali Ran, udah kaya begayaan pakai kerja segala. Papa lu tuh malu kali lihat anaknya kerja, lu nya nggak bersyukur udah hidup enak malah ngebabu gini.”

“Aku kaya dari mana sih Sin, warisan juga bakal dibagi kali sama yang lain,” sanggah Rani. Ia mendudukkan diri dengan kasar di kursi, meminum air di botolnya secara brutal, beberapa detik setelah itu dia sadar akan sesuatu.

“Atau nggak Papa jodohin aku karena ngincer harta temennya, Papaku kan mata duitan,” ucap Rani secara jujur.

Sinta yang mendengar itu semua tidak kuasa menahan tawanya, di saat serius seperti ini masih bisa bercanda. “Nah itu maksud terselubung bokap lo Ran, gue suka sama pemikiran bokap lo.” Sinta berucap dengan kedua jempol terangkat ke atas.

“Gue sih kalau jadi lo juga pasti dilema Ran, tapi kayaknya its okay deh kalau soal money,”
tambahnya.

“Astagfirullah Sinta, tobat Nak.”

Sinta mengangkat alisnya melihat respon Rani. “Heh ambil sisi positifnya Ran, lo Cuma tinggal nungguin usia suamimu habis itu hartanya kan buat lo semua. Paling empat atau lima tahun lagi juga udah wassalam tuh om-om. Dua ribu dua empat tuh kita harus berpikir kritis Ran, jangan sia-siakan kesempatan yang ada,” ucap Rani panjang lebar.

Stopmap berwarna merah mengenai kepala Sinta dengan tepat, bukannya marah justru tertawa lebar karena masukan darinya dianggap serius oleh sang rekan kerja.

“Hidup jangan serius-serius Ran, tapi kalau mau dipikirin ulang juga nggak papa kok.”

“NGGAK!”

Rani menutup mulutnya saat baru menyadari bahwa dia hampir berteriak, ia tersenyum canggung kepada sesama rekan kerjanya yang berada satu ruangan dengannya. Daripada menanggapi omongan Sinta yang sudah ngalor ngidul itu lebih baik dia menyelesaikan tugas hari ini dan berlanjut menyelesaikan lemburnya, walaupun dibayar lebih namun rebahan di atas ranjang lebih menggoda daripada uang lemburnya.

“Pulang duluan ya Ran, semangat lemburnya cantik.”

Rani mengantar kepergian Sinta dengan lirikan tajam, perempuan itu benar-benar menggodanya karena bisa pulang sore. Ia mengedarkan pandangan menatap ruangan yang benar-benar kosong yang menyisakan dirinya sendiri.

“Untung setan udah jadi temenku sehari-hari, hari ini temenin aku lagi ya bro,” ujarnya sendiri sembari melanjutkan tugasnya.

Rani tahu jika ada orang lain di beberapa divisi yang tengah lembur juga, namun karena sama-sama sibuk dengan tugas membuat mereka tidak saling bertukar sapa. “Kasian Mas Dwi pengantin baru harus ditinggal lembur dulu, aku kalau jadi istrinya udah ngambek itu mah.”

“Ah begayaan mau jadi istri orang calonmu aja nggak ada gitu Ran.”

Rani meratapi nasibnya yang entah mengapa sungguh mengenaskan, ditinggal sang ibunda hingga menjadi beban sang papa. Sungguh hal yang luar biasa bukan, itu semua belum ditambah dengan UKT kuliah sang adik yang membuatnya ngelu.

“Buruan pulang Ran sebelum makin gila kamu di sini.”

Perempuan cantik itu membereskan tasnya, menyimpan dokumen penting di laci miliknya dan melangkahkan kaki pulang. Rani yakin wajahnya sudah seperti gembel yang kusam dan kumel, ia berjanji setelah sampai di rumah akan merebahkan badannya dengan segera.

“Eh anak papa udah pulang, capek ya kerjanya yah?”

Mungkin seperti itulah kalimat pertama yang dia dengar saat memasuki rumah, karena pada dasarnya ia tahu bahwa sang papa tengah mengejeknya. “Iya nih Pa habis jadi kuli aku, capek banget pengen langsung tidur.”

“Kalau jadi istri mah enak di rumah kerjaannya nggak seberapa, paling juga capek badan. Kalau kerja kan capek badan plus capek pikiran, mending nikah aja sih kalau kata papa.”

Papanya ini memang cocok jika menjadi papanya Sinta, sepemikiran dan mirip sekali. “Kapan-kapan aja deh Pa, belum mood jadi istri soalnya.”

Terdengar kekehan pelan yang memenuhi ruang tamu, sosok ayah itu hanya tersenyum melihat keras kepalanya sang anak sulung. “Masih berpegang teguh aja Kak, lima bulan lagi loh. Semangat yah nyari calonnya, semoga ngga dapet.”

“Papa…..”

Rani merengek bagaikan anak kecil, bibirnya juga maju ke depan merasa kesal dipermainkan oleh sang papa. Doa apa yang papanya panjatkan hingga membuatnya sibuk tidak memiliki waktu bahkan hanya untuk kencan buta, dia tidak ingin menikah dengan om-om.

Assalamualaikum manusia-manusia kuat, eh baru pulang Kak?”

Tepukan keras yang menghampiri lengan pemuda tampan membuat sang empu mengeluh kesakitan. “Aduh apa sih Kak? Orang baru sampai udah kena kekerasan aja,” keluhnya.

“Kuliah yang bener Reno, jam segini baru pulang habis dari mana kamu hah?” tanyanya dengan penuh semangat.

“Habis rapat aku Kak, tanya temen aku kalau nggak percaya.”

“Kakak udah setengah gila mikirin masa depan kamu yah, awas kalau nggak jadi apa-apa bakal kakak sembelih di depan rumah!”

Bulu kuduk Reno berdiri mendengar itu semua. “Kakak yang disuruh kawin kenapa aku yang kena imbasnya coba, sehat-sehat budak korporat.”
.
.
.

STAY SAFE

selamat hari selasa semuanya, temenin mba rani dari nol yah wkwkwk

5 March 2024

Garis LakonWhere stories live. Discover now