Keputusan

95 57 225
                                    

⚠️Warning! Adegan kekerasan!⚠️
Mohon bijak dalam membaca, segala hal yang tertulis dalam cerita ini hanya fiktif belaka untuk hiburan semata.
Bukan untuk ditiru apalagi di coba!
16+
.
.
.
.
.
.
.
.

"Aku tidak pernah meminta untuk lahir seperti ini

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Aku tidak pernah meminta untuk lahir seperti ini."

Rafael menatap Kin yang memegang buku namun tak kunjung dibacanya sedaritadi. Hanya dibuka dan menatap sisi lain dari buku tersebut.

"Kau sudah mengatakan hal itu tiga kali hari ini," timpal Rafael mengambil buku dari tangan Kin dan menutupnya lalu menyimpannya.

Rafael kembali menatap Kin dan memastikan sekitarnya tidak ada orang lain.

"Sebenarnya kau ini kenapa? Akhir-akhir ini kau sering berbicara sendiri, menyendiri dan tidak pernah fokus dengan suatu hal yang akan kau kerjakan. Kau bisa mengatakannya padaku jika kau mau," Sejujurnya Rafael kesal ketika melihat temannya itu kebingungan, kenapa? Karena ketika seseorang bingung hal itu akan membuat orang terdekatnya merasa kebingungan juga.

Dan Rafael tidak suka dibuat bingung.

Kin menatap lelaki di depannya itu, "Kau tidak akan mengerti, Raf."

"Karel, bolehkah aku meninju wajahmu? Setidaknya itu akan mengurangi rasa kesalku karena kau terlalu tampan."

Kin menatapnya heran, "Kau kesal padaku karena aku tampan? Tapi itu lebih baik daripada kau menyukaiku karena aku tampan."

Refleks Rafael melempar pulpen pada wajah temannya itu, mereka tertawa karena candaan masing-masing karena tidak mungkin hal itu akan terjadi. Mereka normal.

"Tapi, Rel. Aku serius, kau bisa mengatakan apapun yang kau pikirkan sekarang. Setidaknya aku bisa menjadi pendengar yang baik daripada hanya ikut bingung melihatmu kebingungan."

Karel berpikir sejenak, tidak mungkin ia meberi tahu soal PBD dan dirinya pada Rafael. Itu sama saja ia menambah masalah.

Namun karena ia tidak mungkin bercerita pada orang lain, akhirnya Kin menghela nafas gusar dan menatap sekitar.

"Menurutmu ... ketika kita melakukan kesalahan, apa lebih baik pergi atau ... menetap dan memperbaiki semuanya?" tanya Kin dengan hati-hati.

"Pergi? Untuk apa? Selama belum diperbaiki, kau terjebak. Memang tidak semua masalah itu hakikatnya di selesaikan, tapi jika memang masalah yang kau hadapi memang untuk diselesaikan, seberapa jauh kita pergi pasti akan selalu diikuti. Memangnya, kau melakukan apa sampai berpikir seperti itu?" Rafael semakin penasaran ketika Kin mencoba untuk bertanya hal tersebut.

"Aku punya teman ... aku hampir menyakitinya, padahal aku benci ketika melihat orang lain saling menyakiti. Tapi aku sendiri ... malah menyakiti orang lain." Kin tertunduk mengingat semua hal buruk di masa lalunya dan apa yang terjadi setelahnya.

KINWhere stories live. Discover now