5. Keadaan Genting

39 5 0
                                    

"Sayang, kamu udah tidur?"

Suara Wulan kembali terdengar. Mungkin karena tak kunjung mendapat jawaban dari pemilik kamar.

Lirikan gelisah Senja tertuju pada pintu. Dia takut ibunya masuk dan melihatnya dalam kungkungan Cakrawala. Karena biasanya, sang ibu akan masuk ke dalam setelah mengetuk dan memanggil.

"Lo mau gue tetep hidup 'kan, Bang?! Atau jangan-jangan apa yang lo omongin tadi siang emang cuman omong kosong?" tanya Senja dengan suara bergetar.

Mengingat reaksi Cakrawala siang tadi ketika ingin bunuh diri membuat Senja bertaruh pada keberuntungannya. Barang kali saja masih ada sedikit rasa belas kasih dari semesta untuk membela. Setidaknya, untuk sekali ini saja karena sebelumnya jarang sekali ada keajaiban dalam hidupnya setelah kepergian sang ayah.

Sepersekian detik, Cakrawala menghela napas berat. Menatap Senja sendu dengan perasaan berkecamuk. Dia pikir, kenapa adiknya tidak bisa memahami perasaan sedikit pun?

"Oke, gue keluar," ujar Cakrawala lesu. Menjauhkan tubuhnya dan beranjak keluar.

"Loh, Wala? Dari tadi kamu di dalam?" tanya Wulan terkejut.

Baru membuka pintu sedikit, Cakrawala sudah berhadapan dengan ibu tirinya. "Iya, Ma. Wala minta Senja buat bantu Wala di perusahaan, tapi dia nolak lagi," sahutnya sambil membuka pintu lebar-lebar.

Orang seperti Cakrawala memang mudah sekali menguasai keadaan. Dalam kondisi genting apa pun, dia bisa langsung menyesuaikan diri. Tidak merasa bersalah atas apa yang telah dilakukan. Yang ada di kepalanya hanya kebahagiaan dirinya sendiri meski harus melukai orang lain.

"Oh, ya udah biar nanti mama yang bujuk. Kalau masih nggak mau, nanti mama suruh bantu urus butik." Wulan mengusap lengan Cakrawala dan tersenyum lembut.

"Iya, Ma." Dalam hati, Cakrawala berharap ibu tirinya berhasil membujuk Senja.

"Ya udah, sana kamu istirahat. Mama mau ngobrol sebentar sama Senja."

Cakrawala mengangguk dan bergegas menuju kamarnya. Sementara itu, Wulan langsung masuk dan menutup pintu.

"Kamu belom tidur 'kan, Sayang?" Wulan melangkah mendekat. Lalu, duduk di tepi ranjang dengan tangan terulur mengusap rambut panjang putrinya.

"Belom, Ma." Senja beranjak duduk menghadap sang ibu.

"Besok sebelum ke butik, mama mau ke makam Ayah kamu sama Papa. Ikut?"

Setelah menikah dengan Mahesa, Wulan diberi modal untuk membangun sebuah butik. Sampai 7 tahun, butiknya memiliki cabang hampir di beberapa kota besar. Dia yang memimpin sekaligus mendesain setiap baju yang dibuat.

"Ikut, Ma, ikut. Senja juga udah kangen banget sama Ayah," balas Senja antusias.

Setiap kali merasa buntu, Senja selalu pergi ke makam ayahnya. Mengadukan segala keluh kesah dan menumpahkan banyak air mata. Dengan begitu, perasaannya akan membaik dan tenaganya terkumpul kembali untuk menghadapi kegilaan Cakrawala.

"Ya udah, sekarang kamu tidur. Besok kita ke makam Ayah sama-sama."

Sebelum masuk, Wulan berkata akan membujuk Senja agar mau bekerja di perusahaan suaminya. Kalau tidak mau, dia akan membujuk putrinya bergabung mengurus butik. Namun nyatanya, masalah perihal itu sama sekali tidak dibahas. Entah karena lupa atau ada sesuatu yang disembunyikan?

"Iya, Mama juga tidur. Bikin desain nanti lagi aja di butik, jangan begadang terus." Senja mengangguk dan lekas berbaring.

Dia membiarkan sang ibu menyelimuti tubuhnya dan mengecup kening. Kemudian, menyaksikan ibunya keluar dari kamar.

Sepotong Asa Untuk SENJAWhere stories live. Discover now