Part 48

125 30 12
                                    

"Kamu yakin di sini tempatnya, Loi?" Bisma memandangi sebuah bangunan, berada di pertunjukan teater jauh dari kota sebelumnya.

Mereka baru sampai 20 menit yang lalu, menaiki kereta tiba pada pukul 12 siang. Hanya berdua. Masing-masing membawa tas berisi pakaian. Seperti kata Acil, Loila tidak memberitahu bahwa Acil-lah yang menyuruh mereka kemari pada Bisma.

"Sebentar, aku hubungi seseorang dulu, Paman."

Baru menyalakan HP, sebuah pesan tertara di layar kunci--terkirim satu jam yang lalu. Memang sejak tadi Loila tidak mengecek ponselnya, terbukti dari buku yang baru ia masukkan ke dalam tas mejadi teman perjalanan.

[Aku sudah pesankan dua kursi pertunjukan teater. Bilang saja sama kakak penjaganya atas nama Acil. Kalian nonton saja, maaf mendadak aku ada urusan lain.]

Apa maksudnya ini? Kenapa pula Acil membuat Loila nonton teater berdua dengan Bisma? Astaga, apa yang harus ia katakan untuk menjelaskan situasi? Menelan ludah kasar, Loila tidak enak hati, menatap Bisma lalu nyengir.

"Ada apa?" tanya Bisma, mengangkat alis sebelah.

"A-anu, ki-kita nonton teater saja yuk, Paman."

Kejanggalan tentu Bisma rasakan, dia sendiri tidak yakin Loila yang membawanya ke sini atau kemauan gadis itu sendiri. Insting Bisma mengatakan ada sesuatu tidak beres. Jauh-jauh datang menempuh enam jam perjalanan, hanya untuk menonton teater?

"Loila, siapa yang menyuruhmu membawaku ke kota ini?"

"Tidak penting, Paman. Ayo cepat masuk, pertunjukkannya akan dimulai," alih Loila teringat Acil telah berpesan padanya.

Teater dimulai, sebuah kisah tentang perang saudara masa lampau bangsawan Jepang plus bahasa Jepang. Loila dan Bisma melongo tidak mengerti. Tatapan Bisma pun penuh tanya pada Loila yang tengah mematung tidak ingin menoleh sebab tahu Bisma pasti bingung.

"Sepertinya kita masuk ke dalam perkumpulan orang Jepang, Loila."

"Iya, ya, Paman. Kenapa mereka di negara kita?"

"Ini teater dikhususkan untuk mereka. Kamu dapat izin masuk dari mana?"

Loila menggeleng-gelengkan kepala. Hendak menjawab, tiba-tiba orang di depan mereka berbicara.

"Sono wakamono wa mō tōchaku shimashita ka?" (Apa pemuda itu belum datang?)

"Gesuto risuto ni kare ga tōchaku shimashita, bosu." (Di daftar tamu dia sudah datang, Bos.)

Tiba-tiba kepala mereka menoleh ke sana ke mari, bertemu tatap dengan dua orang tidak diundang di belakang mereka.

"Dare ga?" (Siapa mereka?)

Keringat dingin membasahi dahi dua manusia yang kini menjadi pusat perhatian. Diam mematung, jantung berpacu memicu alarm bahaya. Loila segera meraih ponsel, hendak menghubungi Acil untuk bertanya apa maksudnya mengirim Loila dan Bisma ke sini? Namun, lagi-lagi pesan belum terbaca ia dapatkan.

(Di dalam tasmu, aku menyelipkan boneka panda, tekan hidung hitam panda sampai terdengar bunyi klik. Letakkan di tempatmu duduk lalu langsung lari pergi dalam 10 detik. Ingat langsung lari!)

Dari penjelasan Acil, Loila tahu bahwa boneka panda tersebut adalah bom waktu. Yang berarti Acil hendak membunuh orang-orang yang berada di ruangan ini. Tapi kenapa?

(Mereka adalah yakuza yang membantai keluargamu.)

Mata Loila langsung membulat membaca 1 pesan baru masuk. Mendadak napas pun memburu, tersenggal-sengal sampai membuat Bisma heran.

Klik.

Langsung Loila menarik Bisma, berlari sekencang-kencangnya setelah meninggalkan boneka di kursi. 7 ... 8 ... 9 ... 10. Gelombang ledakan menghempas Loila dan Bisma yang satu langkah lagi mencapai meja pelayanan. Mereka selamat.

Sadar akan situasi, Bisma menarik Loila dari posisi jatuh untuk berlari, selagi orang-orang lain berserakan menjauhi TKP. Loila adalah pelaku, jadi mereka harus pura-pura menjadi pengunjung biasa yang tidak tahu apa-apa dalam mal ini.

Sampai di luar, bergegas menghentikan taxi. Singgah di penginapan acak, menyewa dua kamar. Saat Loila hendak masuk ke kamarnya, tiba-tiba Bisma ikut masuk lalu mengunci pintu.

"Apa yang kamu lakukan tadi, Nak?!" tanya Bisma.

"Mereka adalah yakuza yang membantai seluruh keluargaku, Paman!"

"Jadi kamu sudah merencanakannya sejak awal? Kenapa membawaku juga?"

"Tidak, aku baru tahu. Bahkan tentang boneka bom di tasku. Rupanya ini yang Acil rencanakan. Dia juga merahasiakan hal ini padaku. Bilang, kalau aku akan tahu sendiri setelah berada di tempat."

Bisma mengusap kasar wajah, tak habis pikir dengan anaknya yang membuat Loila membunuh orang. Keterlaluan. Sengaja tidak memberi tahu Loila, agar tidak membuat gadis itu jatuh dalam pertimbangan. Tapi ... tunggu! Kenapa Bisma juga disuruh ikut? Padahal Loila bisa melakukannya sendiri.

"Aku telah membunuh orang. Aku takut, Paman." Loila terisak. Dia menyesal. Informasi mendadak dari Acil, seketika menggelapkan mata Loila. Meledakkan tanpa berpikir panjang, sebab pembunuh sudah di depan mata.

"Sudah terlanjur, Nak. Paman yakin ada alasan dibalik Acil yang membuatmu membunuh mereka." Bisma menepuk pundak Loila, menenangkan gadis itu.

Tok tok tok.

Bisma membukakan pintu, beberapa polisi datang untuk interogasi.

"Bapak dan anak?" tunjuk polisi pada Loila dan Bisma.

"Iya, dia anak saya. Trauma dengan ledakan tadi, jadi sampai sekarang gemetaran."

"Kalian ada di dalam ruangan itu sebelum meledak, kan?"

"Iya, Pak."

"Aneh, kenapa kalian berdua berlari bahkan sebelum ruangan itu meledak?"

"Peledak itu tipe bom waktu, sebelum meledak anak saya merasa janggal dengan tempat yang ia duduki. Setelah di cek, ternyata ada bom waktu tersisa 9 detik yang menempel di kursi. Kami berdua langsung berlari."

Setelah itu Bisma dan Loila di bawa ke kantor polisi untuk menjelaskan lebih rinci. Menjadi sangat sibuk, hingga Bisma dan Loila mengabaikan telepon yang berdering.

Paginya, mereka bebas Bisma menghubungi semua nomor yang ia tolak terus, pun Loila menghubungi Gress dan Jino. Satu pun panggilan tidak ada yang menjawab. Apa yang terjadi?

"Dia sudah bergerak ternyata. Sekarang aku mengerti kenapa aku dikirim bersamamu di sini, Loila. Sengaja membuat kita sibuk berurusan dengan polisi," gumam Bisma tersenyum tipis pada telepon yang masih nyala memanggil rekan-rekan sesama petinggi.

"Siapa yang bergerak, Paman?"

"Tidak ada. Lebih baik kita kembali ke penginapan. Istirahat."

Sementara di tempat lain. Detektif A bersama anggotanya menyeret semua anggota kelompok penyalur keluar dari dinding persembunyian. Semua sudah dibekukan, mereka yang melawan dibuat babak belur.

Gress menangis, memohon untuk dilepaskan.

"A, aku temannya Loila. Dia pasti akan marah jika kamu menangkap aku juga," rengek Gress banjir air mata. Orang yang ia harap ada di sini saat A datang, malah menghilang entah ke mana. Loila dan Bisma.

A cuek, membiarkan Gress dan Jino diseret oleh bawahannya. Peduli apa dia dengan dua orang itu? Akan bagus jika Loila tidak berteman lagi dengan mereka. Memang niat Aciel kembali seperti dulu lagi, di mana Loila hanya memiliki Aciel seorang sebagai teman. Dengan begitu setiap hari Loila hanya menunggu Aciel pulang, hanya Aciel yang menjadi tempat cerita Loila serta keluh kesah.

Bersambung....










Lentera MalamWhere stories live. Discover now