Part 47

141 29 9
                                    

"Loila?!" teriak Gress pada gadis basah kuyup masuk ke dalam kamar. Gress tidak tidur menunggu Loila pulang. Tentu dia khawatir. Selanjutnya senyum. "Kerja bagus," tutur Gress memberi apresiasi.

Tapi Gress menyadari ada yang salah. Loila basah, artinya kehujanan. Jika hujan, berarti dingin. Ini negara teropis, dingin hujan tidak sedingin salju. Namun pipi Loila yang seharusnya pucat jika kedinginan, malah merah. Gress memegang tangan Loila, dingin sedangkan pipinya panas.

"Ada apa, Gress?" Loila menyingkirkan tangan Gress yang sibuk memeriksa tubuhnya.

"Tidak biasanya kamu kedinginan sampai wajah memerah seperti ini."

"Di-di luar sangat dingin." Loila cepat menerobos masuk, langsung ke kamar mandi. Jangan sampai ada yang tahu dia berurusan dengan A lagi, mereka akan semakin mengganas nanti.

Malam terasa singkat, lelah serta lega membawanya dalam tidur nyenyak. Ketika alarm berdering, Loila tetap pada mata terpejam. Alhasil Gress yang dibuat risi. Mau tidak mau Gress mematikan alarm Loila, sementara Loila tidur bagai orang mati.

"Tidak biasanya enggak mendengar alarm," gumam Gress kembali ke kasur.

Satu jam kemudian diketuk, Lagi-lagi Gress yang bangun. Melangkah malas, membukakan pintu untuk tamu. "Paman? Ada apa, Paman?" tutur Gress separuh mengigau.

"Loila masih tidur?" Bisma bisa melihat dari pintu yang terbuka.

"Em, kayaknya kecapean."

"Ya, sudah. Ini kasih ke Loila nanti, ya." Bisma menyerahkan kotak putih terlilit pita merah muda.

Gress menerima tanpa bertanya, dia tidak sabar untuk kambali melompat ke kasur.

***

Menghadap piring, Loila sarapan sendir, atau bisa disebut makan siang? Dia baru bangun, bahkan mata masih belekan. Tidak biasa penampilannya berantakan, tapi hari ini adalah hari termalas sepanjang hidup Loila.

"Tumben sendiri. Mana si bedak tebal?"

Loila mengabaikan pertanyaan yang lewat, mengunyah malas dengan wajah lesu. Dia pun tidak tahu di mana Acil, tidak bisa dihubungi sama sekali.

Tiba-tiba Gress datang entah dari mana, meletakkan kotak berpita di atas meja. Loila mendongak pada gadis yang masih berdiri. Mengernyit, menyelesaikan kunyahan agar bisa langsung ditelan.

"Ini apa?" tanya Loila.

"Enggak tahu. Paman Bisma tadi yang kasih. Bye aku mau pergi jalan-jalan dengan Jino dulu."

Haruskah Loila membuka kotaknya di sini? Melirik sekitar, ada banyak mata yang ikut penasaran. Bagaimana jika sesuatu di dalam kotak adalah sesuatu yang rahasia? Bukan pilihan yang bagus membukanya di tempat umum. Lantas Loila memutuskan membuka nanti saja, terlebih dahulu menghabiskan makanan yang ia kunyah malas.

Ah, semangatnya lemah sebab bayar enggak pakai ngutang sama Acil. Ke mana sih cowok itu?

Tiba di kamar, Loila membuka kotak besar itu. Mengangkat isinya, lalu terkagum dengan gaun pengantin putih teramat indah. Loila pergi ke depan cermin, memindai diri sambil memegang gaun pengantin itu. Senyumnya semenringah, Loila suka dengan gaun itu. Tapi....

Mendadak senyum Loila luntur. "Apa maksud paman memberiku gaun pengantin? Dia tidak berencana mengajakku menikah, 'kan?"

Cepat-cepat Loila hendak memasukkan gaun ke dalam kotak lagi. Eh, ternyata ada sepatu putih juga mahkota berlian, lalu ... surat? Penasaran, lantas dia mencoba kedua benda itu. Menghadap cermin, Loila membuka surat.

{Loila, kamu melakukan perkerjaanmu dengan baik. Aku menghadiahkan gaun. Nanti, saat kamu menikah dengan pria yang kamu cari, tolong pakailah gaun dariku. Anggap saja sebagai tanda restuku. Sayangi dia, jangan pernah meninggalkan dia lagi, berbahagialah. Aku percaya hidupnya akan lebih sempurna bersamamu.}

"Kenapa paman Bisma mengirim surat seperti ini? Dia seperti calon mertuaku saja. Memangnya dia tahu aku akan menikah dengan siapa? Lagian ... terlalu cepat memberiku gaun pengantin."

Loila memasukkan semua barang ke dalam kotak. Entahlah, hati Loila sedikit merasa hangat di hari buruknya ini. Merebahkan diri di kasur, Loila menggapai ponsel di atas meja. Lagi, Loila menghubungi Acil.

Nomor yang Anda hubungan sedang sibuk....

Nada yang menyebalkan. Tolonglah, dia dilanda kebosanan. Gress jalan dengan Jino, Acil entah ke mana.

Pikiran lain muncul, kenapa dia tidak menemui paman Bisma? Bertanya tentang hadiah gaun pengantin. Bangkit dari kasurnya, Loila meraih kotak putih kembali--sedikit berlari menuju tempat Bisma.

"Pam-" Loila berhenti di depan kamar yang menyisakan cela kecil di depan pintu. Tidak jadi masuk sebab terdengar suara para petinggi ada di dalam kamar Bisma semua. Ada apa ini? Bisma sebagai bagian perencanaan, dijadikan tempat berkumpul. Apa lagi kalau bukan membahas rencana.

"Ok, semoga rencana ini berhasil membunuh A dua hari lagi," ucap Coko bersemangat.

Loila terkesiap, kotak yang ia pegang hampir jatuh namun berhasil ia sambut. Tubuh Loila merosot ke bawah, kakinya tiba-tiba lemas. Terbayang wajah A, terbayang saat dia mencium Loila. Setitik air mata jatuh, meremat dadanya menahan sesak. Wajah yang tidak akan pernah ia lihat lagi. Sungguh dia tidak rela.

"Ada apa, Loila?"

Tiba-tiba Acil muncul di hadapan Loila. Langsung Loila memeluknya, menyembunyikan suara di dada pria itu.

"Ada apa?" tanyanya lagi. Mengusap kepala Loila, sementara satu tangannya lagi merengkuh pinggang Loila.

"Aku tidak mau dia mati."

Acil tak bersuara, hendak menyeret Loila pergi atau mereka akan ketahuan oleh para petinggi. Kotak yang Loila letakkan di lantai guna menyambut Acil tadi pun kembali dipungut setelah pelukan mereka terlepas.

Masuk ke kamar Acil, pria itu membawanya duduk di atas ranjang. Memberi tisu untuk menghapus air mata.

"Loila, apa isi kotak itu?"

Loila menggeleng, balik bertanya, "Kamu menghilang ke mana? Kenapa telepon ku enggak diangkat?"

"Tidak akan kujawab. Kamu sendiri tidak mau memberitahu aku apa isi kotak itu. Aku buka sendiri, ya?"

"Tidak boleh, Acil."

Acil mengangguk mengerti. Duduk di samping Loila, dia merogoh saku memberikan kertas kecil berupa alamat di tangan Loila. "Besok pagi, kamu ajak paman Bisma ke alamat ini."

"Kenapa?"

"Aku akan menyusul, kamu akan tahu sendiri. Tapi jangan bilang aku terlibat kepada paman Bisma, ya?"

"Sebenarnya mau ngapain sih?" Loila membolak-balikan kertas, hanya ada alamat yang tertulis di sana. Terlebih berada di kota yang berbeda. Memangnya paman akan mau ikut? Bagaimana jika menolak?

"Loila kamu tadi menangis karena mendengar A akan mati, ya?"

"Iya. Kamu tahu dari mana?"

"Jangan khawatir, A tidak sebodoh itu."

Tatapan Acil meyakinkan, seolah A sendiri yang mengatakan hal sama seperti Acil katakan. Kedua mata mereka bertemu, saling pandang lalu Loila cepat membuang muka ke arah lain. Jangan sampai dia terhanyut kembali seperti saat bersama A di jembatan. Mata mereka sangat berbahaya ternyata. Mata yang sama, wangi yang sama ... eh tunggu! Mereka bukan orang yang sama, 'kan? Loila langsung menggeleng-gelengkan kepala.












Lentera MalamWhere stories live. Discover now