Sore ini dia adalah Aciel si detektif cerdas yang namanya dikenal sebagai A. Berjalan cepat diikuti oleh Ben, mereka berdua menelusuri lorong di rumah sakit. Pada satu ruangan, di mana terdapat pasien luka bakar, mereka berkunjung. Aciel dan Ben tidak kenal dia, hanya saja pasien itu adalah orang yang selamat dari meledaknya swalayan. Dia baru sadar hari ini, Ben langsung melapor siang tadi.
Seorang pria berusia 41 tahun, bernama Jaugo. Terbaring di kasur, tubuhnya dibalut perban bagai mumi. Untunglah dia bisa bicara, tidak ada trauma bagi pria itu.
Tepat di depan pria itu, Aciel memindai dari ujung ke ujung. Dahinya mengerut melihat tubuh itu, seperti sebuah keajaiban tubuhnya tidak hancur padahal dia berada di dalam gedung. Bagaimana bisa? Yang di luar saja banyak yang mati. Apa dia punya ilmu kebal?
"Kami sudah tahu apa yang meledakkan gedung. Tapi tidak dengan pelaku. Satu-satunya korban yang selamat cuman Anda. Saya harap Anda mengerti akan kedatangan kami yang tidak memedulikan kondisi Anda," tutur Aciel. Kemudian dia duduk di kursi, sementara Ben berdiri di samping Aciel setelah meletakkan sekeranjang buah sebagai buah tangan.
Menarik napas panjang, Aciel memandang lama. Jaugo menelan ludah kasar, bertanya-tanya maksud tatapan Aciel itu?
"Bapak adalah pelaku pengeboman."
Dokter, Suster, Jaugo, dan semua mata yang mendengar penuturan blak-blakan Aciel, membulat sempurna. Terlalu terus terang dan tentu saja mengejutkan. Bagaimana bisa dia menuduh pasien?
"A-apa maksudmu?" Jaugo langsung berkeringat dingin.
"Gedung saja 90% hancur, bagaimana Anda masih utuh? Bukti-bukti mungkin telah hancur bersama kebakaran itu. Tapi, Anda tidak bisa menghindari fakta bahwa Anda berada di dalam gedung, dua menit sebelum meledakkan gedung, Anda mendapat panggilan video dari istri Anda, 'kan?"
"I-iya. Tapi ...."
"Usai gedung meledak istri Anda menanyakan tentang kondisi Anda, yang katanya berada di dalam."
"Terus kenapa?! Aku hanya beruntung bisa hidup."
"Tidak. Anda malah sial. Karena baju pelidung yang Anda pakai tidak mampu melindungi Anda secara sempurna."
"Mana bukti jika aku adalah pelaku."
Dia tersenyum, lalu meringis sebab luka bakar di wajahnya.
"Ben."
Mengerti maksud Aciel, Ben membuka tas yang ia bawa. Berisi baju pelindung yang diyakini milik Jaugo. Tidak terbakar sepenuhnya karena itu dibuat dengan bahan khusus.
"Kami temukan ini di bawah reruntuhan. Anda pasti melepaskannya setelah api menembus pelindung. Anda juga terbakar, tetapi Anda sudah keluar dari gadung lalu berlari sendiri ke ambulan yang telah datang. Karena sangat yakin pakaian itu akan terbakar, Anda tidak mengkhawatirkan akan menjadi bukti. Sayangnya tembok jatuh tepat di atas baju pelindung, memadamkan api yang melahapnya. Sidik jari serta rambut yang tertinggal telah dikonfirmasi milik Anda."
Jaugo terdiam, tidak mampu menyanggah lagi. Yang dikatakan Aciel benar, dialah pelakunya. Dia menangis, lalu menjelaskan apa yang terjadi.
"Aku tidak tahu ledakkannya akan sebesar itu. Niatku hanya mengebom satu ruangan di mana bos tempatku kerja dan para karyawan tengah mengadakan pesta kecil-kecilan di gedung itu, termasuk aku. Tapi ... pesta itu bukan hal yang bagus untukku. Merayakan keberhasilan game online baru yang sukses besar di pasaran. Game itu aku yang merancang, tetapi anak sulung dari bos yang mendapatkan penghargaan. Semua yang ada di dalam ruangan tahu game itu hasil kerja keras siapa. Namun, mereka tutup mata, melanjutkan menjilat bos. Aku muak, dan merencanakan membunuh mereka semua."
"Tapi kamu tidak tahu jenis bom yang kamu pakai?" tebak Aciel.
"Iya. Bom itu peninggalan mendiang ayahku, sebenarnya dia ahli membuat kembang api. Tapi entah kenapa tiba-tiba membuat bom. Peledak yang dia perlihatkan padaku dulu ledakannya pas untuk satu ruangan. Aku tidak tahu, peledak yang aku pikir sama ternyata berbeda. Sungguh, bukan maksudku membunuh orang lain selain bos dan karyawan tempatku bekerja."
Pelaku ditemukan, ternyata tidak sesulit yang Aciel duga. Tugas dia sudah selesai, selanjutnya tugas polisi. Membiarkan Ben menghubungi polisi, Aciel memejamkan mata mendengar tangisan pasien. Mau bagaimanapun dia telah membunuh banyak orang, tidak ada kata kasihan di kamus Aciel. Pria itu lantas memohon, meminta diberi keringanan, dia memiliki istri dan anak yang harus dinafkahi.
"Aku ini detektif, bukan hakim."
"Apa kamu benar-benar tidak bisa membantu?"
"Tidak bisa." Berdiri, Aciel ingin cepat-cepat pergi, muak mendengar rengekan si mumi. "Ben, sudah selesai?"
"Sudah."
"Ayo kita pergi."
"Kita biarkan dia? Bagaimana jika dia kabur?"
"Kabur dengan keadaan seperti itu? Jangan bercanda."
***
Hari sudah gelap ketika Aciel kembali menyamar sebagai Acil. Perut yang lapar mengundang Aciel pergi ke kantin--makanan di bawah sini cukup enak--duduk di kursi kosong, di mana jam segini kantan memang sepi, hanya ada beberapa orang.
Pelayan bilang ada menu kue baru, usai makan Aciel meminta dibungkus kan kue itu. Dia datang ke kamar Loila, mengetuk pintu dan yang membuka adalah Gress.
"Loila di mana?"
"BAB. Kenapa?"
Aciel menyerahkan bingkisan kecil, terdapat macam-macam cemilan asin dan manis.
"Berikan pada Loila," tutur Aciel.
Tentu hal ini mengundang pemikiran sendiri bagi Gress. Cowok yang perhatian pasti ada rasa. "Kamu suka sama Loila, ya?"
"Hanya teman."
"Teman? Ya, seharusnya memang begitu. Sebaiknya kamu jangan berharap, Loila itu keras kepala, di hatinya cuman ada Aciel."
Aciel tersenyum, menganguk-angguk lalu berkata, "Itu bagus." Selanjutnya dia pergi. Menyisakan tatapan heran yang di lontarkan oleh Gress.
Eh, tapi ... penampilan Acil agak berbeda dari biasanya. Baju tidak di masukkan, terlebih gaya rambutnya yang acak-acakan. Walau dia memakai bedak basah nan tebal, jika seperti ini Gress bisa melihat Acil memiliki pesona yang kuat.
"Aku tidak salah lihat, 'kan?"
"Salah lihat apa?" Loila muncul dari belakang tubuh Gress.
"Enggak ada apa-apa. Ini dari Acil."
Menerima kantong plastik, Loila naik ke atas kasur, tak lupa berbagi juga dengan Gress. Sambil memainkan ponsel, Loila melihat berita, tentang pelaku meledaknya swalayan telah ditemukan. Tentu Detektif A kembali menjadi sorotan.
"Dia ... sudah lama aku tidak mendengar nama dia."
"Ya, nama dia menghilang beberapa bulan ini. Mungkin dia memiliki kasus yang tidak boleh dipublikasikan oleh media."
"Atau dia sedang merayap ke mana-mana. Aku sedikit mengenali dia semenjak cukup lama tinggal di rumahnya."
Mendengar itu, Gress terdiam sesaat, lantas tiba-tiba tertawa. "Aciel, Detektif A, lalu Acil. Antara ke tiga itu mana yang akan kamu pilih?"
"Kenapa mendadak aku harus memilih mereka bertiga?"
"Mereka bertiga laki-laki bagai pehlawanmu, Loila. Aciel yang menampungmu sejak kecil. Detektif A yang membiarkan tinggal dan aman dari jangkauan keluarga angkatmu. Dan Acil yang perhatian plus rela tidur di depan pintu kamarmu. Aku rasa kamu nyaman dengan mereka bertiga."
"Iya, sih."
"Hah? Jangan rakus, Loila! Nanti mereka rebutan lubang."
Tercengang Loila akan penuturan kotor Gress. Sementara Gress tertawa terbahak-bahak. Bantal berterbangan bentuk kekesal Loila. Semu merah memanas di pipi, tentu ia tahu apa yang di maksud oleh Gress. Mamalukan.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Malam
Teen FictionBermula dari pertemuan ketika kecil berinteraksi manis, tumbuh dewasa saling tidak mengenal. Dalam gelap Aciel meraba mencari lentera untuk menerangi hidupnya, namun Loila sebagai lentera itu memadamkan apinya. Bagaimana kisah mereka? Yuk, langsun...