"Udah berapa lama pacaran sama Mas Adam?" tanya Jenia mengubah topik pembicaraan.

"Mungkin sekitar tiga tahun," jawab Viola mengulum senyum.

"Kalian cocok."

"Thanks," sahut Viola.

***

Sekitar jam sepuluh malam, Alula dan Aruna sudah pada tidur. Saat ini Jenia sedang duduk di sofa sendirian. Satu jam yang lalu Gama pergi meninggalkannya dan ia tidak sempat bertanya kemana laki-laki itu akan pergi.

Jenia merebahkan tubuhnya di sofa panjang. Hari ini berjalan begitu lambat. Dimulai dari pagi hari yang menghebohkan, sampai akhirnya ia berakhir tidur di sofa rumah sakit untuk menunggui anaknya yang sakit.  Saat tiba-tiba Jenia mengingat sesuatu, ia bangun dari posisi tidurnya. Ia membuka tas yang tadi dibawakan oleh Kamil. Tidak ditemukannya baju seragam Aruna untuk sekolah besok.

Jenia mengusap wajahnya kasar. "Kenapa aku lupa nyuruh Kamil bawain seragam sama tas sekolah Aruna."

"Kenapa?"

"Astaga!" seru Jenia berjingkat kaget. Matanya menangkap sosok Gama yang berjalan mendekatinya. "Aku nggak dengar suara pintu kebuka. Kapan Mas Gama datang?"

"Barusan." Gama meletakkan tas ranselnya di lantai dan bungkusan kresek di atas meja. "Makan dulu. Aku beli nasi goreng buat kamu. Sudah ada sendoknya juga,"  lanjutnya sambil mendorong bungkusan kresek ke hadapan Jenia.

"Makan di jam sepuluh?" tanya Jenia ragu.

"Tadi siang kamu cuma makan dikit. Sore juga cuma makan setengah roti. Aku nggak mau kamu sakit," ucap Gama menatap Jenia. "Dan tadi kamu sempat minum kopi sama laki-laki itu."

"Aku nggak minum kopi. Aku cuma nemenin aja." Sebenarnya Jenia tidak perlu memberitahu hal ini pada Gama. Mengingat apapun yang ia lakukan, tidak perlu dilaporkan pada laki-laki yang saat ini duduk di sampingnya. "Walaupun aku nggak minum kopi atau makanku cuma sedikit, aku nggak mau makan jam segini."

"Kamu harus tetap kuat biar bisa jagain Alula," sahut Gama. Melihat Jenia yang masih diam saja, akhirnya ia membantu membukakan bungkusan kresek itu. "Aku beli dua. Jadi, kamu nggak makan sendirian," lanjutnya.

Jenia menghela napas lelah. Daripada meneruskan perdebatan yang ia yakin akan tetap kalah, akhirnya ia memilih pasrah. "Makasih."

Gama mengangguk singkat. Kemudian mereka sama-sama terdiam dan fokus menghabiskan makanan.

"Mas," panggil Jenia setelah mengunyah habis nasi goreng di dalam mulutnya.

"Apa?" sahut Gama dengan nada suara lembut.

"Tas yang dibawa Kamil, nggak ada baju seragamnya Aruna. Aku lupa bilang Kamil buat bawain baju seragam sama tas sekolah Ar."

"Besok pagi-pagi banget aku ke rumahmu buat ambil baju seragam sama buku sekolah Ar."

"Ajak Ar aja sekalian. Jadi dari rumah langsung berangkat ke sekolah."

Gama diam, nampak berpikir dulu. "Besok pagi biarin dia mandi di sini. Jadi, sampai di rumah dia udah tinggal ganti baju seragam sama nyiapin tas sekolah."

Jenia mengangguk setuju.

"Besok Mama sama Papaku mau datang buat jenguk. Boleh, kan?"

"Boleh."

"Mereka belum pernah ketemu langsung sama Alula."

Jenia diam sebentar, untuk mengingat. Apa yang diucapkan Gama memang benar. Hanya Aruna yang sudah bertemu dengan orang tua Gama. Setelah pertemuan Aruna dengan orang tua Gama, kemudian terjadilah pertemuan Jenia dengan Mama. Beberapa kali Mama memang melakukan panggilan video dengannya, tapi Alula tidak terlalu sering muncul.

"Sekarang Mama lagi ikut Papa kerja ke luar kota. Makanya belum sempat ngajak si kembar ke rumah."

"Aku baru ingat kalo cuma Aruna yang udah ketemu sama Mama."

"Mama?" Gama kaget mendengar panggilan Jenia tidak berubah. "Kamu masih manggil dengan sebutan Mama?" tanyanya dengan wajah penuh harap.

Jenia mengangguk. "Mama yang nyuruh aku," jawabnya sebelum melakukan suapan terakhir ke dalam mulutnya.

Gama diam. Selesai makan, ia memasukkan sampah ke dalam kresek. Begitu juga milik Jenia. "Jen," panggilnya sambil mengikat kresek yang berisi sampah.

"Apa?" tanya Jenia menatap Gama. Melihat Gama yang belum merespon, ia mengambil satu botol air mineral dan membuka tutupnya.

"Jangan terlalu dekat sama laki-laki tadi."

"Hah?" Jenia menatap Gama dengan wajah bingung. "Maksudnya Mas Abi?" tanyanya memastikan.

Gama mengangguk.

"Kenapa?"

"Aku nggak mau si kembar punya Papi lain selain aku."

Jenia tertawa kecil. "Mas Gama tetap Papinya si kembar."

"Aku juga nggak mau ada laki-laki lain yang dekat sama kamu."

"Mas...."

Gama meraih tangan Jenia yang tidak memegang botol air mineral. "Kasih aku kesempatan Jen. Aku akan buktiin kalo aku layak untuk dikasih kesempatan kedua. Aku mau coba dari awal lagi sama kamu."

Jenia tidak menjawab. Ia hanya menatap Gama dengan tatapan yang sulit diartikan. Seperti terhipnotis dengan tatapan Gama, ia sampai tidak bergerak sedikitpun.

***

Sorry for typo and thankyou for reading❤

Author Note:
Maaf ya dari Senin kemarin nggak update. Soalnya lagi pusing disuruh bantuin ponakan gambar peta. Padahal udah aku bikinin, sama dia diwarnainnya ngasal. Alhasil nggak diterima sama gurunya dan disuruh gambar lagi. Tentu saja bukan ponakanku yang gambar, tapi aku😭😭

Btw, besok kalian jangan golput ya. Gunain hak suara kalian dengan baik. Perbedaan pilihan itu wajar. Pilih yang menurut kalian paling mendingan.

Not Finished Yet [Completed]Where stories live. Discover now