CHAPTER 19

8.7K 825 36
                                    

Rayyan kembali ke kamar dengan perasaan yang tak bisa ia gambarkan, ia ingin sekali melepaskan beban di pikirannya, tapi tak ada yang bisa mendengar ceritanya.

Keluarga? Jangankan menceritakan hal itu, membayangkan respont mereka saja ia enggan, apa kata mereka tadi? Ingin dirinya berbagi cerita?, mengingat kebiasaan orang tuanya pada Zayyan saja ia sudah bisa menebaknya.

Ingin sekali Rayyan menangis, tapi ia malu karena terlalu sering membuang air matanya cuma-cuma, ia pikir hanya mengikuti arus akan membuat hidupnya gampang saat berada di sini, ternyata tidak, masalahnya tidak sesederhana itu sampai bisa membuat dirinya bisa tertidur dengan tenang.

Bahkan sekarang ia harus memikirkan cara agar si Jefri mendapatkan ganjaran akibat perbuatannya, tapi Rayyan juga tidak ingin semua orang mengetahui bahwa ia adalah seorang korban di sini, semakin di pikirkan semakin membuat ia tidak bisa berpikir.

"Bagaimana caranya?" Gumam Rayyan sembari menggigit kuku-kuku di jarinya.

Apa lagi Rayyan selama di sini tidak berusaha untuk mencari seorang teman, ia hanya terfokus pada tujuan awalnya, yaitu memperbaiki hubungan Rayyan dan Zayyan, namun sekarang hal itu telah melenceng jauh dari rencananya, padahal ia melakukan hal itu agar dirinya dapat segera kembali ke dunianya.

Rayyan ingin sekali pergi keluar mencari udara segar, tapi sekarang tubuh yang ia tempati semakin bermasalah, yang membuatnya tidak leluasa untuk bergerak ke sana ke mari.

"Dasar tubuh penyakitan. Mati aja deh sekalian, nggak nyusahin kan jadinya" Kesalnya, tapi ia tidak sepenuh hati mengatakannya, Rayyan hanya kesal karena kebebasannya sekarang semakin sulit ia dapatkan, tidak seperti kehidupan dirinya di dunianya yang asli.

"Ah maaf Ray, khilaf, aku lagi nggak mood soalnya." Sanggahnya sembari tersenyum kikuk, walau pun tidak ada Rayyan asli, tentu saja ia masih merasa bersalah, apa lagi tubuh ini sekarang ia yang telah menempati.

Tidak ada yang bisa ia lakukan selain merebahkan tubuhnya di kasur kingsize di kamarnya, yang tentunya berbau sangat khas, yaitu bau obat-obatan.

Andaikan tubuh ini tidak berpenyakit, pasti sudah Rayyan rubah semua tata letak perabotan di kamarnya, masalahnya semua alat medis ini sangat di perlukan untuk keberlangsungan hidupnya.

Dan selang beberapa menit kemudian, Rayyan baru ingat, bahwa ia belum meminum obat yang telah tersimpan apik di kotak di atas nakas.

Lantas ia ambil beberapa obat lalu meminumnya satu-persatu, 'Pahit!' Batinnya, padahal ia sudah sering meminumnya, namun tetap saja ia masih belum terbiasa, entah sampai kapan ia akan merasakan benda pahit itu masuk ke dalam rongga mulutnya.

Setelah meminum obatnya, Rayyan memutuskan untuk melanjutkan menutup mata di ranjang empuknya, dan tentunya dengan rasa pahit yang masih tertahan di lidah miliknya.

.
.
.
.

Hari-hari berlalu begitu saja, dan tentunya di jalankan oleh Rayyan dengan sepenuh hati, pasalnya tiap ia ingin membalaskan dendam, ada saja kondisi tubuhnya yang tidak mendukung, entah itu sesak nafas, mimisan, bahkan mendadak pingsan karena rasa sakit di kepalanya.

Ingin menceritakan pada sang kakak atas apa yang terjadi dan meminta bantuan, namun ia masih belum siap atas konsekuensi yang harus ia tanggung sesudahnya.

Tetapi ada satu hal yang pasti, di antara orang-orang yang berada di sekitarnya, hanya lah sang kakak yang bersikap lebih baik sebelumnya, bahkan Zayyan sering berada di dekatnya dan menanyakan keadaannya.

Dan satu hari yang lalu, kedua orang tua Rayyan memaksanya untuk home schooling, sama seperti ajakan sang kakak, yang tentunya sudah jelas di tolak oleh Rayyan, ia tidak akan berhenti sekolah bahkan di saat terakhirnya ia hidup di dunia novel ini.

"Ray, sudah jam istirahat, sudah waktunya untuk makan siang!" Tegur Zayyan yang sedari tadi memperhatikan sang adik tengah termenung.

"A ah, iya...." Rayyan membuyarkan lamunannya, lantas mereka berdua melangkah menuju kantin.

Semenjak Rayyan di rawat di rumah sakit waktu itu, Zayyan jadi lebih sering berada di dekat sang adik, bahkan ajakan dari teman-temannya sudah beberapa kali Zayyan tolak hanya demi di samping adiknya.

Rayyan sebenarnya tidak tega, itu kan berarti ia seakan memisahkan pertemanan sang kakak dari teman-temannya, ya walau pun sebenarnya itu murni pilihan dari Zayyan, tidak mungkin kan Rayyan memaksakan hal yang bahkan tidak bisa Rayyan miliki.

Sesampainya di kantin, Rayyan hanya menunggu di meja yang kosong, dan tentunya atas perintah Zayyan, sedangkan sang kakak mengantri untuk memesan makanan mereka berdua.

"Hah...." Rayyan menghela nafasnya beberapa kali, entah sudah keberapa kali ia mengeluhkan hidupnya yang semenyedihkan ini.

Ia memandang keluar cendela kantin, tepat di samping tempat duduknya di mana ada beberapa anak yang tengah bermain basket, Rayyan ingin sekali bisa bermain olahraga kesukaanya, rasanya sudah lama sekali ia tidak bermain.

Zayyan tiba di tempat duduk Rayyan sembari membawa dua piring nasi goreng dan dua botol air mineral, tentunya makanan itu sudah di sesuaikan dengan kondisi tubuh Rayyan.

"Lagi lihat apa?" Tanya Zayyan penasaran, sembari mengikuti iris mata sang adik memandang.

"Kapannya aku bisa bermain basket?" Tanya Rayyan spontan.

"Tentu saja jika kamu sudah sembuh!" Jawab Zayyan tanpa ragu.

Rayyan menatap manik sang kakak, lantas tersenyum tipis, tentu saja omongan sang kakak hanya sebuah kebohongan kecil bagi Rayyan, karena ia yang paling mengetahui kondisi rubuhnya lebih dari siapa pun, dan itu tidak akan bertahan lebih lama.

"....ya" jawabnya, lalu mulai menyendokkan nasi goreng yang telah berada di hadapannya, rasanya selalu sama, hambar.

Walau pun Rayyan ingin sekali mengganti menu yang selalu sama di hidangkan di jam makan siangnya, tetapi ia tak punya pilihan, sebisa mungkin ia harus menjaga tubuhnya, walau sebenarnya kondisi di dalam sudah hancur, begitu banyak rasa sakit yang Rayyan rasakan, dan itu sudah pasti ia simpan, tidak ada yang boleh mengetahuinya, biar lah semua hanya melihat sosok tangguh Rayyan, tapi tidak dengan sisi rapuhnya.

"....kak?!" Panggil Rayyan.

"Ada apa hem?" Jawab Zayyan sembari tersenyum lembut di hadapan sang adik.

"Tidak ada" geleng Rayyan, lalu melanjutkan suapannya yang tertunda.

Zayyan hanya ber 'oh' saja, namun tidak dengan pikirannya yang menebak alasan adiknya tidak jadi berbicara, padahal ia sudah berusaha lebih agar mendapat kepercayaan dari sang adik, mungkin Rayyan masih belum percaya padanya, itu yang ada di pikiran Zayyan.

Dan perihal misi yang ia lakukan, Zayyan masih belum menemukan titik terang, padahal ia sudah berulang kali mencari, namun nihil, Zayyan merasa seperti ada seseorang yang berusaha menutupi, perasaan curiga selalu mengarah ke sang adik, tapi perasaan itu selalu ia tepis, tidak mungkin adiknya akan berusaha menyembunyikan pelaku di balik rasa traumanya.





Maaf beberapa hari ini nggk pernah update, lagi sibuk di real life soalnya..... (゚з゚)

Vote and coment juseyo......

the twins sick figure (END) Where stories live. Discover now