CHAPTER 16

9K 937 33
                                    

Rayyan memandang keluar jendela ruang rawatnya, rasanya sepi saat tidak ada seorang pun yang menemaninya, beberapa waktu yang lalu sang bunda pamit untuk pulang terlebih dahulu, sedangkan yang lainnya telah memulai aktivitasnya masing-masing, apa lagi sekarang masih jam delapan pagi.

Raganya terasa hampa, sudah beberapa hari semenjak ia memimpikan hal yang sangat mengerikan itu, jika ia bisa memilih, mungkin Rayyan memilih tidak hidup di dunia ini, bahkan bayangan perlakuan Jefri masih terekam jelas di dalam pikirannya, kejadian itu terasa berada tepat di hadapannya.

Jantungnya tiba-tiba berdegub keras, rasanya sakit, Rayyan tidak sanggup, berulang kali ia memukul area dadanya guna mengilangkan perasaan itu, Rayyan jadi merasa takut, padahal sekarang tidak ada seorang pun di dalam ruang inapnya.

Ia meringkuk, tubuhnya ia sembunyikan di dalam selimut, perasaan was-was datang secara tiba-tiba, ia tidak bisa jika harus selalu seperti ini, Rayyan ingin menghilang, sungguh ia tidak bohong.

Netra Rayyan mengeluarkan air mata di tempat persebunyiannya, kenapa sekarang ia bisa selemah ini, padahal sebelumnya ia adalah sosok remaja yang sangat tangguh.

Suara isakan kecil keluar dari bibirnya, dalam benaknya ia selalu bertanya-tanya, kenapa ia harus mengalami hal yang seperti ini,mungkin juga bisa merusak mentalnya.

Tubuh Rayyan menegang, ia menghentikan tangisannya saat merasakan sebuah tangan hinggap di pucuk kepalanya yang tertutup selimut, tubuhnya kaku tidak bisa merespont, apa lagi ia tidak mendengar suara yang memanggil namanya, pikirannya mendadak kosong.

.
.
.
.

Pintu ruangan Rayyan terbuka, terlihat Dian yang datang sembari membawa kotak bubur untuk sang anak.

Dahi Dian mengernyit saat melihat gundukan selimut di ranjang sang anak, apa lagi terdengar isakan pelan dari dalam sana.

Dian melangkahkan kakinya menuju ranjang Rayyan, perlahan ia mengusap pelan kepala sang anak di balik selimut.

"Ray?" Panggil Dian lembut.

"Kamu kenapa hem?" Tanya Dian, apa lagi melihat respont sang anak yang terdiam saat namanya ia panggil.

Raut cemas tidak bisa ia sembunyikan di balik wajah cantiknya, perlahan ia menyibakkan selimut yang menutupi tubuh sang anak.

"Ray kamu kenapa? Ada yang sakit?" Tanya Dian, berulang kali ia menanyakan hal yang serupa, namun hanya keterdiaman yang ia dapatkan, apa lagi tidak ada pergerakan dari sang anak setelah ia menyibakkan selimut Rayyan.

"Ray kamu kenapa?, jawab bunda nak!" Pekiknya, ia beberapa kali menepuk pelan pipi Rayyan, respont sang anak dan tatapan kosong yang ia lihat dari sorot mata sang anak membuatnya sakit.

"RAYYAN?!" Panggilnya lantang, rasa frustasi hinggap saat sang anak tidak mendengar panggilan darinya.

Dian merubah posisi sang anak agar menghadap dirinya, masih tidak ada respont dari anaknya, ia memeluk erat tubuh Rayyan sembari memanggil nama sang anak berharap mendapat respont yang ia mau.

Bahkan dalam dekapannya, sang anak masih terdiam, tubuhnya melemas tidak ada pergerakan, itu membuat Dian semakin cemas.

Dengan berlinang air mata Dian memencet tombol nurse call di atas ranjang sang anak, berharap dokter segera datang, apa yang terjadi dengan anaknya, bahkan ia tidak lama meninggalkan sang anak, namun saat dirinya tiba, ia sudah di sambut dengan keadaan sang anak yang mampu membuat hatinya sakit sebagai seorang ibu.

Dokter Fahri yang tengah berada di dalam ruangan mendadak menerima panggilan dari perawat mengabarkan bahwa pasien yang ia tangani membutuhkan sebuah pertolongan, setelah mendengar hal itu, ia segera menuju keruangan Rayyan di ikuti oleh beberapa perawat.

Sesampainya di sana, ia segera menyuntikkan obat penenang agar Rayyan bisa tertidur, lalu memeriksa tubuh Rayyan, apa lagi Rayyan yang sering mendapatkan suntikkan obat penenang, itu bisa mempengaruhi kondisi tubuhnya.

"Apa yang terjadi?" Tanya Dian, cemas.

"Apakah anak anda mempunyai trauma?" Tanya Fahri penuh selidik, pasalnya tidak hanya hari ini kondisi Rayyan seperti ini, kejadian yang serupa sudah sering terjadi.

Dian menggeleng, seingatnya sang anak tidak mempunyai trauma apa pun, itu yang menyebabkan dirinya bingung harus menjawab apa saat di tanya hal seperti itu oleh dokter Fahri.

"Bagaimana bisa Anda tidak mengetahuinya? Anak ibu mengalami trauma, bukan kah saya sudah sering kali mengingatkan anda agar membuat Rayyan mengutarakan pikiran miliknya?" Geram Fahri, karena ia sudah sering kali mengingatkan keluarga Rayyan, tapi entah kenapa trauma pasiennya malah semakin parah.

Dian terdiam, ia melupakan hal itu, padahal sering kali dokter Fahri mengingatkan keluarganya agar selalu membuat Rayyan terbuka pada mereka, namun mereka seakan lupa apa yang harus mereka lakukan pada Rayyan, apa lagi beberapa minggu belakangan ini sikap sang anak semakin berubah tidak seperti sebelumnya.

"Maaf dok!" Sesal Dian, ia merutuki dirinya, bagaimana bisa ia melupakan hal yang sama.

"Kalau begitu saya pamit undur diri! Ingat bu, pasien yang memiliki trauma akan bertambah parah jika tidak segera di tangani!" Peringatnya lalu keluar dari ruang inap Rayyan.

Air muka Dian berubah menjadi sedih, ia memandang wajah sang anak yang terlelap dengan sendu, dalam hatinya ia sering kali bertanya, kenapa sang anak tidak bisa menceritakan hal yang mengganggu pikirannya, Dian berharap anaknya mau lebih terbuka kepada keluarganya.

Terkadang Dian merasa anaknya menyembunyikan sesuatu darinya, tapi ia tidak berani bertanya, dan hanya mampu menunggu Rayyan menceritakan dengan sendirinya pada Dian.

"Sebenarnya apa yang mencoba kamu tutupi dari kita Ray?!" Tanya Dian pelan, tangannya memegang tangan sang anak yang terbebas dari infus, padahal mereka keluarga tapi entah kenapa selalu ada celah dalam hubungan mereka.

.
.
.
.

Dahi Rayyan mengernyit dalam tidurnya, bahkan dalam keadaan tidak sadar, anak itu terlihat seperti ketakutan.

Dian mengusap pucuk kepala sang anak pelan, dan terbukti, setelah beberapa saat ia melakukan hal itu, tidur Rayyan kembali tenang.

Sudah pukul 2 siang, tetapi anaknya itu belum kunjung membuka netranya, sudah ia pastikan pasti anak dan suaminya akan segera tiba di sini.

Dan benar saja, pintu ruangan Rayyan terbuka, memperlihatkan sang suami yang datang dengan setelan jas yang masih ia kenakan.

"Bagaimana keadaan Rayyan?" Tanya Aryan sesaat setelah memasuki ruangan.

Dian menggeleng, "..... aku tidak tahu mas!" Jawabnya lirih.

"Semakin ke sini, aku semakin tidak mengerti ke mana arah pikiran Rayyan mas, ia memiliki trauma, tetapi aku yang sebagai ibu yang melahirkannya seperti orang bodoh tidak mengetahuinya." Lirih Dian di pelukan sang suami.

"Aku merasa menjadi ibu yang gagal mas...." sesalnya.

Aryan terdiam, ia tidak mampu untuk menenangkan sang istri, yang ia lakukan hanya mengusap punggung ringkih istrinya agar lebih tenang.

Zayyan yang menyaksikan dari balik pintu pun ikut terdiam mendengar penuturan sang bunda, padahal ia selalu berada di dekat sang adik, namun tidak ada bedanya ia dan orang tuanya yang tidak mengetahui apa pun tentang adik kembarnya, rasanya ia juga gagal sebagai saudara.

Zayyan terdiam di balik pintu, ia tidak berani memasuki ruang inap Rayyan, rasanya dirinya malu jika harus bertatapan dengan wajah sang adik, apa lagi dalam pikirannya, ialah penyabab adiknya menjadi seperti itu.



Vote and coment juseyo.....

the twins sick figure (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang