Jenia mengerjapkan matanya. Ia tidak bisa menutupi wajah kagetnya. "Mantan istri?"

Abimana menatap Jenia untuk beberapa saat. "Kamil nggak bilang kalo aku duda?"

Jenia mencoba mengingat-ingat, tapi sepertinya ia belum pernah mendengar soal ini dari Kamil.

"Kebetulan aku duda yang ditinggal meninggal istri," beritahu Abimana.

"Maaf, aku nggak tau."

Abimana menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "Nggak papa. Aku juga lupa bilang soal statusku dipertemuan pertama kita."

"Kalo boleh tau, kapan istrinya Mas Abi meninggal?"

"Empat tahun yang lalu."

"Karena apa, Mas?"

"Sakit kanker payudara."

Jenia termangu mendengar jawaban Abimana.

"Sebelum menikah, aku sudah tau kalo dia sakit kanker. Waktu itu masih stadium awal, jadi aku pikir masih bisa disembuhkan. Pengobatan sekarang sudah semakin canggih, harapan untuk hidup juga lebih tinggi," ucap Abimana mulai bercerita. "Setelah melewati serangkaian pengobatan, dokter bilang kalo dia udah sembuh. Sampai akhirnya satu tahun sebelum meninggal, kami baru tau kalo kankernya muncul lagi dan bahkan udah menyebar ke tempat lain. Kami berusaha lagi untuk berobat, sampai akhirnya dia nggak kuat dan meninggal," lanjutnya.

"Kenapa Mas Abi masih tetap memilih melanjutkan pernikahan walaupun udah tau istrinya sakit kanker?" tanya Jenia dengan suara pelan.

Abimana diam agak lama, sebelum akhirnya tersenyum kecil. "Karena udah cinta. Aku pikir bisa berjuang sama-sama untuk ngelawan kanker dan hidup bahagia bersama dia. Ternyata bahagianya cuma sebentar, yang menang tetap si kanker."

"Mas Abi hebat mau nerima itu semua," ucap Jenia penuh kekaguman.

"Emang kamu akan mundur setelah tau calon suamimu menderita kanker?"

Kali ini Jenia yang diam agak lama setelah ditodong pertanyaan seperti itu. "Sejujurnya aku nggak tau, Mas. Aku nggak pernah ada di posisi itu, jadi aku nggak bisa kasih jawaban."

Abimana mengangguk paham. "Butuh waktu untuk bisa membuka diri dan dekat lagi sama perempuan. Sampai akhirnya Kamil bilang mau ngenalin Kakaknya ke aku. Akhirnya, aku pikir nggak ada salahnya ketemu dan kenal dengan orang baru."

"Aku juga berpikir hal yang sama," sahut Jenia cepat. "Nggak ada salahnya ketemu dengan orang baru. Menurutku, setiap pertemuan yang terjadi nggak melulu harus berakhir menjadi pasangan."

Percakapan mereka harus terhenti lantaran pelayan datang untuk mengantarkan pesanan mereka. Satu persatu hidangan ditata di atas meja. Begitu pelayan sudah selesai menyelesaikan tugasnya, pelayan berjalan meninggalkan meja mereka.

"Kalo habis makan aku ajak kamu jalan, kamu mau?"

Jenia tidak langsung menjawab. Ia mengamati wajah Abimana untuk beberapa saat, sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya.

Abimana langsung tersenyum senang.

***

"Aku ngajak anak-anak jalan, ya," ucap Gama sambil mengambil alih dua tas dari tangan Kamil.

"Si Al agak cranky. Sebelum Mbak Jenia berangkat, dia udah coba ditenangin. Harusnya aman kalo Mas Gama ngajak mereka jalan-jalan."

Gama mengangguk mengerti. "Jenia mana?" tanyanya sambil matanya melirik kenan dan ke kiri, mencari keberadaan Jenia.

"Udah pergi dari tadi."

Gama mendesah kecewa saat tahu Jenia tidak ada di rumah. Padahal ia berencana mengajak Jenia untuk ikut bersamanya. "Gimana kalo kamu ikut aku sama si kembar jalan-jalan?" tanyanya menawari Kamil.

Not Finished Yet [Completed]Where stories live. Discover now