Dua Puluh Empat

188 15 0
                                    

Entah sudah berapa lama Arsen menunggu Lea di depan ruang operasi. Apa yang akan terjadi pada Lea? Pada anaknya? Apa mereka akan baik-baik saja? Bagaimana kalau... bagaimana... tidak, tidak. Semuanya pasti baik-baik saja. Lea dan anaknya past baik-baik saja.

Lamunannya terhenti ketika dia melihat pintu operasi terbuka. Arsen segera berdiri dan menghampiri Dokter Henry, dokter kandungan Lea. "Dokter bagaimana...," Arsen menggeleng, "tidak. Jangan pernah berikan saya tatapan seperti itu, dokter! Katakan kalau anak dan istri saya baik-baik saja!" teriak Arsen.

Dokter Henry menatap Arsen dengan tatapan menyesal. "Maaf, tapi kami tidak bisa menyelamatkan bayinya. Ini... " Dokter Henry menyerahkan bayi yang ada dalam gendongan suster kepada Arsen, "dia laki-laki. Dia sangat tampan. Tidak ada yang kurang," lanjut Dokter Henry.

Arsen menerima bayi itu dengan tangan gemetar. Tidak ada tangisan di sana yang seharusnya dimiliki oleh bayi yang baru lahir. Yang terlihat hanyalah tubuh kecil yang dibalut warna biru.

Arsen mengelus wajah bayi itu dengan tangan gemetar. Dia tidak mendengar apa yang dokter bicarakan. Yang bisa dia dengar hanyalah suara tangisan bayi yang hanya berada di kepalanya saja.

***

Sudah dua jam berlalu saat Arsen melihat bayinya dan Lea masih belum siuman. Mama dan kedua orang tua Lea sudah berada di sana sejak satu setengah jam yang lalu. Dia masih bisa mendengar suara tangisan ibu mertuanya dan ayah mertuanya yang berusaha menenangkan istrinya. Sedangkan mama berdiri di belakang Arsen sembari mengelus pundak anaknya lembut.

"Mau ikut Mama keluar sebentar, Sayang?" tanya Mama dan hanya diberikan gelengan kepala oleh Arsen.

"Sayang, semuanya akan baik-baik saja."

Arsen berjengit. Keningnya berkerut dalam. "Nak, jangan salahin diri kamu ya. Ini bukan salah siapa-siapa. Ini sudah takdirnya seperti ini."

Masih tetap tidak ada respons. "Nada—"

"Jangan sebut nama itu, Ma," desis Arsen.

"—sudah mama rawat dia. Mama bawa dia ke tempat rehabili—"

"Udah aku bilang jangan sebut nama itu!" bentak Arsen. Dia sudah berdiri dan menatap mamanya berang. "Ini semua gak bakalan terjadi kalau wanita itu gak dateng ke rum—enggak, bukan. Ini semua gak bakalan terjadi kalau laki-laki brengsek itu gak selingkuh dan punya anak!" tandas Arsen. Napasnya memburu, matanya memerah, dan tubuhnya bergetar. Semua yang berada di ruangan itu tahu kalau Arsen terlalu sering memendam semuanya sendiri.

"Saya beli kopi dulu. Panggil saya kalau Lea siuman,' ucapnya dan meninggalkan ruangan lea dengan bantingan pintu.

Mama melihat ke arah orang tua Lea dan tersenyum lemah. "Maaf," lirihnya.

Bunda menggeleng kemudian menghampiri Mama Arsen kemudian memeluknya. "Saya jaga Lea dan kamu bisa bicara sama Arsen. Kita di sini punya kesedihan yang sama. Lea akan membutuhkan Arsen, dan Arsen yang harus memberitahu semuanya pada Lea," ucap Bunda lirih. Mama mengangguk.

"Saya susul Arsen dulu," ucapnya kemudian mengikuti jejak Arsen keluar dari ruangan itu.

Mama menemukan Arsen sedang duduk di kursi yang berada di taman rumah sakit. Matanya terfokus pada anak-anak pengidap kanker yang sedang bermain di taman itu. Mama mendekati Arsen dan duduk di sebelahnya.

"Maaf karena tadi saya bentak mama. Saya emosi," kata Arsen.

Mama menggeleng kemudian menggenggam tangan Arsen. "Mama mengerti. Sekarang, bisa mama bicara?"

Arsen mengangguk.

"Mama bawa Nada ke tempat rehabilitasi. Dia ngamuk, dia bilang dia gak gila dan itu cuman akal-akalan mama supaya dia bisa pisah dari kamu," Mama menghela napas kemudian mengusap wajah Arsen lembut. "Nada akan baik-baik saja. Dia akan sembuh. Saat dia sembuh, dia akan mengerti kalau kamu kakaknya dan kamu akan selalu berada di samping dia."

"Gimana dengan saya dan Lea, Ma? Lea akan membenci saya. Ini semua gara-gara saya, kan? Seandainya tadi saya bisa bergerak cepat sebelum Nada mencapai Lea. Seandainya tadi saya bisa meyakinkan Lea kalau tidak akan terjadi apa-apa antara saya dan Nada. Seandainya saya tidak mengobrol dengan Nada di rumah. Seandainya—"

"Lalu apa? Apa semua akan berubah saat kamu nyebutin semua pengandaian kamu? Apa anak kamu bakalan balik lagi? Nggak Arsen, semuanya udah terjadi dan gak ada yang bisa kamu ubah." Mama berjongkok di depan Arsen dan menangkupkan tangannya di wajah Arsen.

"Mama tahu kalau sekarang kamu rasanya ingin mati. Mama tahu kamu ngerasa dunia ini gak adil. Tapi Arsen, kamu kepala keluarga. Apa jadinya kalau kamu begini? Gimana cara kamu nguatin Lea kalau kamu bahkan gak bisa nguatin diri kamu sendiri. Mama tahu, beban kamu berat. Tapi untuk kali ini, sekali lagi jadilah anak mama yang nguatin mama pergi, Arsen. Sekali lagi."

***

Arsen kembali ke kamar rawat Lea ketika dia mendapat telpon dari Bunda bahwa Lea telah sadar. Bunda dan Ayah sudah berada di luar dan membiarkan Arsen untuk berdua saja dengan Lea. Ketika Arsen masuk, dia melihat Lea yang tersenyum lembut padanya.

Arsen menghampiri Lea dan duduk di sebelah Lea. "Hai, gimana kabar kamu?" tanya Arsen lirih.

"Aku baik-baik aja, Mas. Bayi kita lahir lebih cepet, ya? Dia pasti kecil banget, ya. Laki-laki, Mas?"

Arsen tersenyum kemudian mengusap kepala Lea lembut. "Dia mirip saya. Dia punya hidung dan bibir saya. Kamu cuman warisin rambutnya aja. Dan matanya...." Arsen menelan ludah, berusaha agar dia bisa mengucapkannya dengan normal, "matanya tertutup. Saya gak tahu dia dapet mata siapa," lanjutnya dengan suara tercekat.

Lea tersenyum. "Dia pasti tampan banget ya, mas. Kayak Mas?"

Arsen tersenyum. "Iya."

"Jadi nama anak kita Raihan apa Reigan, Mas?" tanya Lea.

"Raihan. Raihan Chandra."

Lea tersenyum lebar. "Aku boleh liat sekarang gak, Mas? Aku udah gak sabar liat anak kita." Arsen membantu Lea untuk bangun dari tidurnya.

"Lea."

"Ya?"

"Anak kita...."

"Hmm?"

"Anak kita gak ada Lea. Anak kita gak selamat."

***


The Chronicle of usWhere stories live. Discover now