Dua Belas

167 14 0
                                    

Hubungan kami membaik. Aku sudah tidak lagi mempertanyakan hubungan Arsen dengan Nada. Walaupun aku masih tetap tidak seaktif dulu. Setidaknya, sekarang aku sudah bisa mengobrol biasa dengan Arsen. Dan ngomong-ngomong, Arsen lebih terbuka sekarang. Dia mulai menceritakan pekerjaannya padaku, atau hal-hal kecil seperti apa yang dia lakukan hari ini. Dulu, aku yang melakukan itu, sekarang Arsen yang melakukan itu. Memangnya apa yang bisa kuceritakan ketika aku hanya diam di rumah dan mengurus taman belakangku atau belajar memasak makanan kesukaan Arsen yang lain. Dan satu lagi. Arsen tidak lagi lembur. Dia selalu pulang jam 6. walaupun aku tahu Arsen tetap bekerja ketika aku sudah tidur. Heran, sebenarnya apa yang dia kerjakan?

Seperti sekarang. Aku terbangun tengah malam dan tidak merasakan Arsen berada di sampingku. Aku memutuskan menyusul Arsen ke ruang kerjanya dan aku memang melihat Arsen berada di sana. Sedang menatap serius berkas-berkasnya. Sebenarnya, pekerjaan GM itu apa? Kenapa dia bisa sesibuk itu?

Aku mendekati Arsen dan memeluknya dari samping. "Kebangun?" tanyanya tanpa mengalihkan tatapannya dari berkas-berkas itu.

"Mas lagi ngapain, sih? Sibuk amat. Emang gak bisa dikerjain besok aja?" tanyaku.

"Saya sedang menganalisa strategi perusahaan, sekalian mengevaluasi yang minggu kemarin."

"Emang gak bisa ama bawahan, Mas aja? Kan Mas GM-nya."

"Karena ini tugas saya, Lea."

Aku memberengut dan melepaskan pelukanku. Aku berjalan ke arah sofa dan tiduran di sana. Kapan terakhir kali aku menemani Arsen sambil membaca novel-novelku? Rasanya itu hanya terjadi di awal-awal pernikahan saja.

Aku memandang langit-langit kantor kerja Arsen. Memikirkan keadaan kami sekarang.

"Aku senang Mas akhirnya mau terbuka sama aku," ucapku. "Nyeritain kerjaan Mas, hari-hari Mas. Aku seneng karena akhirnya Mas bisa sedikit-sedikit nganggep kalo aku ini istrinya Mas."

Arsen menghela napas kemudian mendekat ke arahku dan duduk di ujung sofa dengan memindahkan kakiku agar ada di pangkuanya. Aku segera bangun dan mengatur posisiku agar kepalaku yang berada di pangkuannya.

"Kamu memang isteri saya, Lea," ucapnya sembari memainkan rambutku.

Aku menggeleng. "Tidak selama Mas hanya menjadikan aku sebagai pemuas nafsu Mas aja."

Usapan Arsen di kepalaku berhenti. "Saya tidak pernah menganggap kamu seperti itu."

Aku bangun dari tidurku dan menyandarkan punggungku di sandaran sofa. "Mas tidak pernah benar-benar bicara denganku," aku menatap Arsen kemudian tersenyum, "Tapi sekarang tidak lagi. Mas sudah mulai membuka diri Mas buat aku. Jadi," aku mendekatkan diriku pada Arsen dan memeluk leher Arsen. "Sudah berapa lama, Mas?"

Arsen menatapku sendu kemudian mengelus pipiku lembut. "Maaf. Maaf karena kamu merasa seperti itu, Lea. Tapi saya tidak pernah menganggap kamu seperti itu."

Aku ingin tertawa ketika melihat Arsen benar-benar merasa bersalah. Kapan lagi aku membuatnya seperti ini. Lagipula, aku harus mengakhiri permainan ini. Kami sudah terlalu dewasa untuk marahan terlalu lama.

"Jadi, apa yang Mas akan lakukan sekarang?"

"Tidur?"

"Hanya tidur?" Aku menatap Arsen dengan pandangan jail.

"Saya tidak ingin kamu berpikir kalau saya cuman nganggep kamu sebagai pemuas nafsu, Lea," ucapnya frustasi.

Sekarang aku benar-benar tidak bisa menahan tawaku. "Ok," tandasku. Kemudian aku mencium Arsen lembut. Tepat ketika dia akan membalas ciumanku, aku melepaskannya. Arsen terlihat frustasi dan aku tertawa lagi.

Aku melepaskan pelukanku dan berdiri. "Mas kerja aja lagi. Aku mau tidur," ucapku. Aku tahu Arsen mengerang frustasi. Tepat ketika aku berada di ambang pintu aku berbalik dan menatap Arsen. "Ato Mas mau ikut tidur?"

Dia tertawa kemudian mengikutiku.

Untuk sekarang, aku ingin melupakan hubungan Arsen dan Nada.

***


The Chronicle of usWhere stories live. Discover now