Sebelas

174 15 0
                                    


Aku menatap televisi di depanku. Tidak ada yang aku kerjakan selama dua hari ini selain menyiapkan sarapan, makan malam, dan air hangat untuk Arsen. Selama dua hari ini pula aku mogok bicara.

Aku tahu aku kekanakan. Arsen telah menjelaskan semuanya, dan harusnya aku mengerti kalau Nada memang membutuhkan Arsen, dia lebih membutuhkan Arsen daripada aku. Tetapi, entah kenapa aku tahu kalau tatapan hangat Arsen pada Nada bukanlah pura-pura, aku tahu ada sesuatu diantara mereka yang tidak Arsen ceritakan padaku. Belum lagi dugaanku terhadap hubungan Arsen dan Nada. Tidak ada kejelasan dan aku juga tidak mendapatkan pencerahan apapun. Lagipula kenapa aku seperti ini, sih? Harusnya aku percaya saja pada apa yang Arsen ucapkan dan bukanya berpikir yang tidak-tidak.

Aku mendengar suara mobil Arsen mendekati rumah. Sekarang masih jam 6 sore, Arsen memang tidak lembur lagi sekarang. Mungkin Arsen memang benar-benar memperbaiki kesalahannya? Entahlah.

Aku merasakan Arsen duduk di sebelahku kemudian merangkulku hangat. Dia mencium puncak kepalaku lembut. Hal yang sudah menjadi kebiasaannya dua hari ini.

"I miss you, Lea. I miss you," bisiknya. "Apa yang harus saya lakukan supaya kamu memaafkan saya?"

Aku memejamkan mataku. "The truth. I need the truth, Mas," jawabku lirih.

Arsen menghela napas gusar. "Saya sudah menceritakan semuanya pada kamu, Lea. Apalagi yang harus saya ceritakan?"

Aku melepaskan rangkulan Arsen dan menatapnya tajam. "tatapan yang Mas kasih ke Nada bukan pura-pura. Aku tahu tatapan itu, Mas. Tatapan yang sama yang sselalu Ayah berikan pada Bunda," ucapku sengit. "Aku siapin makan malam dan air hangat dulu buat kamu, Mas." Aku berdiri dari dudukku dan hendak meninggalkan Arsen ketika aku merasakan Arsen menarikku agar berbalik dan menghadapnya.

"Saya gak butuh air hangat atau makan malam, Lea. Saya butuh bicara," ucapnya kesal.

Aku menatapnya sinis. "Then, talk."

"Kamu bilang kamu mau ngertiin saya dengan tidak mencampuri urusan saya. Lalu kenapa sekarang kamu menuntut saya untuk menceritakan sesuatu yang tidak ingin saya ceritakan?"

Aku menatap Arsen tidak percaya, menggeleng pelan. Aku tidak pernah mengerti dengan jalan pikirannya. "Kalau begitu beri aku waktu untuk mengerti kamu, Mas," tandasku. Kali ini Arsen tidak menahan kepergianku. Mungkin, dia mengerti kalau kami sama-sama butuh waktu.

***

Aku mengenal Arsen dua tahun yang lalu. Waktu itu, aku terjebak hujan dan memutuskan untuk berteduh di kedai mie ayam dan membeli satu porsi untuk sekalian menghangatkan tubuhku. Kedai sangat penuh sekali waktu itu dan tidak ada tempat kosong selain tempat yang diduduki Arsen. Karena aku tidak punya pilihan lain, aku memutuskan untuk duduk dengan Arsen. Dari semenjak pertama aku melihatnya, aku tahu Arsen bukan orang yang banyak bicara. Karena itu aku berinisiatif untuk mengajaknya mengobrol.

Dia pasif. Yang dia lakukan hanya tersenyum atau menanggapi seadanya, tapi entah kenapa aku merasa Arsen tidak terganggu olehku.

Pertemuan itu berlanjut pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, sampai akhirnya, setahun yang lalu, Arsen memintaku untuk memulai sesuatu yang serius denganya, dan tujuh bulan setelah itu, dia melamarku.

Tidak banyak yang aku tahu tentang Arsen. Hanya segelintir masa lalu tentang papanya yang pergi meninggalkan mama dan Arsen, yang baru-baru ini ternyata Arsen lah yang mengusir papanya. Aku juga tidak benar-benar tahu apa yang dikerjakan selain dia bekerja untuk perusahaan textile. Arsen tertutup, dia tidak pernah benar-benar membicarakan tentang dirinya selama itu tidak ada hubungannya.

Tapi aku isterinya. Bagaimanapun juga, Arsen harusnya tahu bahwa apa yang menjadi urusan Arsen adalah urusanku juga. Menikah bukan hanya menyatukan tubuh, kan? Tapi hati dan juga kehidupan. Apa Arsen tidak mengerti itu?

Sekarang, aku tidak yakin lagi bahwa keputusanku menerima lamaran Arsen waktu itu tepat. Aku merasa, aku bukanlah wanita yang diinginkan Arsen. Entah kenapa, aku merasa Arsen hanya menjadikanku tempat pelariannya saja.

Tapi aku tidak bisa menyerah, kan? Aku sudah berjanji pada mama kalau aku tidak akan meninggalkan Arsen, dan aku juga berjanji aku hanya akan pergi ketika Arsen memintaku pergi.

Tapi sampai kapan? Sampai kapan aku akan bertahan dengan Arsen yang tidak percaya padaku sepenuhnya?

Tiba-tiba saja aku merasakan seseorang memelukku dari belakang. Udara malam yang menusuk tiba-tiba saja hilang ketika Arsen memelukku. Aku tahu Arsen sudah selesai mandi ketika dia menyusulku ke balkon.

Aku memejamkan mataku dan merasakan kehangatan tubuh Arsen. Aku tahu aku memang tidak bisa melepaskan Arsen. Aku sudah terlalu mencintainya.

Arsen mencium puncak kepalaku lembut kemudian beralih mencium leherku dan menghirupnya.

"I love you, Lea. Now and forever."

I do Arsen, i do.

***

The Chronicle of usWhere stories live. Discover now