Dua Puluh Tiga

190 9 0
                                    

Untuk ukuran ibu hamil, kadang Arsen merasa khawatir pada Lea. Pasalnya, Lea ini tidak seperti kebanyakan wanita hamil yang diceritakan teman-teman sekantornya; ngidam ini-itu, banyak maunya, atau tingkat menyebalkan dan manjanya berkali-kali lipat. Well, itu memang terjadi di trimester pertama, tapi setelah trimester kedua Lea benar-benar menjadi ibu hamil penurut dan baik hati. Lea termasuk ibu hamil yang tenang dan penurut. Mungkin tingkat kemanjaanya saja yang bertambah. Bukan hanya itu, di usia kehamilannya yang sudah menginjak 28 minggu, Lea lebih sering terlihat lemah. Dokter bilang, itu pengaruh dari asma yang diderita Lea.

Seperti sekarang. Lea sedang duduk di ruang tv sambil mengelus-ngelus perut buncitnya. Terlihat sangat kelelahan.

"Diminum dulu madunya ya, Yang. Kamu kok makin hari makin lemah, si?" ucap Arsen khawatir.

Lea menerima gelas yang disodorkan Arsen dan meminumnya perlahan. " Biasa aja, ah, Mas. Namanya juga bumil, ya gini Mas."

Tapi gak selemah kamu, Lea. Batin Arsen.

"Kalo gitu aku ambil dulu laptop ya. Besok ada presentasi. Kamu mau saya ambilin sesuatu?" tawar Arsen.

Lea menggeleng. "Mas yang cepet aja. Ini dedeknya mau di elus-elus ayahnya."

Arsen tersenyum kemudian pergi untuk mengambil laptop di ruang kerjanya setelah mengelus kepala Lea lembut.

Butuh lima menit untuk Arsen mengumpulkan semua dokumen dan berkas-berkas lainnya yang dia butuhkan untuk bahan presentasi. Dan dia tidak menyangka ketika dia kembali ke ruang tv, dia mendapati orang lain di sana. Orang yang akhir-akhir ini dia lupakan ke eksistensinya.

"Nada?" tanya Arsen heran. Nada sudah duduk di kursi yang tadi Lea tempati sedangkan Lea berdiri di depan Nada dengan wajah kesal.

Arsen segera menghampiri Lea dan memegang pundak Lea. Berusaha menenangkan. "Kamu ke dalem dulu, ya? Nanti saya nyusul," bujuk Arsen.

Lea menatap Arsen tidak senang. "Gak. Aku mau di sini. Gimana kalo wanita ini macam-macam, Mas."

Nada mendengus. "Dasar over protektif," gerutu Nada.

Lea menatap Nada tajam. "Iyalah, over protektif! Kamu gak mau nerima si, kalo Mas Arsen ini kakak kandung kamu!"

Tiba-tiba saja Nada berdiri dan mendekati Lea. Arsen yang tahu kalau keadaan akan memburuk jika dia tidak segera menengahi, langsung berdiri di antara Lea dan Nada. "Kamu duduk aja di sana ya, Yang." Arsen menunjuk sofa yang berada di samping sofa yang tadi diduduki Nada, "dan Nada, bisa kamu tenang? Kamu juga lebih baik duduk dulu, lalu kita bicara," perintah Arsen.

Beruntung untuk Arsen karena kedua wanita ini mau menuruti perkataanya. Arsen mengikuti Nada dan duduk di sebelahnya.

"Jadi kenapa, Nad?" tanya Arsen.

Nada menundukkan kepalanya. "Aku gak bisa, Arsen. Gak bisa," lirih Nada.

Arsen menghela napas kemudian menggenggam lembut tangan Nada. "Saya gak bakalan pergi, Nad. Saya di sini. Kamu adik saya dan saya yang akan jaga kamu."

Nada mendongak dan menatap Arsen sendu. "Tapi aku gak bisa, Arsen. Aku gak bisa kalau cuman jadi adik kamu doang. Aku gak mau kamu berbagi ama wanita lain. Kamu harusnya ngerti perasaan aku."

Arsen mendengar Lea mendengus. "Lea," peringat Arsen.

Lea mengedikkan bahu kemudian berdiri. "Males liat adegan adik-kakak yang gak bermutu kayak gini. Heran, ada ya orang yang dikasih tahu ngeyel kayak gini. Kalau adik ya adik aja. Udah beruntung Mas Arsen gak benci kamu."

"Lea! Jaga ucapan kam—"

Semua terjadi begitu cepat. Arsen bahkan tidak sadar ketika Nada sudah menghilang dari sampingnya dan kini berada di atas Lea. Menindihnya.

"Nada!" teriak Arsen. Arsen segera menghampiri Nada dan berusaha melepaskan cekikan Nada pada Lea. Arsen menarik Nada menjauh dan mendorongnya keras ke belakang. Terdengar suara tubrukan di sana. Arsen segera menghampiri Lea dan membantunya duduk.

"Ma-Mas, a--nafas—Mas," rintih Lea.

"Sial!"

Arsen segera merogoh inhaler yang ada di saku celananya pada Lea ketika dia merasakan cairan basah di sampingnya.

Darah.

***


The Chronicle of usWhere stories live. Discover now