Tiga

188 12 0
                                    

Ingatkan aku kalau mencaci maki suami itu adalah dosa besar. Lagipula siapa yang tidak akan kesal kalau tiba-tiba saja rencana yang sudah kau buat matang-matang begitu saja dihancurkan oleh satu kata. Sibuk. Baiklah, aku memang tahu sekarang Arsen sedang sibuk-sibuknya. Menjadi seorang General Manager di sebuah perusahaan textile tentu bukan pekerjaan mudah. Tapi ya ampun, dia sudah mengajukan cuti tiga minggu. Masih ada satu minggu lagi sebelum dia mulai bekerja lagi. Dengan muka datarnya, tadi malam dia mengatakan kalau dia tidak bisa meninggalkan pekerjaan lebih lama lagi. Harus inilah, itulah, entahlah, aku tidak mendengarkan, dan aku juga tidak peduli.

"Apa bedanya honeymoon dan enggak, Sayang?" tanyanya tadi malam.

"Bedalah! Kalau honeymoon, kita berduaan terus, jalan-jalan., dan Demi Tuhan Arsen! Kamu janji bawa aku ke Lombok!" gerutuku. Aku bahkan tidak sudi melihatnya.

Dengan lempengnya dia memelukku erat dan mencium leherku. "Gak usah jauh-jauh ke Lombok buat liat pantai, Yang. Di Ancol juga ada. Dan saya janji, kamu punya waktu seumur hidup kamu buat terus berduaan dengan saya."

Ancol! Dia membandingkan Lombok dengan Ancol! Ada di mana sebenarnya otak Arsen! Bisa-bisa dianya membandingkan Lombok dengan Ancol.

"Dan saya pengen kamu. Lagi."

Eargh!! Kalau aku tidak ingat Malaikat akan melaknatku kalau aku menolak permintaan seorang suami, mungkin aku akan menendangnya saja tadi malam dan membiarkan Arsen tidur di lantai. Seenaknya saja mengalihkan pembicaraan dengan menggodaku.

Jadi, disinilah aku sekarang, di cafe langgananku, meratapi nasibku dengan secangkir coklat panas di sampingku dan laptop di depanku. Sudah jam lima sore dan aku belum berniat pulang. Lagipula aku sudah menghubungi Arsen agar menjemputku ketika dia pulang kantor. Dia berjanji kalau dia tidak akan lembur dan akan membawa pekerjaannya ke rumah. Gila! Memangnya apa bedanya bekerja di rumah dan di kantor. Sama-sama tidak diacuhkan. Baiklah, mungkin bedanya aku bisa melihat wajah Arsen yang maskulin. Jujur saja, dia tidak tampan, tapi dia punya daya tarik sendiri untukku. Well, orang pintar selalu punya kharisma, menurutku. Lagipula, Arsen itu good looking dan semua orang yang melihatnya akan setuju kalau tatapan tajamnya bisa menyihir siapapun. Seakan-akan dia punya mata medusa yang bisa membuatmu tiba-tiba menjadi batu; diam dan tidak bergerak.

Hhh... aku bosan. Aku benar-benar merasa kalau kehidupanku seminggu kedepan akan lebih membosankan lagi. Sebenarnya, aku ingin mulai berkebun atau belajar memasak, tapi aku sudah mengatakan pada mama Arsen untuk belajar memasak mulai dari minggu depan. Ria juga tidak bisa mengajariku berkebun minggu ini karena dia harus pergi tugas entah kemana. Kadang aku bingung dengan pekerjaan sahabatku itu. Bisa-bisanya dia memilih menjadi seorang pengacara kriminal; padahal, dia seorang perempuan. Pantas saja kalau Arkan-- mantan suaminya-- sering mengeluh tentang pekerjaan Ria.

Yah, mereka memang sudah bercerai. Ria tidak pernah cerita kenapa mereka bercerai. Dia bilang, itu masalah rumah tangganya dan biar dia dan Arkan saja yang tahu apa masalahnya. Aku tidak mengeluh tentang itu. Lagipula, walaupun kami sahabat, kami tetap punya privasi masing-masing.

Oke, aku mulai melantur tidak jelas. Lagipula apa hubungannya rumah tangga Ria dengan rumah tanggaku. Dan seingatku, tadi aku sedang membicarakan honeymoon yang sudah direncanakan jauh-jauh hari gagal total. Huh, rasanya aku ingin marah-marah lagi kalau mengingat itu.

"Ini kopi hitamnya." Aku mengernyitkan kening. Aku tidak suka kopi dan seingatku, aku tidak memesan kopi. Aku mendongak dari laptopku dan mendapati Arsen sudah duduk di hadapanku dengan tatapan mata yang mengarah padaku.

"Kapan Mas datang? Kok kayak jin? Gak kedengeran?" tanyaku heran.

"Saya penasaran apa yang kamu tulis di laptop kamu itu. Jujur saja, saya merasa kasihan karena laptop kamu yang gak bersalah itu, harus jadi korban kekesalan kamu," ucapnya tanpa menghiraukan pertanyaanku.

Aku memberengut dan mematikan laptopku terlebih dahulu sebelum benar-benar menghadapinya.

"Harusnya Mas tanya ama diri Mas sendiri. Aku gak bakalan kayak gini kalau bukan gegara Mas," ucapku kesal.

"Masih masalah honeymoon lagi?"

Aku berdecak. "Menurut ngana?"

Arsen menghela napas dan menatapku dengan tatapan lelah. "Kita udah bicarain ini, Lea."

Bicara apanya? Tadi malam kami tidak benar-benar membicarakan masalah ini. Yang benar-benar kami lakukan adalah memanaskan ranjang. Sinting!

"Kamu udah gede, Lea. Kamu pasti tahu mana yang--"

"Mana yang harus diprioritaskan. Ya, ya, Mas, Aku tahu. Udahlah, aku udah bosen dari tadi. Mending kita pulang," ucapku ketus dan meninggalkannya sendiri menuju mobilnya yang aku yakin sudah terparkir cantik di parkiran cafe.

Hhh... baru satu minggu menikah tapi aku malah marah-marah tidak jelas karena hal kecil. Dasar istri tidak berguna. Sepertinya aku harus minta maaf padanya.

***


The Chronicle of usWhere stories live. Discover now