Dua Puluh Dua

168 10 0
                                    

"Kandungannya sehat dan baik-baik saja. Tapi karena Bu Lea punya penyakit asma yang berbahaya untuk kandungan, jadi diharap jangan terlalu lelah dan lebih banyak mengkonsumsi sayur dan buah-buahan," saran Dr. Henry.

Arsen menghela napas lega. "Terimakasih dok, saya akan memastikan dia tidak kelelahan," ucap Arsen.

Dr. Henry tersenyum. "Sudah menjadi tugas anda. Tapi check up kalian bukanya baru minggu depan? Tapi kenapa...."

Lea yang dari tadi berbaring di ranjang pasien mendengus. "Ini karena suami tercinta saya terlalu alay, dok. Padahal kita lagi bulan madu dan dia malah nyuruh cepet pulang karena takut saya kenapa-napa. Emang semua suami yang istrinya lagi hamil gitu, ya, dok? Alay."

Arsen menatap Lea tajam. "Karena saya gak mau kamu dan anak saya terluka, Lea," desis Arsen kesal.

Arsen memang langsung panik ketika mengetahui Lea hamil. Dia bahkan langsung memesan tiket penerbangan pertama dari Bali agar bisa segera memeriksakan keadaan Lea. Padahal Lea sudah bilang kalau mereka masih memiliki satu minggu untuk kontrol kehamilannya.

Setelah mereka berdua mengucapkan terimakasih pada Dr. Henry dan mengetahui jadwal kontrol selanjutnya, mereka keluar dari ruangan Dr. Henry. Arsen dan Lea, mereka berdua sama-sama tidak bisa menyembunyikan perasaan senang mereka. Mungkin inilah yang dinamakan semua indah pada waktunya. Setelah apa yang mereka lewati selama ini, akhirnya mereka bisa merasakan kebahagian yang tidak bisa dideskripsikan hanya dengan satu kata.

"Kamu lagi kepengen apa, Le? Biar saya belikan," tanya Arsen ketika mereka sampai di pelataran parkir rumah sakit. Dari tadi Arsen tidak melepaskan rangkulan mereka. Arsen bahkan sempat bertanya pada Lea apakan Lea mau digendong atau tidak. Tentu saja Lea mencak-mencak. Lea bilang dia bukan orang lumpuh yang harus di gendong segala.

Lea mengeratkan pelukannya pada lengan Arsen dan menghirup aroma Arsen dalam. "Akhir-akhir ini aku lagi seneng banget ama aroma-nya Mas. Jadinya tuh, aku pengen tiduran Aja di kasur sambil meluk Mas. Mas mau, kan?"

Arsen tersenyum kemudian mengusap lembut kepala Lea. "Accepted. Kita masih punya waktu tiga hari buat santai-santai tanpa saya harus mikirin kerjaan."

Seketika Lea menghentikan langkahnya dan menatap Arsen berbinar. "Mas gak akan potong masa cuti, Mas?"

Arsen terkekeh. "Nggak, Sayang. Selama dua hari ini saa benar-benar milik kamu. Tanpa kerjaan. Jadi, lebih baik kamu list apa yang mau kamu lakuin selama ada di rumah karena saya bakalan ngabulin semua permintaanmu--" perkataan Arsen terpotong karena Lea yang telah memeluknya erat. "Makasih, Mas. Makasih."

"Anything for you, honey."

***

Menjaga ibu hamil di trimester pertama mudah-mudah sulit. Mornick sickness yang seringkali menimpa Lea selalu sukses membuat Arsen khawatir. Belum lagi ngidamnya Lea yang makin hari makin aneh. Tapi Arsen tidak mengeluh, tentu saja. Menurutnya, tahun ini menjadi tahun paling baik diantara sebelum-sebelumnya. Menikahi Lea, memiliki anak, dan mengatakan semuanya pada Lea adalah masa-masa terindah untuknya. Rasanya, jika ini memang hanya mimpi indah di siang bolong, Arsen rela untuk tidak bangun lagi.

Dan hari ini, ngidam Lea kambuh lagi. Lea tiada berhentinya mengerecoki Arsen. Dia bahkan tidak membiarkan Arsen untuk melangkah sedikit saja menjauhi Lea. Untung saja sekarang hari Sabtu yang berarti Arsen libur dari pekerjaanya.

"Mas mau kemana?" tanya Lea gelisah.

Arsen tersenyum. "Katanya kamu haus. Saya mau ambil minum dulu," jawab Arsen.

"Ikut, Mas," rajuk Lea.

"Bentar doang Lea. Saya bahkan udah ada di sini sebelum kamu sadar saya pergi."

Lea menggeleng pelan. "Gak mau, pengen ikut. Kita ngobrol di teras belakang rumah aja, ya, Mas. Gimana?"

"Yaudah. Kalo gitu saya ambilin jaket dulu."

"Jaketnya punya Mas, ya," pinta Lea.

Arsen terkekeh. "Oke."

Taman belakang kebun mereka sudah penuh dengan tanaman yang Lea tanam. Ada berbagai macam bunga yang tidak Arsen tahu jenisnya apa. Rempah-rempah mulai dari jahe, kunyit, daun salam, dan entah apalagi. Dan Arsen harus memberikan empat jempolnya pada Ria, sahabat Lea, bahwa wanita itu bisa membantu Lea membuat halaman belakang rumahnya tersusun rapi.

"Aku gak sabar tahu Mas pengen cepet-cepet buah mangganya gede. Ini mangga arumanis, Mas," ucap Lea sembari menyandarkan kepalanya di pundak Arsen.

"Saya gak sabar pengen liat perut kamu gede."

"Ih, apa sih, Mas. Gak nyambung," kesal Lea.

"Salah emang?"

"Ya enggak si, Mas. Tapi kayaknya Mas itu terobsesi banget liat perut aku gede."

Arsen tertawa kemudian merangkul bahu Lea dan memeluknya erat. "Karena saya udah gak sabar pengen liat baby kita."

"Lima bulan lagi, Mas."

"Hm-mm, lima bulan lagi dan saya udah beneran gak sabar."

"Gak nyangka banget, ya, Mas. Kita ketemu; pacaran; mas lamar aku; kita nikah; mas yang gak mau jujur ama aku, gak mau punya anak dulu. Dan nyatanya aku hamil bahkan sebelum pernikahan kita sampai dua tahun," kenang Lea.

"Hidup emang gak pernah bisa ada yang nebak, Le. Dan saya beruntung banget karena saya punya kamu. Kamu itu keajaiban terindah yang udah Tuhan kasih ke saya," kata Arsen, "saya gak tahu kalau saya gak ketemu kamu waktu itu. Mungkin saya masih terpuruk karena kenyataan akan Nada. You're my remedy, sweetheart. And lucky for you i have you for my entire life."

Lea memeluk leher Arsen dan naik ke pangkuan Arsen. "And lucky me because you opened your heart and gave your heart to me."

Arsen menatap Lea dalam kemudian mencium bibir Lea. Ciuman itu lembut pada awalnya, dan ketika Lea membalas ciuman dan meremas rambut Arsen, ciuman itu semakin memanas.

"Can i visit my baby, honey?" lirih Arsen di depan bibir Lea.

Lea terkekeh. "My pleasure, honey."

***


The Chronicle of usWhere stories live. Discover now