10 - Je Ne Vais Pas Lâcher

Mulai dari awal
                                    

"Sudah beres juga, Pa. Saya sudah bertemu Malik, dan dia setuju untuk menyembunyikan kasus Jabraan selama bukti gratifikasi yang dia lakukan tidak saya buka ke publik."

Bangun mendengus melihat betapa brengseknya langkah Malik, ketua Partai Maju yang sudah lama jadi oposisi Partai Negara yang mengusung Arizal. Anak pertama Malik yang satu pergaulan dengan Jabraan juga ada di lokasi yang sama, menggunakan obat-obatan yang sama, dan malah jadi salah satu penyedia. Tapi dengan bantuan adik iparnya yang seorang pimpinan di institusi berseragam coklat itu, Malik berhasil menjatuhkan Jabraan atau lebih tepatnya Arizal, tanpa membuat anaknya terseret sedikitpun.

"Pastikan nama Sadewo tidak terbawa di pertarungan politikmu, Zal." Bangun sedikit menggeram, ogah kalau kerajaan bisnis yang sudah dibangunnya selama ini jatuh karena gonggongan politikus. Arizal hanya mengangguk pelan, bersiap menerima amarah mertuanya yang memang terkenal tegas dan tak pandang bulu. Namun rupanya Bangun memilih untuk meredam kali ini.

"Mama sama Jabraan ngapain, sih, Pa?" tanya Marla memecah ketegangan. Perempuan itu lantas melirik jam tangannya. Mereka harus berangkat 15 menit lagi jika tidak ingin terlambat sampai bandara.

"Mesra-mesraan," sahut Wening yang tiba-tiba masuk ke ruangan sambil menggandeng cucunya. Jabraan hanya tertawa sambil mempererat genggamannya pada eyang putri kesayangannya itu. Dia tidak banyak bicara, karena tahu sudah bikin masalah keluarga dan merepotkan orang tua. Jabraan sudah habis dimarahi kedua orang tuanya. Dia bisa terima itu.

Tapi eyang Bangun, justru melakukan hal yang membuat Jabraan sangat terganggu. Eyang mendiamkannya. Belum ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut eyang kakungnya itu sejak kejadian penggerebekan. Bahkan hingga hari ini, hari ketika dirinya akan diberangkatkan ke luar negeri untuk disembunyikan dari mata publik hingga kasusnya benar-benar mereda.

Setelah memastikan semua keperluannya beres, Arizal mengajak anak bungsunya berpamitan. Wening tak kuasa menahan air matanya karena harus melepas cucu laki-laki ceria yang biasanya selalu jadi pencerah suasana rumah. Sejak kejadian itu, Jabraan redup, murung, dan tidak banyak bicara. Dia kehilangan kepercayaan diri, menyalahi dirinya terus menerus karena merasa bodoh bisa terjebak dalam lingkaran setan yang bisa jadi senjata menjatuhkan nama keluarga. Pelukan itu dengan berat dilepaskan oleh nenek paling penyayang yang Jabraan kenal.

Lantas giliran dirinya menuju ke Eyang Bangun. Detak jantung remaja tanggung itu naik begitu cepat. Ia bisa lihat eyang kakungnya itu tidak tersenyum. Tidak juga membuka kedua lengannya lebar seperti Eyang Wening yang tadi menyambutnya dengan pelukan hangat. Begitu tubuhnya sampai di depan Bangun, Jabraan dengan gemetar meraih tangan keriput dihadapannya. Dia pamit.

Namun tanpa disangka, sesaat sebelum kepalanya kembali naik, Bangun menepuk pundak cucunya seraya berbisik, "Eyang tahu kamu bukan anak nakal. Eyang percaya kamu. Selesaikan tanggung jawabmu.

"Eyang percaya kamu bisa lebih baik."

______





Ingatan Jabraan kembali ke belasan tahun yang lalu, tentang bisikan Eyang Bangun sebelum dirinya berangkat untuk sekolah di asrama.

Dua kali.

Dua kali eyang bilang percaya pada dirinya.

Kala itu, sepanjang perjalanan ke bandara, Jabraan sesenggukan menangis di mobil. Orang tuanya kira dia sedih karena harus meninggalkan Indonesia, tapi sebenarnya Jabraan meluapkan rasa bersalahnya. Eyang Bangun tidak membencinya, bahkan setelah kehebohan yang dia buat karena kebodohan cucunya yang saat itu masih remaja tanggung yang belum visioner memikirkan konsekuensi.

Jabraan merasa lebih baik Eyang marah padanya, seperti yang kedua orang tuanya lakukan. Tapi Eyang justru menaruh rasa percaya. Sesuatu yang tidak akan Jabraan lepas sampai kapanpun juga.

Lelaki itu masih menatap nanar sepasang pusara yang masih ditutupi tenda. Pusara Eyang Wening begitu bersih dan terawat dengan rumput yang terpangkas rapi dihiasi oleh rangkaian bunga lili dan anggrek𑁋bunga kesayangan Wening𑁋yang tertata rapi. Sementara di sebelahnya, pusara Eyang Bangun masih segar dan basah. Tanahnya belum tertata sempurna dan masih banyak taburan mawar di atasnya.

Dua orang yang jadi cikal bakal klan Sadewo kini telah tiada. Satu pesan terakhir Bangun yang berkali-kali diucapkan pada semua anak dan cucunya adalah untuk memakamkannya di sebelah Wening, istri tercintanya. Jabraan selalu kagum pada bagaimana kakek dan neneknya itu bertahan dalam rumah tangga. Mereka sangat berbeda satu sama lain, namun bisa jadi pelengkap yang tidak terpisahkan.

Mereka adalah contoh nyata cinta sejati.


Senyuman lemah terbentuk di wajahnya. Area pemakaman yang tadi sangat ramai kini sudah sepi. Tinggal tersisa dirinya di sana. Matahari juga perlahan menyembulkan semburat oranye, pertanda sebentar lagi akan petang. Jujur dirinya sendiri tidak menyangka akan merasa seberat ini untuk meninggalkan makam.

Hari ini, dalam hati, Jabraan sudah ratusan kali bertekad akan menjaga kepercayaan yang Eyang berikan, menjaga nama keluarga sebaik-baiknya.

Dengan langkah gontai, lelaki jangkung itu berbalik, berjalan menuju parkiran tempat asistennya sudah menunggunya dari tadi. Namun belum sampai tujuan, matanya sudah memicing karena mendapati sosok yang tak disangka masih ada di sana.

"Kok masih di sini?" nada tanya Jabraan sudah sedikit lebih ceria dibanding cara bicaranya seharian ini. Mungkin karena suasana hatinya sudah membaik, mungkin juga karena ini adalah kejutan menghangatkan hati yang tak pernah dia sangka.

Yuna ada di sana, menunggunya.

"Saya ketinggalan bus karyawan kloter terakhir."

Yuna tidak ketinggalan. Saat berjalan meninggalkan bus, area makam yang saat itu sudah mulai sepi tidak membuat Jabraan bergerak. Hari ini, pertama kalinya Yuna melihat air mata keluar dari lelaki itu. Dan dirinya tidak menyangka kalau air mata Jabraan bisa membuat hatinya serasa dicubit, perih dan pedas. Entah dorongan apa yang membuatnya memutuskan untuk memperhatikan Jabraan dari jauh, tapi Yuna merasa dia perlu mendampingi.

"Kamu ikut saya aja—if you don't mind—sama PA saya juga, dia udah duluan tadi ke mobil," ajak Jabraan sedikit ragu, karena percakapan terakhir antara mereka berdua berakhir dengan penolakan.

"Sure, thanks ...."

Sore itu, ada insting melindungi yang kuat dari Yuna. Dalam perjalanan ke mobil, melihat Jabraan yang masih menatap kuyu ke arah depan, Yuna refleks meraih tangan lelaki itu, berniat memberikan energi lebih, ketenangan lebih, dan kekuatan untuk melanjutkan hidup.

Genggaman itu bertahan terus, bahkan semakin erat. Jabraan tidak mau lagi melepaskan. Dan anehnya, Yuna tidak keberatan.

______

Sending love to you all yang masih baca cerita ini ❤️

Three Words TheoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang