07 - La Famille

148 26 5
                                    

__________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

__________

the seventh part

©pearsnpearls, december 2023

__________

Yuna mempercepat langkah, tergesa ke arah mobil yang terparkir di basement. Perutnya sedikit berbunyi, tapi dia sudah tidak punya waktu lagi untuk sarapan karena terlambat. Ini kejadian langka di kehidupan seorang Masayu Ilana yang biasanya selalu tepat waktu. Rupanya pertemuan dengan Jabraan semalam bisa mengacaukan pikirannya, sampai-sampai matanya baru terpejam ketika kebanyakan orang sudah bangun untuk ibadah. Padahal, Yuna harus ke Bandung hari ini, menjenguk ayahnya di penjara khusus narapidana korupsi.

"I won't ask you to like me back. As much as I respect you, I'm asking you to also respect me—I mean, leave me alone so I can like you. I won't give you a hard time. I'll never, ever, disturb your peaceful life. I'll just live on like this ..."

"... And one day, when you are up to it, please change your mind then. Please come to me then ...."

Kalimat-kalimat itu terus terngiang di kepala dan setiap kali ingatannya kembali ke pengakuan Jabraan semalam, fokus ingatannya selalu berganti-ganti. Kadang Yuna fokus teringat suara yang dalam dan tenang namun terasa cerah serta hangat, lain waktu dia ingat ekspresi wajah yang berharap dengan bola mata yang membulat, membuat laki-laki yang tingginya hampir 190 cm itu terlihat menggemaskan, dan barusan, fokusnya hinggap di ingatan tentang gerak-gerik setiap titik di wajah Jabraan yang begitu ... atraktif.

Sigh.

Yuna menggelengkan kepalanya heboh agar otaknya tak lagi berpikir hal yang macam-macam.

Dengan kecepatan berkendara di atas rata-rata, perempuan itu akhirnya berhasil sampai di gerbang tol pasteur hanya dalam waktu 90 menit. Di lampu merah pertama yang dia temui di kota kembang itu, Yuna sudah disambut oleh sebuah baliho super besar dengan foto seorang wakil rakyat dan tulisan Wilujeng Sumping ka Bandung. Nama yang tertulis di sana begitu familiar, pun dengan wajahnya karena Yuna sering lihat di berbagai berita atau ketika bertandang ke rumah Marla; Dr. H. Tubagus Arizal Aziz, Wakil Ketua DPR Bidang Politik dan Keamanan.

Yuna memperhatikan baliho itu lebih lama. Jabraan ternyata mirip sekali dengan ayahnya. Perempuan itu menghela napasnya berat seraya melajukan kembali kendaraannya.

Tubagus Jabraan Aziz, laki-laki yang beberapa waktu belakangan ini menyita pikirannya adalah anak dari lawan politik ayahnya, yang sekarang sedang mendekam di penjara. Marla dan Shaqila tidak terlalu ambil pusing soal silsilah keluarga Yuna karena batasan hubungan mereka jelas; hanya sebatas teman serta kolega kerja. Mereka juga tahu betul Yuna tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan ayahnya. Jangankan terlibat, ngobrol satu meja makan saja sudah tidak pernah.

Kalau boleh jujur, ada sisi di diri Yuna yang merasa lega akhirnya sang ayah harus bertanggung jawab atas segala kesalahannya. Hukuman ini seperti tali tambang yang menarik paksa agar ayahnya kembali menapak ke tanah setelah terlalu lama melayang sampai lupa daratan. Tapi Yuna merasa harus tahu diri. Saying yes to Jabraan feels like overstepping invisible boundaries. Batas yang ada sekarang sudah tepat, tidak perlu diganggu gugat.

Three Words TheoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang