09 - Vision Trompeuse

117 25 8
                                    

__________

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

__________

the ninth part

©pearsnpearls, january 2024

__________


Urusan hati itu merepotkan, bahkan lebih dari tumpukan pekerjaan yang sekarang menanti untuk diselesaikan di depan mata. Entah sudah berapa kali Yuna berdecak resah karena pikirannya masih saja terganggu dengan pernyataan cinta Jabraan beberapa hari lalu. Penolakan yang diberikan rupanya tidak seratus persen datang dari hati, karena buktinya sekarang penyesalan perlahan mulai merangkak naik ke kerongkongan meski sekuat tenaga dihadang dengan pura-pura baik-baik saja.

Perempuan itu kembali melirik ke sudut ruangan, tempat sebuah rangkaian bunga cantik bertengger tak tahu siapa tuannya. Sebenarnya Yuna sudah punya firasat soal pengirimnya, tapi lagi-lagi, kalau dia menerima pemberian itu dengan lapang dada, berarti dia mengkhianati pendiriannya sendiri.

Sekilas, Yuna bisa lihat dua huruf depan di sampul kartu ucapan yang menempel. Ada tulisan 'Ja-' yang setelahnya tertutup oleh beberapa helai daun. Setelah memandangi bunga itu selama hampir lima belas menit, dia akhirnya memantapkan hati untuk membaca isi pesan yang sebenarnya, mungkin saja malah bisa membuat suasana hatinya makin nggak karuan.

Tapi ternyata, perkiraan Yuna salah. Lanjutan dari dua huruf depan di sampul kartu ucapan itu adalah Janitra Corporate Group, yang artinya, bunga itu bukan dari Jabraan. Ternyata itu hanya bunga kiriman kantor pusat untuk tiap ruangan manajer sebagai salah satu tanda terima kasih dalam rangka menjalankan program random act of kindness for the employees yang mulai berjalan tahun ini. Perempuan itu mengeluarkan decak kecewa, tapi di saat yang bersamaan juga heran kenapa dia justru berharap mendapatkan sesuatu yang bisa mengacaukan pikiran. Yuna menggelengkan kepalanya kasar, berusaha menyingkirkan pikirannya yang mulai dipenuhi Jabraan.

Forbidden fruit sure is more tempting. Dia butuh kopi.

Kini, di mata Yuna, setiap laki-laki yang punya badan tinggi besar, terlihat seperti Jabraan, dan tiap kali sosok seperti itu mampir di pandangan, detak jantungnya naik sepersekian detik sebelum akhirnya kembali turun setelah sadar kalau itu semua cuma di bayangannya saja. Entah itu semua manifestasi hati atau bentuk abstraknya pikiran, tapi setidaknya Yuna tidak seratus persen merasa terganggu. Toh, di lubuk hatinya yang paling dalam, Yuna mengakui kalau pria yang baru dia tolak sesungguhnya benar-benar menarik.

Setidaknya sudah dua orang yang bikin Yuna ketar-ketir sejak keluar dari ruangannya untuk cari kopi. Pertama, saat dia berpapasan sekilas dengan pengunjung di depan IGD. Pengunjung itu berjalan cepat-cepat, terlihat panik, dan sosoknya yang tinggi dengan potongan rambut mirip Jabraan, bikin Yuna reflek mengikuti sama cemasnya. Yuna baru sadar kalau dia salah orang saat lelaki itu menoleh ke belakang. Kedua, saat dirinya terperanjat karena mendengar orang yang bicara di belakangnya punya suara mirip Jabraan. Mungkin yang dia butuhkan saat ini bukan cuma kopi, tapi juga guyuran air dingin supaya bisa melek dan sadar sepenuhnya.

Bruk!

Terlalu banyak menerawang, Yuna tidak menyadari kalau di hadapannya ada orang yang sedang berhenti dan terlihat kebingungan melihat ke segala arah. Terlanjur malu, Yuna hanya meminta maaf buru-buru dan melangkah menjauh sebelum beberapa detik setelahnya, lengannya ditarik oleh sosok itu.

"Kamu lihat kakak saya?" tanya Jabraan terengah.

"Hah?" Yuna masih bingung dengan apa yang barusan terjadi.

"Kamu lihat Shaqila?" tanya Jabraan lagi, kali ini lebih cemas.

"Kamu Jabraan beneran?" Tidak mau salah kira, Yuna merasa lebih baik memastikan lagi. Alis Jabraan menyatu ke tengah dan belum sempat laki-laki itu memberikan tanggapan, Shaqila terlihat setengah berlari menuju arah mereka.

"Aku baru lihat chat kamu langsung turun, Dek." Napasnya tersengal. "Mama gimana?"

"Mama tadi pas lagi di luar jadi langsung ke Kertanegara. Kamu ditelepon nggak jawab makanya aku ke sini dulu."

"Kamu nyetir?"

"Enggak, Aheng jemput di depan."

Yuna berusaha mencerna kejadian di depannya saat ini. Jabraan terlihat berbeda karena kesan cerah dan hangat yang biasanya melekat pada dirinya seakan hilang untuk sementara. Sedangkan Shaqila yang untuknya adalah personifikasi perempuan kuat, kini terlihat begitu rapuh dengan air mata menggenang di kedua pelupuk matanya.

"I thought I was ready for this."

"No one's ready for this, Nil."

Jabraan memeluk kakaknya yang tiba-tiba lemas terhuyung. Laki-laki itu tidak menangis, tapi Yuna bisa lihat jelas kalau dia sama hancurnya. Dia tidak berani menebak apa yang menyebabkan keduanya begitu, tapi ketika pesan dari Marla masuk ke ponselnya barusan, semuanya langsung jelas.


| Na, bisa bantu susul saya ke Kertanegara?

| Pak Arwan sudah otw ke RS

| Ayah saya meninggal dunia


Bangun Sadewo baru saja meninggal dunia.

Yuna seketika mengikuti kakak beradik yang sudah lebih dulu berjalan cepat menuju lobby. Shaqila, meski dengan tubuhnya yang lemah, masih bisa mengejar langkah Jabraan yang lebar-lebar.

"Turut berduka cita." Yuna buka suara saat Shaqila dan Jabraan hampir masuk ke mobil. Keduanya menatap heran, karena seingat mereka berita ini belum sampai ke banyak orang.

"Saya baru dapat pesan dari dokter Marla, beliau minta saya susul ke sana dan jemputan sudah on the way," jelasnya.

"Thanks, Na." Shaqila menjawab merintih.

"Thanks, Masayu." Jabraan mengangguk, izin berangkat terlebih dahulu. Ini pertama kalinya Yuna melihat sinar cerah di wajah itu redup dan ini membuat hatinya ikut ngilu. Ada dorongan besar dalam dirinya untuk memeluk pria itu, memberikan rasa aman untuknya bersedih, tapi Yuna sadar kalau dia bukan siapa-siapa. Dia sendiri yang menjadikan Jabraan bukan siapa-siapa.

______


hi! update yang ini pendekan aja ya abisnya nggak ada yang komen (lah ngambek). ga ding emang biar masuk sama main plot jadinya pendek tapi gapapa ya ges, nanti yang selanjutnya agak dipanjangin ekekeke~ luv uollsss!

Three Words TheoryWhere stories live. Discover now