13. Gara-Gara Senyum

60.5K 2.4K 36
                                    

Delin bahagia dengan akhir yang dia dapatkan. Dan yang terpenting dia lulus. Semuanya pasti bangga pada Delin.

Delin tersenyum menyambut Darka. Senyumnya mendadak tidak bisa luntur saking bahagia.

"Lo jelek." sekalinya melihat senyum Delin yang tulus dan bahagia rasanya Darka tidak terbiasa. Makanya refleks berkata begitu walau akhirnya memeluk dan mengecup kening Delin sekilas. "Selamat lo lulus, tapi tetep ga bisa lepas dari gue." bisiknya.

Sekelilingnya begitu ramai dengan banyak keluarga yang datang, berbeda dengan Delin yang sendirian.

Demian mendekati keduanya. "Lah, Delin aja nih yang diucapin," sindirnya.

Darka pun mengucapkan Selamat dengan malas membuat Demian mendengus.

"Bunda mana?"

"Ngobrol."

"Ha? Di mana?" Demian meliarkan pandangannya.

"Ikut gue." Darka Membelit pinggang Delin agar ikut juga. Darka berikan buket bunga cukup besar itu pada Delin tanpa banyak kata.

Delin memeluknya agak keberatan. Sayang sekali membeli bunga sebanyak ini.

Wanginya sungguh menyenangkan dan cantik. Pertama kalinya Delin menerima buket bunga.

"Bunga buat gue mana?" Demian terlihat iri dan kesal. Dia sebagai adiknya cemburu karena tidak diberi apapun bahkan tidak direspon.

"Bukannya nyamperin malah ngobrol," dumel Demian teruntuk bunda dan ayahnya.

"Ayah ikut?" tanya Demian yang diangguki Darka.

Delin melotot kaget saat melihat orang tuanya datang. Sungguh tidak terduga. Mereka bersama Denada dan Kevin.

"Maafin bunda, nak.. Malah keasyikan ngobrol sama ibunya Delin," kekeh Denada lalu memeluk Demian yang cemberut lucu. "Selamat ya gantengnya bunda," lalu mengurai pelukan.

Kevin memeluk Demian. Mengucapkan selamat juga.

Sedangkan Delin tengah terisak dipelukan ibu dan bapaknya. Ayu dan Aidan jadi ikut terharu bahagia melihat anaknya lulus menjadi sarjana sesuai harapan semua yang menyayanginya.

"Ibu hiks.. Delin lulus, bu.." isaknya dengan begitu haru bahagia. "Pak, Delin lulus.." isaknya lagi.

Aidan mengangguk, memeluk dua wanita yang dia cintai itu.

Denada jadi ikut terharu, Kevin dan Demian hanya tersenyum ikut bahagia. Apalagi Demian menemani Delin dari awal masuk kampus. Dari asing menjadi kenal. Bahkan dia membantunya untuk mencari kosan aman. Kebetulan saat itu salah satu penghuni tidak menyewa lagi, Delin pun menyewanya.

Sedangkan Darka. Dia diam menatap tak terbaca tangis bahagia Delin dan semuanya.

***

Darka memutar kepala Delin agar menghadapnya. "Mana yang lain?" Darka duduk di sampingnya.

Delin mengerjap agak malu mengingat ibunya dan Denada mulai menyinggung pernikahan. Memangnya mereka seserius itu? Delin ragu pada dirinya Apalagi Darka.

Darka hanya ingin tubuhnya. Terobsesi tubuhnya.

"Ke belakang, ibu sama bunda lagi siapin makanan, kak.." jawabnya pelan sambil menyimpan rangkaian bunga milik Denada yang dicampur bunga dari Darka. Rasanya Delin tidak bisa fokus melanjutkan jika ada Darka.

Darka membuka kotak kecil berwarna putih. Isinya kalung dengan berbandul D dihiasi setitik berlian yang mahal.

Delin menahan nafas saat tanpa kata Darka menyingkirkan rambutnya ke belakang lalu memasangkan kalung itu.

Delin mengerjap gugup dan menegang. Apalagi Darka mengecup sekilas lehernya setelah berhasil memasangkan kalung itu.

"Hadiah kelulusan," bisiknya setelah itu menyisir rambut Delin sambil melihat leher Delin yang cantik.

Delin menyentuh bandul itu berdebar. Untuk apa Darka membelikannya hadiah semahal ini. Apa untuk satu atau malam-malam berikutnya.

Delin terus saja berpikiran buruk.

Padahal Darka tulus membelikan itu. Ingin menandai Delin dengan inisial namanya walau awalan nama mereka sama dari D.

"Udah ada rencana ke depannya?" Darka bertanya acuh tak acuh sambil menyalakan ponselnya.

Delin menjilat bibir gugup, melepaskan jemarinya dari bandul kalung lalu menunduk. "Ada," jawabnya jujur.

Darka menoleh sekilas. "Apa?" tanyanya seolah tak peduli, menatap ponsel namun fokusnya pada suara Delin.

"Kerja dulu, kumpulin uang terus kayaknya bantu orang-orang desa agar lebih terbuka sama teknologi, mau bantu-bantu petani juga,"

Darka terdiam masih belum menatap Delin yang menegang. Apakah Darka melarangnya pergi?

"Gue ada ide," akhirnya Darka bersuara membuat Delin menghela nafas lega.

"A-apa, kak?" cicit Delin ragu.

"Kita bisnis," Darka terlihat serius dan Delin terlihat ikut serius walau gugup karena Darka terlalu dekat menjelaskan idenya.

"Intinya, gue buka usaha pupuk dan bibit, semua bahan pertanian, kita bantu pertumbuhan desa sekaligus bantu jual hasilnya, gue ada temen yang kerja di bidang ekspor, impor"

Delin sontak tersenyum suka dengan ide Darka. Itu bukan ide buruk. Dia ingin desanya lebih berkembang, tidak mudah dibodohi oleh boss-boss di sana yang membeli barang hasil bertani dengan murah.

Darka terdiam. Menatap Delin lekat. Senyum Delin kembali mengganggunya. Sialnya Darka ingin melihat lagi.

Delin melunturkan senyumnya. Apa dia melakukan kesalahan? Delin kembali menciut.

"Gue ga bisa lepas lo sendiri, lo ga bisa lawan orang jahat, gue ga akan tenang, gue akan bantu wujudin soal desa lo, jadi jangan kerja, cukup gue yang kerja," Darka meraih pipi Delin lalu mengecup pipi satunya.

Delin sontak bersemu dan berdebar. Ucapan Darka begitu ambigu. Dia tidak boleh kerja, seolah dia sudah menjadi seorang istri.

"Cukup bantu gue, kita mulai diskusi soal bisnis kita," lanjut Darka yang kini merangkul Delin.

Delin hanya mengangguk sambil menunduk menutupi wajahnya yang merona.

"Lo hanya harus patuh," Darka memeluk Delin gemas, mengecupi kepalanya. "Gue mau liat senyum lo lagi, senyum!" perintahnya kembali galak sambil mengurai pelukan.

Delin sontak salah tingkah dan gugup. Rasanya tidak bisa. Bibirnya mendadak kaku.

"Bibir lo mau gue hisep aja? Kalau ga mau senyum!"

Delin mencoba menarik bibirnya.

"Tatap gue!"

Delin kembali mencoba, balas menatap Darka walau gugup bergelantungan. Senyumnya yang kaku perlahan rileks saat Darka balas tersenyum.

Awalnya Delin agak tersentak kaget namun refleks membalas senyum Darka yang langka dengan saling menatap.

"Lo punya gue!"

Delin bersemu lalu menundukan wajahnya. Darka tidak marah, dia juga memalingkan wajah, butuh menenangkan diri saat merasakan perasaan yang aneh mulai menyeruak menyapa keduanya walau berakhir denial.

Keduanya sama-sama menyangkal.

Delin merasa dia tidak harus melibatkan perasaan mengingat Darka jahat dan tingkahnya selalu gila padanya.

Sedangkan Darka. Dia tidak ingin menggunakan perasaan dengan begitu cepat. Dia tidak ingin kecewa seperti saat pada Selena, dulu.

Darka akui, keinginan memiliki Delin sudah sangat kuat.

Dark Obsession (TAMAT)Where stories live. Discover now