Bab 49.

29.5K 3K 124
                                    

Tidak, Viana tidak menginginkan hal seperti ini terjadi. Ia kira Reina hanya akan memukul tubuh Fariz. Tetapi ternyata hal tersebut sangat jauh melenceng dari perkiraannya. Di sini, tepat di dapur mansion Lewis, Viana melihat dengan mata kepalanya sendiri ketika erangan kesakitan mengalun dari bibir Fariz.

Darah perlahan mengalir dari bagian yang tertancap pisau. Mungkin karena rasa iba dan kemanusiaan, Viana melangkah mendekati Fariz dengan raut wajah bersalah. Reina yang melihat hal tersebut tampak mendengus tak suka.

"Dasar bodoh. Lihat gadis yang kamu perlakukan kasar masih mau membantumu," sinis Reina.

Viana tak menghiraukan ucapan dari Reina. Ia membantu memapah tubuh Fariz, mendudukkannya pada salah satu kursi yang ada di sana. Ia menyentuh pisau kecil tersebut membuat ringisan kian terdengar.

"Maaf, aku izin mencabutnya," ucap Viana. Perlahan dan sangat hati-hati, Viana mencabut pisau kecil tersebut hingga akhirnya, sebuah luka yang cukup dalam terlihat di bahu Fariz.

Reina mendengus kesal karena tidak diacuhkan oleh Viana. "Sudahlah. Habiskan saja waktu kalian berdua," ujarnya seraya melangkah meninggalkan area dapur tersebut.

"Di mana kotak P3K?" tanya Viana kepada Fariz, setelah Reina benar-benar pergi.

Fariz menjawab dengan menunjuk bagian sudut dapur membuat Viana mengikuti arah yang ditunjuk. Dapat Viana lihat sebuah kotak berwarna putih sedang menggantung di dinding. Segera gadis itu bangkit kemudian berjalan menuju kotak tersebut.

Setelah kotak tersebut sudah berada di tangannya, Viana membawa kotak tersebut menuju Fariz. "Bisa tolong singkap lengan bajumu? Biar aku bisa mengobati luka ini."

Anggap saja Viana bodoh. Hanya karena rasa kemanusiaan yang mendera hatinya, membuat ia tanpa pikir panjang langsung membantu mengobati Fariz. Padahal jika dipikir lagi, bisa saja perbuatannya ini membuat Fariz salah paham dan justru mengiranya masih menyukai pria itu.

Dengan ringisan yang tidak berhenti keluar, Fariz akhirnya berhasil mengungkap lengan bajunya. Viana segera mengambil sebuah obat merah dan kain kasa yang akan digunakan untuk mengobati Fariz. "Lukanya cukup dalam. Jika memiliki waktu, segeralah pergi ke dokter. Aku hanya bisa menutup lukanya menggunakan kain kasa saja."

Setelah mengatakan itu, Viana meniup lembut luka tersebut berharap dapat mengurangi rasa sakitnya kemudian dengan telaten membersihkan dan membalut luka di lengan Fariz. Ia tersenyum puas saat melihat hasil balutannya yang terbilang sangat rapi. "Nah, sudah."

Viana membereskan kotak P3K tersebut. Namun saat akan meletakkan kotak tersebut pada tempat semula, langkah Viana dihentikan dengan sebuah cengkeraman pada tangan kanannya membuat gadis itu menoleh.

"Kenapa kamu membantuku?" tanya Fariz yang menjadi pelaku cengkeraman tersebut.

"Kenapa memangnya?" tanya Viana balik.

Fariz tersenyum aneh. "Kamu masih mencintaiku 'kan?"

Setelah Fariz mengucapkan perkataan yang terdengar sangat menyebalkan itu, raut wajahnya seketika berubah menjadi tidak enak dipandang. Ia menyentak cengkeraman tangan itu kemudian dengan cepat mengembalikan kotak P3K tersebut.

"Jangan terlalu percaya diri! Aku membantumu hanya karena kasihan," sinis Viana. Ia kemudian berjalan meninggalkan Fariz yang masih tersenyum aneh.

"Dasar menyebalkan. Ia pikir aku mengobatinya karena mencintai prianya? Percaya diri sekali. Bahkan Abimana jauh lebih baik darinya," gerutu Viana.

Tidak ingin berada di tempat memuakkan itu, Viana berjalan menuju mobilnya yang terparkir. Tanpa mengucapkan apa-apa, Viana langsung masuk ke dalam mobil. Wajahnya tampak cemberut dan tidak enak dipandang.

Sang sopir yang mengetahui bahwa suasana hati majikannya sedang tidak baik, segera melajukan mobil kembali ke mansion Abimana, meninggalkan mansion Lewis yang perlahan menghilang dari penglihatannya.

~o0o~

Viana tiba di mansionnya pada pukul tiga sore. Saat mobil telah berhenti di pelataran mansion sepenuhnya, Viana dapat melihat mobil yang suaminya gunakan untuk pergi ke kantor pagi tadi telah terparkir. Gadis itu segera turun dari mobil kemudian melangkah masuk.

Tubuh lelahnya ia bawa menuju kamar mereka karena ia yakin bahwa Abimana sudah berada di kamarnya. Dengan gontai, Viana perlahan membuka pintu. Terlihat, Abimana yang sedang duduk di kursi roda, membelakangi Viana. Pria itu menghadap ke arah luar melalui jendela.

"Sudah pulang?" Suara berat masuk ke dalam pendengaran Viana.

Dahi gadis itu mengkerut saat mendengar ucapan bernada datar, tidak seperti biasanya. Tetapi Viana memilih untuk mengabaikan hal tersebut. "Iya, baru saja." Ia berjalan mendekati sang suami, memegang gagang kursi roda itu dari belakang. "Bagaimana harimu," tanya Viana.

Perlahan, Abimana membalik kursi rodanya memperlihatkan wajah datar pria itu. Tapi yang menjadi perhatian Viana adalah sebuah buku bercorak coklat kehitaman yang ada di pangkuan suaminya. Buku yang tak lain adalah catatan harian milik Viana.

Seketika Viana terdiam. Ia dapat melihat dengan jelas di mana halaman buku itu terbuka. Halaman di mana berisi tulisan Viana tentang pertemuannya dengan Viana asli. Jantung gadis itu berdetak kencang. Apakah Abimana telah membacanya? Pertanyaan itu terus terngiang di kepala Viana.

"Ingin menjelaskan sesuatu?" Lamunan Viana buyar oleh suara Abimana.

"Menjelaskan apa?" tanya Viana pura-pura tak tahu.

"Jangan pura-pura bodoh, Viana. Aku tahu, kamu mengerti apa yang aku maksud," ujar Abimana dingin.

TBC.

1,2k Vote, untuk up next Bab.

Suami Gangguan Jiwa (TERBIT)Where stories live. Discover now